Oleh : Tri Handri Watinah*
Pernyataan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Purbaya Yudhi Sadewa, bahwa pemerintah tidak akan menaikkan cukai hasil tembakau atau rokok pada 2026, menuai beragam respons dari publik. Bagi sebagian pihak, keputusan ini membawa angin segar bagi petani tembakau dan industri yang tengah berjuang menghadapi tekanan ekonomi. Namun, bagi kelompok pemerhati kesehatan, kebijakan ini justru dinilai sebagai langkah mundur dalam upaya menekan konsumsi rokok di Tanah Air. Tembakau di Indonesia memang ibarat pedang bermata dua: di satu sisi menjadi sumber cuan bagi negara dan masyarakat, namun di sisi lain tetap dianggap racun yang menggerogoti kesehatan publik.
Pajak Cukai Tinggi, Regulasi Setengah Hati
Kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia selama ini menempati posisi paradoksal. Sejak beberapa tahun terakhir, tarif cukai rata-rata mencapai 57%, dengan alasan utama untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengendalikan konsumsi rokok. Sayangnya, regulasi tersebut justru menciptakan ketimpangan: negara menikmati kenaikan pendapatan, sementara petani tembakau dan industri menjadi pihak yang paling terdampak.
Baca juga:
ICoFMR 2025, Pakar FPIK UB Bahas Solusi Circular Economy Perikanan
Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO, 2023), Indonesia merupakan produsen tembakau keempat terbesar di dunia dengan produksi mencapai 238.806 ton. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) menunjukkan peningkatan signifikan hingga 353,39 ribu ton yang tersebar di 15 provinsi. Angka ini menandakan bahwa tembakau bukan sekadar komoditas pertanian biasa, melainkan penopang ekonomi jutaan keluarga.
Namun demikian, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026, penerimaan dari cukai dan kepabeanan ditargetkan mencapai Rp334,3 triliun. Pemerintah kini berfokus pada kombinasi kebijakan cukai, bea masuk, dan penegakan hukum untuk menekan peredaran rokok ilegal. Meski langkah ini penting, strategi tersebut belum menyentuh akar persoalan utama—harga tembakau yang tidak stabil dan minimnya dukungan fasilitas pertanian.
Maraknya rokok ilegal merupakan konsekuensi langsung dari kenaikan tarif cukai. Ketika harga rokok legal melonjak, konsumen cenderung beralih ke produk ilegal yang lebih murah. Akibatnya, penerimaan negara menurun dan industri rokok legal makin tertekan. Sementara itu, petani tetap berada di posisi lemah. Harga jual tembakau ke industri tidak sebanding dengan biaya produksi yang tinggi, dan selisih keuntungan terbesar justru mengalir ke negara melalui pajak.
DBH CHT: Antara Janji dan Realita di Lapangan
Pemerintah sebenarnya telah mengupayakan pemerataan kesejahteraan petani tembakau melalui skema Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Program ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 7/PMK.07/2020 dan direvisi melalui PMK No. 215/PMK.07/2021, dengan fokus utama pada kesejahteraan masyarakat (50%), kesehatan dan pemulihan ekonomi (40%), serta penegakan hukum (10%).
Salah satu program turunannya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) DBH CHT yang menyasar buruh tani tembakau dan petani kecil. Namun, di lapangan, implementasi program ini belum sepenuhnya efektif. Banyak petani mengaku hanya menerima bantuan rata-rata Rp300.000 per bulan—jumlah yang terlalu kecil untuk meningkatkan kapasitas usaha tani. Bantuan pupuk dan benih juga minim pendampingan, sehingga hasilnya tidak berkelanjutan.
Selain itu, efektivitas distribusi DBH CHT masih menjadi masalah klasik. Tanpa sistem pendataan dan pengawasan yang kuat, bantuan berpotensi tidak tepat sasaran. Di sisi lain, Indonesia masih bergantung pada impor tembakau dalam jumlah besar—terutama dari Tiongkok, Brasil, dan India. Ironisnya, meski menjadi produsen besar, Indonesia justru masih menjadi konsumen utama tembakau dunia.
Oleh karena itu, DBH CHT semestinya tidak hanya berfungsi sebagai instrumen fiskal, tetapi juga sebagai alat pemberdayaan ekonomi. Optimalisasi dana dapat diarahkan pada penguatan kapasitas petani, penjaminan harga beli tembakau yang layak, dan dukungan teknologi pertanian modern. Tanpa reformasi kebijakan, DBH CHT berisiko menjadi sekadar janji kesejahteraan tanpa bukti nyata.
Mencari Titik Temu antara Cuan dan Racun
Untuk keluar dari dilema “cuan dan racun”, Indonesia membutuhkan kebijakan tembakau yang berpijak pada prinsip Regulation Based on Justice. Konsep ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kepentingan fiskal negara dan kesejahteraan masyarakat. Mengutip filsuf John Rawls, keadilan hanya bisa terwujud bila kebijakan memberi manfaat bagi kelompok yang paling lemah—dalam hal ini, petani dan buruh tembakau.
Pendekatan Collaborative Governance dapat menjadi solusi. Melalui kolaborasi antara pemerintah, industri, petani, dan masyarakat sipil, kebijakan tembakau tidak lagi bersifat top-down, melainkan berbasis kebutuhan riil di lapangan. Sinergi ini diharapkan melahirkan inovasi, baik dalam diversifikasi produk tembakau yang lebih ramah lingkungan, maupun dalam pengembangan pertanian berkelanjutan.
Baca juga:
Pre-Event Commart 2025 Hidupkan Kreativitas Mahasiswa
Selain itu, prinsip Income for Welfare perlu diterapkan agar pendapatan negara dari cukai benar-benar kembali ke masyarakat. Dana DBH CHT dapat dialokasikan untuk peningkatan kualitas tembakau lokal, riset produk turunan nonrokok, dan pelatihan bagi petani muda agar sektor ini tetap relevan di masa depan.
Pada akhirnya, keseimbangan antara cuan dan racun tidak hanya tentang berapa besar pendapatan negara dari cukai, melainkan seberapa besar manfaat ekonomi yang benar-benar dirasakan rakyat. Ketika regulasi berpihak pada keadilan sosial, tembakau tak lagi sekadar sumber pendapatan—melainkan sarana menuju kesejahteraan yang berkelanjutan.
*) Tri Handri Watinah, Administrasi Publik, Universitas Brawijaya, Malang