oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Apabila kita cermati dalam teks-teks sumber wahyu maka kita akan menjumpai terdapat beberapa kalimat pembuka surat (fawatih as suwar) yang berupa panggilan, an nida’ yang berarti suatu panggilan dari sesuatu yang lebih tinggi derajatnya ke yang lebih rendah. Hal ini juga bermakna suatu panggilan yang membutuhkan atas suatu jawaban. Secara garis besar terdapat dua locus dari penurunan ayat alquran, yaitu makkiyah dan madaniyah. Makkiyah berarti ayat-ayat yang turun selama di makkah. Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara ayat pada dua lokus yang berbeda tersebut. Teks-teks sumber wahyu makkiyah cenderung tegas (tentang pahala dan ancaman sanksi), kandungan teksnya banyak memperbincangkan persoalan keimanan, keyakinan (tauhid) dan larangan menyembah berhala. Demikian pula menceritakan tentang nabi-nabi dan umat terdahulu. Hal lainnya adalah teks atau ayatnya cenderung pendek dan bernuansa syair, jika diawal surat biasanya diawali dengan kalimat panggilan (an nida’) يا ايها الناس ، “wahai sekalian manusia”, sekali pun maksudnya adalah masyarakat Makkah pada saat itu. Atau dimulai dengan kalimat nida’, “يا بني ادم”. (Wahai bani/anak cucu keturunan Adam). Sebagai contoh :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah, Ayat 21)
يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ إِمَّا يَأۡتِيَنَّكُمۡ رُسُلٞ مِّنكُمۡ يَقُصُّونَ عَلَيۡكُمۡ ءَايَٰتِي فَمَنِ ٱتَّقَىٰ وَأَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ
Wahai anak cucu Adam! Jika datang kepadamu rasul-rasul dari kalanganmu sendiri, yang menceritakan ayat-ayat-Ku kepadamu, maka barangsiapa bertakwa dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-A’raf, Ayat 35)
Sementara karakteristik dari ayat madaniyah antara lain teks ayatnya cenderung panjang, anjuran jihad, menjelaskan tentang aturan hukum pidana ataupun perdata, menjelaskan hal ihwal tentang realitas kemunafiqan. Jika dimulai dengan kalimat nida’ (panggilan) maka biasanya dimulai dengan “يا ايها الذين امنوا”. Suatu seruan yang spesifik khusus bagi orang beriman. Sebagai contoh :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya. (QS. Al-Baqarah, Ayat 172)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (QS. Al-Baqarah, Ayat 183)
Kalimat panggilan atau an nida’ adalah suatu kalimat yang diucapkan dari posisi yang lebih tinggi ke mereka yang memiliki posisi lebih rendah. Kalimat nida’ adalah kalimat yang membutuhkan untuk dijawab atau dipenuhi atas apa yang menjadi topik panggilan. Allah swt membagi model panggilan disesuaikan dengan realitas masyarakat yang menjadi objek seruan panggilan (khitab). Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa saat di Makkah lebih menggunakan panggilan terhadap manusia secara umum (yaa ayyiha an naas dsb). Sementara di Madinah, panggilannya sangat spesifik (yaa ayyuhan al ladziina aamanuu).
Hal demikian memberikan sebuah kesan antara lain :
1. Kalimat panggilan (annida’) itu adalah salah satu cara komunikasi lamgsung Allah kepada umat manusia melalui utusannya dengan maksud untuk mengajak manusia agar bersedia memperhatikan, terpersuasi lalu kemudian bersedia bertindak sebagaimana yang diharapkan oleh si penyeru. Di Makkah, sebagaimana dipahami adalah tempat awal dakwah Nabi dimulai. Disana banyak penolakan, pembangkangan, musuh yang membenci bahkan ingin membunuhnya. Sehingga kalimat panggilan (an nida’) lebih menekankan pada dialog keyakinan, pahala dan sanksi atas penolakan. Sementara di Madinah, karena realitas sosial masyarakat cenderung menerima ajaran, kompromistis dan cenderung ingin mengimolementasikan ajaran, maka kalimat panggilannya (an nida’) adalah mengajak untuk mewujudkan keimanannya sehingga kalimat nida’ nya adalah yaa ayyuhal ladzina aamanu.
