Jika kita mendaki sebuah gunung namun jika tak mampu mencapai puncaknya maka kita tak akan pernah bisa melihat luasnya pemandangan yang ada di bawah sana dan indahnya cakrawala yang membentang di atas angkasa. Mencapai puncaknya membutuhkan energi dan keseriusan dalam menapaki jalan pendakian yang terjal. Ada banyak rintangan yang pasti menghadang. Semak belukar penuh duri, batu cadas yang siap melukai kaki, cuaca tak menentu yang bisa merubah langkah atau bahkan binatang buas yang akan menghentikan langkah seketika. Demikian pulalah dalam menuntut ilmu.
Hanya mereka yang sungguh-sungguh yang akan mampu mencapai puncak ketinggian ilmu. Yaitu pengabdian kepada Allah yang juga merupakan misi utama penciptaan jin dan manusia serta mencapai puncak pengagungan terhadap kebesaran Allah swt. Sebagaimana Firman Allah swt :
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat : 56)
Ilmu yang sejati adalah manakala ilmu itu mampu mengantarkan pemiliknya untuk tunduk patuh dan mengagungkan kebesaran Allah sehingga mampu semakin menyadari akan kelemahannya sebagai makhluk sehingga bersedia merendahkan diri dan hatinya dihadapan Allah swt yang mampu melahirkan akhlaq mulai. Sebagaimana Firman Allah swt dalam surat Ali Imran ayat 190-191.
Akhlaq adalah hasil pemahaman yang tinggi atas keesaan Allah dan pengabdian kepadaNya. Sehingga lahir sikap tawadhu’, menjauhkan diri dari kesombongan sikap dan kemudian bersedia berkhidmad pada kebaikan dan para penyeru kebaikan (alim dan ulama). Benarlah bahwa akhlaq itu haruslah lebih didahulukan dan diutamakan sebelum ilmu. Karena ilmu itu adalah kemuliaan dan berada dalam ketinggian. Ilmu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Semakin merendah tempatnya maka semakin cepat air akan mengalir masuk. Dan musuh dari ilmu adalah tempat yang tinggi. Demikian pulalah dengan ilmu, ia akan mengalir dan diterima oleh mereka yang bersedia merendah, tawadhu’, dan berkhidmad pada guru, ilmu, dan para penuntut ilmu lainnya serta kaum muslimin dan ummat manusia.
Seorang berilmu manakala mampu merendahkan dirinya dan menemukan kelemahan dirinya di hadapan Allah kemudian mengagungkanNya dengan membesarkan namaNya dan menjadikan ilmu yang dikuasainya mampu mengantarkan dirinya pada puncak pengabdian kepadaNya dengan memberikan banyak kemanfaatan bagi kemanusiaan dan mampu mengarahkan para penuntut ilmu yang menimba ilmu padanya juga semakin dekat pada Allah swt. itulah ciri ilmu yang telah mencapai puncaknya. Itulah ilmu yang bermanfaat (ilmun nafi’)
Namun manakala seseorang penuntut ilmu semakin menjauh dari Allah swt dan semakin menjadikan dirinya sombong serta berlinang dosa, maksiat, keburukan dan kemungkaran serta semakin adigang adigung, tidak mau peduli dan mendengarkan masukan orang lain maka dapatlah dipastikan bahwa ilmu yang dipelajari dan diperolehnya tidaklah bermanfaat, jauh dari keberkahan. Sebab ilmu adalah ketinggian dan tidak merendahkan. Seorang yang berilmu itu akan semakin takut pada Allah swt dan semakin mengerti dan memenuhi hak-hak Allah swt. Sebagaimana Firman Allah swt :
… إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
… Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun. (QS. Fathir : 28)
Seorang berilmu adalah mereka yang semakin takut pada Allah dan semakin mendekat padaNya. Dikatakan oleh Ibnu mas’ud dalam sebuah riwayat :
عن ابن مسعود رضي الله عنه، انه قال : ليس العلم عن كثرة الحديث، ولكن العلم عن كثرة الخشية
Ilmu itu bukan ditentukan karena banyaknya cerita (riwayat dan kemampuan bicara/menyampaikan), akan tetapi (seorang yang memiliki) ilmu itu adalah dia yang semakin tambah takut (kepada Allah swt)
Bahkan menurut Sufyan Ats Tsauriy dari Abi Hayyan at tamimiy, seseorang mengatakan bahwa seorang yang berilmu dikategorikan dalam 3 golongan. Yaitu : Pertama, seorang yang alim billah (mengetahui hak Allah) sekaligus mengetahui perintah (hukum) Allah. Kedua, seorang yang alim billah namun tidak mengetahui perintah Allah. Ketiga, seorang yang mengetahui perintah Allah namun tidak alim billah. Pada yang pertama, maka dia takut kepada Allah dan mengetahui batas-batas larangan Allah dan kewajibannya. Pada kelompok yang kedua, maka dia takut kepada Allah namun tidak mengetahui batas-batas larangannya dan perintahnya (tidak faqih fiddin). Pada kelompok yang ketiga, dia mengetahui (berilmu) hukum-hukum Allah, mengetahui batasannya dan perintahnya namun tidak takut kepada Allah sehingga berani melanggarnya dan bermaksiat kepadaNya.
Lalu, dalam ketiga kategori tersebut, kita termasuk yang mana ?. Semoga kita termasuk dalam golongan yang pertama dan bukan golongan yang ketiga. Semoga ilmu yang kita pelajari mampu mengantarkan kita pada puncak pengabdian dan pengagungan kepada Allah swt sehingga mampu menyelamatkan diri kita kelak di akhirat. Aamiiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh Dosen Fisip UB Malang dan Penulis Produktif