Penulis: Martina Mulia Dewi
Kalau dilihat dari pertumbuhan penduduk, data BPS menunjukkan bahwa saat ini ada 270,20 juta penduduk yang menempati 1,9 juta kilometer persegi luas daratan Indonesia. Kepadatan penduduk Indonesia sebanyak 141 jiwa per kilometer persegi. Pertumbuhan penduduk berbanding terbalik dengan ketersediaan lahan yang ada saat ini. Pertanyaannya, jika lahan semakin sempit, terlebih untuk lahan pertanian, lantas bagaimana sumber bahan makanan yang akan kita makan setiap harinya? Bukankah kebutuhan sandang, pangan, dan papan adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap hari?
Menjawab pertanyaan di atas tadi, ada satu solusi yang dapat menyediakan kebutuhan pangan dengan keterbatasan lahan pertanian yang semakin sempit seperti sekarang ini. Istilah Urban farming tentu bukanlah hal yang baru bagi sebagian orang. Urban Farming diterjemahkan sebagai pertanian perkotaan. Praktik pertanian ini memanfaatkan pekarangan rumah dan lahan kosong di sekitar perumahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan dapat juga dijual dengan skala yang lebih besar lagi.
Urban Farming dapat memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga secara mandiri. Jika setiap rumah tangga mampu melakukan hal ini bersama-sama, tentu akan menjawab tantangan peningkatan jumlah penduduk dan berkurangnya produk hasil pangan di masa mendatang. Praktik pertanian perkotaan biasanya dimulai dari menanam sayuran, seperti sawi, kangkung, bayam, seledri, dan tanaman lainnya yang masih tergolong mudah untuk perawatan. Paling tidak dapat mensuplai sayuran untuk memasak di rumah setiap hari.
Manfaat praktik urban farming bukan hanya memberikan nilai positif dalam pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga. Bu Sitawati, Nurlaeelih, dan Damaiyanti, Dosen Fakultas Pertanian UB, menjelaskan bahwa praktik urban farming juga mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya, edukasi, wisata dan kesehatan.
Aspek ekonomi dapat digunakan sebagai stimulus penguatan ekonomi lokal, pembukaan lapangan kerja baru, peningkatan penghasilan masyarakat, mengurangi kemiskinan, meningkatkan produksi dan penurunan harga pangan, efisiensi anggaran rumah tangga, dan masih banyak lagi.
Aspek ekologi dapat meningkatkan ruang hijau perkotaan, mengurangi limbah, meningkatkan kualitas udara, meningkatkan nilai estetika di wilayah perkotaan, menciptakan iklim mikro yang sehat, dan lainnya. Sedangkan aspek sosial dan budaya dapat menjadi ruang pertemuan komunitas, membangun modal sosial, penyedia tempat pendidikan, dan masih banyak lagi manfaat lainnya.
Situasi pandemi saat ini juga menarik minat masyarakat untuk mulai bercocok tanam di rumah. Banyak masyarakat yang mulai menanam sayuran, tabulampot, sampai tanaman hias untuk mengisi waktu luang di rumah. Hobi baru ini bukan hanya bermanfaat untuk mengisi kekosongan waktu luang saja, tapi juga dapat membuka peluang untuk bisnis di rumah. Apalagi saat ini keuntungan besar juga dirasakan oleh para pelaku usaha pertanian yang ramai diminati di tengah pandemi. Apakah kalian juga menjadi salah satu yang memulai hobi bercocok tanam di tengah pandemi ini? Bagaimana menurut kalian? Apakah hal ini bisa menjadi sesuatu yang bukan hanya sekadar hobi?
Kembali lagi pada topik penulisan artikel ini, Apakah urban farming benar-benar bisa menjadi solusi untuk ketahanan pangan di masa depan? Tentu saja. Tidak menutup kemungkinan untuk hal itu, jika semua mau bahu membahu mewujudkan ketahanan pangan bersama-sama. Dimulai dari lingkup terkecil dalam keluarga. Mari kita mulai dengan memanfaatkan lahan kosong di rumah untuk menanam sayuran yang sering kita konsumsi lebih dulu. Paling tidak bisa mengurangi pengeluaran bulanan untuk beli sayuran, iya kan ?(*)
Penulis Mahasiswa Fakultas Pertanian UB