2. Panggilan (an nida’) akan dapat dipahami dengan mudah manakala memperhatikan realitas sosial serta area atau wilayah dimana seseorang yang menjadi objek panggilan (khitob), lahir dan dibesarkan. Sebab komunikasi adalah budaya, komunikasi adalah bangsa. Seseorang yang lahir dan dibesarkan disuatu tempat akan memiliki karakteristik yang berbeda, dan penguasaan bahasa yang berbeda sebagaimana potensi realitas lingkungannya, bahkan wilayah dimana seseorang dibesarkan akan pula mempengaruhi terhadap realitas psikologi seseorang. Sebagaimana dipahami bahwa kondisi geografis makkah cenderung lebih ekstrem dalam aspek cuaca dibandingkan dengan di Madinah, sehingga hal demikian juga berpengaruh terhadap kondisi psikologis masyarakatnya. Masyarakat Makkah cenderung lebih keras dibandingkan dengan masyarakat Madinah yang lebih lembut. Untuk itu kalimat panggilan (an nida’) pun juga berbeda.
Ayatun nida’ memberikan sebuah kesan dan pelajaran tentang pentingnya mempertimbangkan situasi (geografis, psikologis, pendidikan, pengalaman dsb) dalam mempersuasi orang agar maksud dari persuasi (baik motivasi ataupun perubahan) dapat tercapai dengan dengan baik dan sesuai dengan maksud tujuan. Inilah yang disebut dengan pendekatan situasional dalam persuasi. Untuk itu terdapat beberapa hal yang patut dipertimbangkan dalam menyusun dan melakukan persuasi antara lain :
1. Pertimbangan nilai pemahaman dan pendidikan. Dalam menyusun persuasi patutlah dipertimbangkan tingkat pendidikan dan nilai pemahaman dari partisipan persuasi. Karena seseorang akan merespon berdasarkan konstruksi pemahaman dan berpikir yang dibangun melalui proses belajar maupun pengalaman dalam interaksi ataa berbagai realitas dan pola hubungan sehingga menghasilkan suatu kepribadian dan cara pandang pada diri seseorang.
2. Pertimbangan budaya, yaitu seseorang hidup dan dibesarkan dalam suatu realitas budaya melalui proses interaksi antar manusia dalam suatu kelompok masyarakat. Mereka meninggalkan jejak makna dalam proses interaksi itu sehingga menghasilkan berbagai nilai yang disepakati bersama. Suatu proses komunikasi akan efektif manakala memiliki kedekatan budaya.
3. Tingkat penerimaan yaitu setiap orang berdasar konstruk berpikirnya dan pengalamannya akan melandasi setiap pengambilan keputusan sikap, apakah akan dengan mudah menerima atau melakukan penolakan. Setiap orang memiliki tingkat penerimaan dan penerimaan yang berbeda.
4. Kapasitas personal yaitu setiap orang tentu berbeda dalam kapasitas dirinya yang dibangun atas interaksi pengetahuan, kesediaan mengembanhkan diri dan kemauan diri untuk melakukan tindakan.
5. Pertimbangan lingkungan geografis yaitu setiap orang lahir dan dibesarkan oleh suatu lingkungan tertentu yang memberikan pengaruh atas citra psikologis seseorang yang tentunya berdampak pada sudut pandang dan pola bersikap.
Sehingga persuasi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud untuk mempengaruhi suatu tindakan ataupun merubah suatu sikap dan sudut pandang dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari malas hingga bersemangat dalam mewujudkan suatu nilai keyakinan (motiv) yang ada dalam dirinya haruslah mempertimbangkan realitas situasi yang ada pada diri objek persuasi agar maksud persuasi sesuai tujuan.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB