Di dalam al-quran pada surat Al Kahfi terdapat suatu kisah yang sangat inspiratif sekaligus memberikan pelajaran berharga kepada kita semua, tentang bagaimana seseorang dalam mensikapi suatu realitas, yaitu tepatnya kisah tentang pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir dan proses bergurunya Musa kepada Nabi Khidir. Sebagaimana digambarkan oleh Allah dalam surat al-kahfi ayat 65-82 yang menjelaskan tentang di saat Nabi Musa bertemu dan mengajukan proposal untuk merayu nabi Allah Khidir agar bersedia menerima dirinya sebagai murid, dan kemudian permohonan itu diterima oleh Nabi Khidir dengan beberapa persyaratan, yaitu bersedia bersabar atas berbagai tindakan yang dilakukan oleh sang guru nantinya, memiliki kesiapan diri untuk belajar, bersedia tunduk patuh, siap menerima segala arahan guru dengan tidak banyak bertanya terlebih pada urusan privasi guru, tidak boleh menentang sang guru. Atas berbagai persyaratan itu Nabi Musa menyatakan kesediaannya, sekalipun sang guru yaitu Nabi Khidir agak meragukan komitmen kepatuhan atas persyaratannya itu.
Dalam perjalanan menuntut ilmu kepada Nabi Khidir banyak sekali cobaan yang dihadapi oleh Musa untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh sang guru. Bahkan seringkali Nabi Musa tidak cukup mampu bersabar, terlalu tergesa untuk mencapai pengetahuan, menyelidiki berbagai privasi guru, terlalu banyak bertanya dan terlalu banyak protes dan bertanya Seperti disaat Nabi Musa bertanya dengan nada protes disaat Nabi Khidir melubangi perahu, membunuh anak-anak, menghancurkan rumah, yang semua itu menurut pandangan rasional Nabi Musa adalah tindakan kemungkaran sehingga layak di protes.
Berbagai gelombang protes yang diajukan oleh Nabi musa atas sikap tindakan nabi khidir akhirnya berujung pada terputusnya kesepakatan atau komitmen keduanya. Nabi Musa dinyatakan telah melanggar kesepakatan dan divonis dinyatakan tidak lulus atas proses perjuangan menuju keberhasilan pembelajaran. Kesimpulannya Nabi Khidir memenangkan negosiasi pembelajaran.
Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir sebenarnya mewakili dua pendekatan dalam memandang dan mensikapi realitas. Nabi Khidir mewakili cara berpikir yang mencoba melihat realitas tidak semata realitas yang tampak, namun nabi Khidir mencoba untuk berdiri di balik realitas, beyond reality. Cara pandang ini lebih berfokus pada substansi dan nilai yang terkandung di balik sebuah realitas yaitu tentang apa yang sebenarnya menjadi pesan utama dari sebuah realitas sekalipun hal ini disembunyikan (hidden) dalam beragam bentuk tindakan objektif. Sementara Nabi Musa mewakili cara pandang yang hanya melihat sebatas pada realitas yang tampak. Cara pandang ini menganggap bahwa realitas yang tampak adalah sebuah realitas yang sesungguhnya, sesuatu yang final dan mereka menganggap bahwa inilah sebenar-benarnya realitas atau kenyataan, the real reality.
Pada cara pandang yang pertama inilah yang disebut dengan kecerdasan spiritual yaitu kemampuan menangkap pesan nilai di balik sebuah realitas yang kemudian dapat dijadikan landasan dalam menformulasikan dan mengarahkan sebuah tindakan selanjutnya sehingga menjadikan tindakan lebih bermakna. Sementara pada cara pandang kedua adalah menganggap bahwa realitas yang tampak (objektif) adalah sesuatu yang final dan seakan itulah kebenaran sejati. Padahal apa yang tampak kasat mata itu hanyalah menipu. Jika seseorang memahami dan hanya berhenti pada realitas fisik saja maka berhentilah kehidupan ini dan tidak akan ada lagi upaya perubahan dan pengembangan. Pembacaan realitas yang hanya mengandalkan rasionalitas objektif yang dibantu oleh alat bantu fisik berupa panca indera terkadang banyak menipu. Ibarat sebuah fatamorgana yang tampak seakan sekumpulan air yang mampu mengobati dahaga di tengak terik panas matahari. Dan saat didekatinya dan dibuktikannya ternyata hanyalah sekedar sebuah ilusi. Demikianlah cara pandang rasional objektif atau disebut pula kecerdasan rasional.
