Oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Setiap orang pasti menginginkan kehidupan yang senang dan bahagia, untuk itu mereka menjalankan proses komunikasi dan interaksi antar manusia dalam rangka mewujudkan realitas yang didambakan ini yaitu menemukan kebahagiaan. Hidup bahagia merupakan salah satu tujuan manusia dalam menjalani hidup. Hal ini tergambarkan dari teks sumber wahyu yang menjelaskan harapan setiap manusia melalui sebuah doa “sapujagat”. Dalam perspektif profetik memahami bahwa kebahagiaan pada dasarnya merujuk pada salah satu kata dalam bahasa Arab yaitu سعادة (sa’adah). سعادة adalah kata bentukan dari suku kata سعد, yang berarti bahagia.
Bahkan hal ini adalah merupakan hak asasi manusia yang mendasar untuk dipenuhi oleh manusia bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh kebahagaiaan dalam hidupnya. Namun setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memahami konsep kebahagiaan. Terdapat beberapa sudut pandang seseorang dalam mempersepsi konsep kebahagiaan yaitu pertama seseorang yang menjadikan kebahagiaan duniawi yang bersifat material sebagai orientasi utama dengan tidak memahami atau melupakan adanya kehidupan setelah kehidupan dunia. Kedua adalah seseorang yang menjadikan akhirat sebagai orientasi utama dengan meninggalkan bahagian kesenangan dalam kehidupan dunia. Ketiga adalah seseorang yang berlaku seimbang antara kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Hal ini tergambarkan dalam teks sumber wahyu berikut :
فَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا وَمَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٖ . وَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
Maka di antara manusia ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” dan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun. Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Al-Baqarah, Ayat 200-201)
Kelompok pertama adalah orang yang memahami bahwa pencapaian materi duniawi adalah puncak kebahagiaan sehingga seluruh waktu dan energi dipergunakan untuk meraih kebahagiaan materi. Mereka memahami bahwa waktu adalah uang (time is money) dan hubungan antar manusia dilihat dalam perspektif untung dan rugi yaitu seluruh tindakan ataupun pola hubungan interaksi kemanusiaan dapat berlanjut jika menguntungkan secara materi, sementara manakala hubungan tersebut tidak menguntungkan bagi dirinya dan kepentingannya dalam mengakumulasikan materi maka hal itu menjadi alasan untuk tidak dilanjutkan. Pola hubungan ini diperlakukan layaknya sebuah transaksi ekonomi, jika sebuah hubungan dianggap menguntungkan dirinya maka dapat berlanjut, namun manakala dianggap merugikan maka tidak bisa dilanjutkan. Hal ini sebagaimana dipahami dalam teori pertukaran sosial (social exchange theory).
Kelompok pertama ini dikenal dengan kelompok hedonis. Yaitu mereka yang memiliki cara pandang dengan menempatkan kenikmatan dan kebahagiaan sebagai tujuan utama manusia hidup sekaligus landasan utama dalam menjalani kehidupannya. Hedonisme sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno yakni Hedone yang artinya kesenangan. Orang yang menganut paham ini cenderung untuk ingin terus bersenang-senang dan tidak ingin merasakan pahitnya hidup, mereka selalu berusaha mencari kenikmatan dan kebahagiaan dengan cara apapun dengan mengesampingkan orang lain disekitarnya termasuk nilai kebaikan dan kebenaran. Kelompok kedua ini tidak memahami adanya hubungan antara kehidupan dunia dan akhirat atau bahkan tidak memiliki pemahaman atas adanya kehidupan setelah kehidupan dunia (atheisme). Kelompok ini dapat dijumpai pada kalangan anak muda perkotaan modern yang jauh dari nilai-nilai religiusitas.
