Kanal24, Malang – Dosen Program Magister Manajemen Perpustakaan dan Informatika Universitas Gadjah Mada, Ida Fajar Priyanto, MA., Ph.D, menyampaikan, bahwa budaya pendidikan dasar di Asia masih sangat kental dengan budaya kaukasia yang membawa pengaruh pada pengalaman pengajar untuk melaksanakan kewajibannya. Hal itu disampaikan dalam The 3 in 1 Program: Visiting Professor and Professional dengan tajuk Literacy and Epistemic Culture in Higher Education, Senin (26/09/2022).
“Sebetulnya dalam konteks Asia terutama Pendidikan Dasar itu masih sangat kental dengan budaya kaukasia, seperti di dalam bela diri, kalau masternya mengajari dia (murid) itu tidak ada yang berani berbicara (membantah pernyataan atau menyela perkataan pengajarnya). Dosen – Dosen senior tuh dulu juga begitu, kalau kita terlambat lima menit itu bakal dimarahi. Jadi, budaya-budaya itu kemudian (menjadi) (mem-) bekas (pada) ajaran dosen-dosen,” tuturnya.
Untuk menjelaskan perbedaan pola interaksi pembelajaran antara sistem dan budaya pendidikan di Indonesia dan Amerika Serikat, Ida Fajar, kemudian mengatakan bahwa budaya yang ada di Indonesia saat ini merupakan budaya pendidikan powerpoint.
“Begitu kuliah selesai, mahasiswa dikasih powerpoint itu rasanya sudah senang sekali. (Menerima materi) tanpa harus membaca, ini benar terjadi di masyarakat sekarang, begitu (men-)dapat powerpoint dosen itu dunia sudah (menjadi) milik dunianya (mahasiswa) sendiri. Langsung lulus cumlaude.Jadi, tanpa membaca itu bisa lulus dengan baik, ini yang perlu diwaspadai,” tutur Ida Fajar.
Menurutnya, untuk mewaspadai dan mengatasi permasalahan itu, sangat penting melakukan pengajaran tentang metode membaca agar seorang pembaca dapat memahami secara benar isi bacaan. Hanya saja, timpalnya, buku yang berada di perpustakaan di Indonesia saat ini masih sangat kurang. Hal itu berbeda dengan pengalaman yang Ia rasakan ketika melanjutkan studi di Amerika Serikat.
“Saya di Amerika justru kekurangan waktu untuk belajar karena bukunya banyak tapi waktunya gak cukup. Di Indonesia, kita justru punya waktu banyak tapi gak punya cukup sumber informasi,” ungkapnya.
Permasalahan kekurangan buku ini juga berdampak pada buku-buku yang harus digunakan oleh para Dosen. Ida, memaparkan bahwa masih banyak buku yang belum tersentuh langsung oleh Dosen sehingga masih banyak Dosen yang tidak membaca banyak buku dan minim referensi.
“Dosen-Dosen itu tidak banyak baca karena memang bukunya tidak banyak di Indonesia tapi muncul di negara-negara lain,” tuturnya.
“Nah, penulis buku-buku akademik itu masih sangat kurang, yang banyak muncul adalah buku-buku populer tentang kepustakaan, tapi tidak bisa dipakai untuk proses pendidikan,” ujar Ida Fajar menjelaskan sebab kurangnya bahan bacaan di Perpustakaan Indonesia.
Ida Fajar pun berharap kepada akademisi-akademisi maupun kepada pustakawan agar mau menuliskan berbagai buku-buku akademis.
Melanjutkan penjelasan sebelumnya mengenai perbedaan sistem dan budaya pendidikan, Ida menambahkan satu perbedaan lagi yaitu mengenai proses penilaian di ruang diskusi kelas.
“Satu lagi, kalau kita bertentangan dengan dosen itu nilainya langsung jelek. Tapi di Amerika bertentangan dengan Dosen itu bisa (mendapat nilai yang) bagus bergantung argumentasinya seperti apa. Kita diajarkan kalau pikiran yang kita tulis, tugas yang kita selesaikan itu harus sesuai dengan pikiran Dosen (yang mengajar) kalau bertentangan itu (nilai yang didapat) bisa jelek,” tutur Dosen UGM itu kepada 289 peserta yang hadir dalam forum kelas online tersebut.
Ida Fajar, menambahkan bahwa tentu saja ada perbedaan antara budaya di Indonesia dan Amerika Serikat. Indonesia yang memiliki etika untuk tidak menyela pembicaraan dosen pengajar tentu tidak bisa dibandingkan dengan di Amerika Serikat. Namun, mahasiswa dapat menanggapi ketika pengajar itu berhenti atau selesai memaparkan.
Untuk itu, timpal Dosen UGM itu di ruang virtual zoom, mahasiswa harus belajar dahulu sebelum perkuliahan dimulai agar ketika jam perkuliahan nantinya mahasiswa tidak hanya bergantung kepada Dosen sebagai pengajar melainkan juga turut berpartisipasi aktif dalam ruang diskusi kelas. (agt)