Kanal24, Malang- Di tengah dominasi budaya digital dan hiburan instan, TikTok yang selama ini dianggap sebagai platform yang mendorong konten superfisial tiba-tiba menjadi ladang subur bagi tumbuhnya semangat membaca. Gerakan ini dikenal dengan nama BookTok, komunitas pengguna TikTok yang membahas buku secara emosional, ekspresif, dan sangat personal. Fenomena ini menjadi angin segar bagi industri perbukuan Indonesia, yang dalam beberapa tahun terakhir sempat menghadapi masa krisis: penjualan buku menurun, toko buku tutup, dan minat baca generasi muda dinilai melemah. Namun kini, berkat kekuatan storytelling pendek berbasis video, tren membaca menemukan jalannya kembali—bukan di perpustakaan, tapi di FYP.
Baca juga:
Mahasiswa UB Ceritakan Pengalaman di Film “Ingatan dari Timor”

Dari Joget ke Judul Buku Favorit
BookTok muncul sebagai ruang alternatif untuk membicarakan buku tanpa tekanan akademis atau standar literasi elitis. Di ruang ini, remaja bisa menangis karena akhir cerita, tertawa karena plot twist, bahkan marah karena kematian karakter favorit. Semuanya terekam dalam video 15–60 detik yang otentik dan penuh rasa. Menurut studi East South Social Science and Humanities Journal (2023), konten BookTok Indonesia mayoritas berupa ringkasan cerita, kesan pribadi, dan reaksi emosional jenis konten yang terbukti sangat efektif mendorong interaksi dan partisipasi. BookTok tak hanya mempromosikan buku, tetapi mengubah membaca menjadi pengalaman sosial. Pengguna saling berbagi cerita, diskusi, dan rekomendasi buku yang menyentuh hati. Inilah yang oleh Digital Society disebut sebagai perpustakaan emosional kolektif ruang digital tempat buku-buku hidup kembali melalui emosi para pembacanya.
Buku Lama Laris Lagi, Toko Buku Ikut Bangkit
Efek BookTok sangat nyata dalam dunia nyata. Buku-buku yang sempat tak terdengar kini kembali masuk daftar bestseller. “It Ends With Us” karya Colleen Hoover atau “The Song of Achilles” karya Madeline Miller meraih lonjakan penjualan secara drastis setelah menjadi viral. Platform e-commerce pun ikut menyesuaikan. Rak-rak buku digital di Shopee dan Tokopedia kini diberi label “BookTok Favorites”. Toko buku fisik seperti di Jakarta, Bandung, dan Surabaya juga ikut menyesuaikan display mereka agar bisa menarik minat generasi BookTok. Di berbagai kota, komunitas membaca bermunculan. Salah satunya Torang Baca di Jayapura, yang lahir dari interaksi pengguna TikTok dan berujung menjadi klub baca offline. Dari komentar video, ke DM, lalu ke kopi darat BookTok membuktikan bahwa membaca bisa jadi jembatan pertemanan dan interaksi nyata.
Bukan Sekadar Tren, Tapi Medium Identitas
BookTok bukan hanya soal meningkatkan angka penjualan buku. Ia juga membuka ruang bagi ekspresi diri dan pencarian identitas. Banyak kreator konten seperti Syarif (@menceriakan) dan Indra Dwi Prasetyo menyampaikan ulasan dengan gaya santai dan relatable. Mereka tidak tampil sebagai “polisi literasi”, tetapi sebagai teman yang menceritakan bacaan favorit mereka dengan jujur dan emosional. Laporan Whiteboard Journal menyebut bahwa BookTok telah berhasil menghapus kesan eksklusif dari dunia buku. Membaca bukan lagi hanya milik intelektual atau akademisi, tetapi juga milik siapa saja yang ingin merasa terhubung bahkan sekadar karena satu kutipan yang menyentuh. Menurut kurator literasi Windy Ariestanty, BookTok adalah “perayaan storytelling” yang membebaskan. Bukan teknik literer yang jadi sorotan, tapi rasa. Dan itulah yang membuat konten BookTok begitu kuat karena emosi lebih mudah viral daripada argumen.
Tantangan: Algoritma, Tren Sesaat, dan Karya Lokal
Meski positif, BookTok tetap menyimpan tantangan. Algoritma TikTok mendorong genre tertentu seperti romance dan coming-of-age menjadi dominan. Ini membuat karya sastra lokal atau buku-buku dengan tema kompleks rentan terpinggirkan. Selain itu, munculnya budaya baca yang cepat dan berganti buku yang viral hari ini bisa dilupakan esok hari juga menimbulkan kekhawatiran soal kualitas literasi jangka panjang. Namun demikian, menurut Digital Society, BookTok tetap memberi kontribusi besar sebagai gerbang awal literasi. Banyak pengguna yang mengaku kembali membaca buku setelah bertahun-tahun vakum, bahkan mulai menulis dan menerbitkan karya mereka sendiri berkat inspirasi dari komunitas ini.
Baca juga:
4 Book Cafe Hits di Malang untuk Pecinta Buku
Generasi Baru, Harapan Baru
BookTok menghadirkan harapan baru: generasi pembaca digital yang tidak malu mengekspresikan diri, terbuka terhadap cerita beragam, dan membaca karena memang ingin, bukan karena kewajiban.
Penulis-penulis muda juga mendapatkan panggung baru. Banyak yang memulai dengan menerbitkan secara independen, lalu viral di BookTok, dan akhirnya masuk ke rak toko-toko besar. Bagi industri buku, ini adalah panggilan untuk beradaptasi: mengenal selera baru, membuka ruang kolaborasi dengan kreator, dan menjadikan pengalaman membaca sebagai sesuatu yang emosional, visual, dan sosial. BookTok telah membuktikan bahwa media digital bukan musuh buku. Sebaliknya, ia bisa menjadi sekutu terbaik dalam membangun budaya baca yang inklusif, hidup, dan penuh rasa.
Buku kini tidak lagi hanya dibaca dalam diam, tetapi diceritakan, ditunjukkan, dan dirayakan bersama satu video TikTok pada satu waktu. (dht)