Kelompok kedua adalah memahami bahwa kebahagiaan itu adalah manakala mampu menjadikan seluruh hidupnya untuk memenuhi kepentingan akhirat, mereka menjadikan akhirat sebagai orientasi utama dengan membuang jauh-jauh kepentingan duniawi. Mereka cenderung membenci materi dan kesenangan duniawi. Mereka menjauh dari kehidupan dunia dengan segala kesenangannya serta menganggap kehidupan dunia adalah suatu kesia-siaan. Kelompok ini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk “kepentingan ukhrawi/akhirat/ kehidupan pasca kehidupan” dengan ekstrem, jarang berinteraksi dengan manusia, pasrah atas keadaan.
Kelompok ketiga adalah seseorang yang memahami bahwa untuk mencapai kehidupan akhirat yang sempurna dan bahagia maka mereka harus melewati kehidupan dunia dengan cara yang terbaik pula. Mereka memahami ada hubungan dan keterkaitan yang sangat erat antara kehidupan dunia dan akhirat. Dunia dipahami sebagai tempat untuk “menanam” dan akhirat adalah untuk untuk “memanen”. Konsekwensi cara pandang ini adalah mereka berupaya keras untuk melakukan berbagai kebaikan selama di dunia melalui interaksi dan komunikasi yang baik pula dengan sesama, berupaya memberikan banyak kemanfaatan melalui jejak kebaikan. Mereka berupaya juga terlibat dalam tanggungjawab sosial kemasyarakatan dengan menjalin hubungan kemanusiaan yang baik, ikut berkobtribusi bagi kemashalahatan bersama melalui karya dan interaksi. Mereka ikut menikmati sebagian “kenikmatan” dunia dengan segala fasilitas yang disediakan atas dirinya berupa pemenuhan berbagai kebutuhan hidupnya dan nalurinya seperti mengumpulkan sejumlah materi (gharizatul baqa’), menikah (pemenuhan gharizatun nau’) dan termasuk pula beribadah (pemenuhan gharizatun ad tadayyun). Semua itu dilakukannya sebagai upaya mensyukuri berbagai karunia Allah atas dirinya dengan tanpa melupakan atas tujuan akhirnya dan kebahagiaannya kelak di akhirat. Kelompok terakhir ini digambarkan dalam teks sumber wahyu sebagaimana berikut :
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ
Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash, Ayat 77).
Dalam pendekatan profetik kebahagiaan dipahami sebagai suatu kondisi spiritual, disaat seseorang berada pada puncak ketakwaan. Kebahagiaan merupakan kenikmatan atas karunia yang diberikan oleh Allah SWT pada diri seseorang. Kebahagiaan adalah suasana terdekat dalam beribadah kepada Allah serta kehadiran diri dalam memberikan kemanfaatan bagi kehidupan. Kebahagiaan adalah perpaduan dua kondisi puncak dalam mewujudkan realitas, yaitu kondisi ruhiyah spiritual dan kondisi haliyah af’aliyah (tindakan amal) kemanfaatan bagi sesama dan kehidupan.
Kedua kondisi ini mensyaratkan keterlibatan seseorang dalam dua realitas kehidupan secara terpadu yaitu keterlibatan dalam orientasi duniawi dan orientasi ukhrawi (akhirat) dengan melibatkan diri dalam berbagai realitas interaksi antar manusia dan kemanfaatan bagi kehidupan dan kemanusiaan serta keterlibatan dalam orientasi spiritual dengan kekuatan ibadah dan tindakan taqarrub kepada Allah. Interaksi antar manusia yang dilakukan dilandasi oleh semangat nilai-nilai spiritual sehingga menghasilkan hubungan yang bermakna dan jejak yang bernilai kemanfaatan. Perpaduan dua tindakan inilah yang akan melahirkan kebahagiaan di dunia berupa ketenangan dan penerimaan dalam kehidupan serta kebahagiaan di akhirat berupa ketenangan spiritualitas dan pahala yang besar dari Allah yaitu keridhaanNya. Inilah kehidupan fid dun yaa hasanah wa fil aakhirati hasanah.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB