Kanal24 – Malang, Data menunjukkan tingkat kekerasan pada perempuan dan anak di Kabupaten Malang mencapai 135 kasus pada kuartal kedua tahun 2022. Diantara 135 kasus tersebut, sebanyak 40 perkara tergolong jenis kekerasan seksual, di mana 35 kasus korbannya anak, 5 kasus korban dewasa. Dari tahun ke tahun, kasus kekerasan seksual menjadi yang paling banyak ditangani oleh Unit PPA Kabupaten Malang.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polres Malang, Aipda Erlenaha BR. MAHA, S.H. memaparkan bahwa tingginya kasus kekerasan seksual pada anak menjadi bukti lemahnya kesadaran orang tua akan keamanan dan kenyamanan tumbuh kembang anak. Di tahun 2021 sendiri, terdapat 153 laporan, dimana 62 kasus diantaranya adalah kekerasan seksual pada anak. Meskipun negara sudah memiliki payung hukum yang tegas pada para predator anak, seringkali lingkungan masyarakat dan orang tua korban tidak memberikan dukungan secara moril dan materil.
“Sayangnya, seringkali orang tua itu terlalu menyepelekan dan menganggap kekerasan seksual sebagai hal yang biasa, lumrah. Sehingga anak juga terpengaruh untuk menormalisasi tindakan kriminal ini. Kebanyakan kasus yang dilaporkan dan masuk ke kami itu karena sampai mengakibatkan korbannya hamil. Dan itu yang sangat disayangkan, sebab orang tua tidak tahu sama sekali tentang kejadian yang dialami sang anak meskipun insiden tersebut terjadi di dalam rumahnya sendiri,” terang Erlenaha.
Kenyataan yang lebih memprihatinkan lagi, kebanyakan pelaku kekerasan seksual pada anak berasal dari orang terdekat yang berada dalam lingkup satu keluarga, seperti ayah kandung, ayah tiri, saudara kandung, ataupun saudara tiri. Hal inilah yang mendorong Polres Malang gencar memberikan sosialisasi kepada orang tua. Sebab peran orang tua dinilai sangat penting untuk memerangi kejahatan seksual pada anak. Bersama dengan Bhabinkamtibmas dan aparat desa, Polres Malang berkomitmen mencegah terjadinya kekerasan seksual, dan memberikan pendampingan serta dukungan pada korban apabila tindakan telah terjadi.
“Kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak masih bisa diperkarakan dan diproses oleh penegak hukum meskipun sudah lewat sebulan, dua bulan, bahkan jika sudah setahun. Dan yang melapor tentunya tidak harus korban, bisa jadi orang tua, wali, atau orang dewasa yang mengetahui perihal tindak kriminal tersebut. Unsurnya pun tidak harus disertai dengan kekerasan. Tetapi dengan tipu muslihat dan serangkaian kebohongan sudah terpenuhi unsur dalam penegakan undang-undang perlindungan anak,” imbuhnya.
Oleh karena itu, pemerintah sebagai pemegang otoritas, masyarakat, dan orang tua memiliki tanggung jawab untuk melawan isu kekerasan seksual dan memberantas paradigma yang menyertainya. Dahulu kekerasan seksual dianggap sebagai tabu dan aib, tetapi sekarang zaman sudah berubah, pola pikir masyarakat juga harus lebih mengedepankan kemanusiaan yang tidak diskriminatif dengan tidak berpihak pada pelaku dan mendorong perlindungan pada korban untuk memulihkan fisik, psikis, dan sosialnya. (riz)