Pada cara pandang rasional ini meyakini bahwa kenyataan rasional sebagai sebuah kebenaran sehingga apa pun yang tampil dalam realitas kebanyakan dan didukung oleh suara mayoritas dianggap pula sebagai sebuah kebenaran final yang layak diikuti. Disinilah yang dipahami oleh kalangan rasionalis bahwa kebenaran adalah sesuatu yang dibangun atas dukungan mayoritas. Cara pandang seperti ini “pragmatisme rasional” yang dalam kehidupan politik disebut dengan konsep demokrasi liberal. Allah swt menggambarkan realitas kondisi ini sebagaimana dalam FirmanNya :
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). ( Al-An’am, Ayat 116)
Sementara mereka yang melihat peristiwa tidak hanya dari apa yang tampak fisik melainkan mencoba menangkap pesan nilai di balik realitas, beyond reality akan berupaya terus berpikir menemukan sesuatu di balik sesuatu sehingga menjadikan dirinya lebih dinamis dan terkesan lebih dewasa dalam menghadapi realitas. Bisa jadi secara rasional fatamorgana di kejauhan sana itu seakan sekumpulan air hal ini bisa jadi disebabkan oleh perasaan yang menggelora dalam dada karena merasakan kehausan yang amat sangat sehingga tampil hal demikian. Yang artinya bahwa yang memberikan pengaruh terbesar pada rasionalitas hingga melahirkan sebuah persepsi sesuatu adalah pikiran dan perasaannya. Sementara letak dari pikiran dan perasaan adalah pada hatinya. Sehingga benarlah sabda nabi bahwa inti dari suatu kemanusiaan adalah hatinya. Sebagaimana dalam sabdanya :
أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
“Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”
Sehingga sejatinya bahwa keberhasilan dan kesuksesan serta kebahagiaan seseorang adalah terletak pada hatinya yaitu manakala hatinya tenang dan damai. Sementara cara menenangkan hati tiada lain adalah dengan berdzikir atau ingat kepada Allah swt. Sehingga disaat seseorang semakin dekat pada Allah swt serta semakin mendekat pada Allah swt maka akan semakin menjadikan hidupnya tenang, tentram, tertib dan bahagia sehingga mampu menebarkan hal serupa kepada sekitarnya. Inilah jiwa atau diri (yang bersumber dari hidupnya hati) yang hidup dalam spiritualitas yang tinggi. Artinya bahwa seseorang dengan spiritualitas yang tinggi yang akan menjadikan kehidupan sekitar tenang damai dan bahagia. Itulah orang shalih yang hati dan pikirannya selalu hidup. Merekalah yang akan mampu mengelolah kehidupan. Sebagaimana FirmanNya :
وَلَقَد كَتَبنا فِي الزَّبورِ مِن بَعدِ الذِّكرِ أَنَّ الأَرضَ يَرِثُها عِبادِيَ الصّالِحونَ
“Dan sesungguhnya telah Kami tulis dalam Zabur setelah Adz-Dzikr (Taurat): “Bahwasanya bumi itu akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shaleh.” (QS. Al-Anbiya: 105)
Dibalik pelajaran di atas, kisah nabi Musa dan Nabi Khidir juga mengandung sebuah nilai penting tentang proses pembelajaran yang baik dan dapat mengantarkan pada keberhasilan dan keberkahan. Learning point penting nan berharga atas kisah Nabi Musa dan Khidir adalah bahwa dalam belajar perlu membuat kesepakatan bersama terlebih dahulu antara guru dan murid khususnya terkait dengan nilai-nilai apa yang dapat disepakati agar murid dapat mencapai hasil pembelajaran yang maksimal. Pertama, guru adalah sosok orang yang dekat kepada Allah dan memiliki jiwa lemah lembut penuh perhatian dan kasih sayang (sebagaimana digambarkan dalam QS. Al kahfi ayat 65). Kedua, salah satu nilai yang harus dibangun dalam proses belajar mengajar adalah perlu adanya kesabaran dari seorang murid dalam mengikuti proses pembelajaran bersama seorang guru. Ketiga seorang murid haruslah mempersiapkan diri terlebih dahulu dengan berusaha mengenali dengan baik bagaimana karakteristik dan kepribadian gurunya kemudian bersedia tunduk patuh atas segala perintah dan bersedia mengikuti semua arahannya. Keempat, seorang murid haruslah bermulazamah, atau bersedia iltizam atau menjadi mulazim dan loyal pada guru dengan mengikuti seluruh jejak langkah guru, memahami ide pikiran dan perasaannya secara utuh dan memenuhinya atau mengikuti guru secara utuh jiwa raga. Kelima, bagi seorang murid tidak boleh mengorek informasi lebih dalam tentang kehidupan atau privasi sang guru serta tidak boleh banyak tanya dan protes atas apa tindakan guru. Semua ini haruslah dikomitmenkan oleh seorang murid atau pembelajar jika menginginkan keberkahan dan kesuksesan dalam proses menuntut ilmu pada seorang guru.
Semoga apapun yang kita pelajari dari suatu ilmu pada seorang guru memberikan kemanfaatan dan keberkahan yang dapat mengantarkan diri kita kepada pemahaman dan derajat mulia serta mendapatkan ridho dari Allah swt. Aamiiinn…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar