oleh | Akhmad Muwafik Saleh
“…… _Sesuk yen wis ketemu tahun sing kembar bakal ketemu jamane langgar bubar, mesjid korat-karit, Kabah ora kaambah, begajul padha ucul, manungsa seda tanpa diupakara, kawula cilik padha keluwen, para punggawa negara makarya nganti lali kaluwarga”_.
Cuplikan kalimat ini adalah sepotong dari ramalan Jayabaya tentang masa depan khususnya di bumi Nusantara ini. Suatu ramalan yang didasarkan atas ketajaman intuisinya sebagai seorang raja nan alim (waskita) dan futurolog yang terkenal sakti pada zamannya. Prabu Jayabaya adalah raja Kediri yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmeswara Madhusudana Watarandita Parakrama Digjayottunggadewanama Jayabhayalancana, yang memerintah tahun 1135-1157 M. Selain “waskita” atau tajam intuisinya, beliau juga terkenal “weruh sakdurunge winarah” (tahu sebelum diajarkan). Kesaktian Jayabaya dalam meramal kemudian diteruskan oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873), pujangga Kasunanan Surakarta, yang juga pujangga besar terakhir Tanah Jawa.
Kalimat ramalan diatas artinya kurang lebih adalah, “besok bila bertemu tahun kembar maka akan bertemu masanya surau atau musala bubar, masjid tidak teturus, Ka’bah tidak dikunjunjungi, penjahat lepas, manusia meninggal tidak diurus sebagaimana mestinya, rakyat kecil kelaparan, dan para pejabat/petugas bekerja sampai lupa keluarga”.
Sebuah ramalan yang sangat tepat dalam menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi pada zaman sekarang, suasana wabah pandemi Covid-19 dengan segala dampak dan peristiwa yang terkait di dalamnya. Yaitu terjadi pada tahun kembar, 2020. Dimana surau atau mushala bubar, tidak ada orang yang shalat karena aturan protokol kesehatan dalam pencegahan covid, sehingga banyak masjid yang ditutup seakan tidak terurus bahkan Ka’bah di tanah suci pun tak lepas dari dampak ini sehingga dilarang di kunjungi. Demikian pula dikatakan bahwa bahwa banyaknya begundal atau penjahat atau narapidana yang dilepas dari penjara, persis menggambarkan dengan apa yang terjadi pada saat saat ini. Demikian pula dengan realitas banyaknya rakyat yang kelaparan serta banyaknya PHK akibat dampak lockdown ataupun kebijakan PSBB yang melarang masyarakat keluar dari rumah. Akibat dari wabah ini sehingga para pejabat dituntut bekerja keras untuk melakukan pencegahan seakan tidak kenal waktu hingga seakan lupa keluarga.
Semua peristiwa ini diramalkan oleh Jayabaya bahwa hal demikian terjadi pada saat tahun kembar kesembilan dari Jangka Jayabaya, yaitu tahun 2020, yang disebutnya dengan istilah wolak walike jaman. Yaitu suatu tahun yang apabila digit angkanya dibolak balik memiliki unsur sama. Hasilnya hal ini terjadi dalam periodisasi setiap seratus tahun. Peristiwa wolak-walike zaman oleh Jayabaya dikatakan sebagai tahun-tahun yang akan dipenuhi dengan peristiwa besar. Dan ini terjadi mulai pada abad keduabelas tahun 1212 M, yaitu 100 tahun dari masa hidup sang Prabu Kediri ini yang hidup pada abad kesebelas, tahun 1111 M. Dan ramalan periodisasi ini kemudian lebih dikenal dengan istilah Jangka Jayabaya.
Ramalan akan terjadinya peristiwa besar dalam setiap seratus tahun ini, sebenarnya telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadistnya bahwa dalam setiap periodisasi seratus tahun akan terjadi pembaharuan. Sebagaimana dalam sabdanya :
«إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا»
Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui untuk umat agama mereka (HR Abu Dawud).
Ramalan dalam jangka jayabaya pertama ini dimulai pada abad kedua belas, tahun 1212 yaitu terjadinya peristiwa besar berupa kudeta pertama di bumi Nusantara yang dipimpin oleh seorang rakyat jelata bernama Arok atau Ken Arok yang mulai memimpin pasukan untuk menyerang Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung. Dan juga kerajaan Kediri. Inilah peristiwa kudeta pertama di Nusantara. Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya kerajaan Majapahit.
Peristiwa kedua yaitu pada tahun 1313 terjadi banyaknya pemberontakan di kerajaan Majapahit. Namun akhirnya mampu ditumpaskan oleh Gajahmada yang kelak mengantarkannya sebagai seorang Mahapatih di Kerajaan Majapahit hingga bersumpah untuk mempersatukan seluruh wilayah Nusantara yang dikenal dengan Sumpah Palapa-nya.
Peristiwa ketiga terjadi pada tahun kembar berikutnya tahun 1414. Yaitu terjadi peristiwa besar berupa perang besar antara kerajaan Majapahit dengan musuh-musuhnya yang dibantu oleh Cheng Ho seorang panglima perang dari Tiongkok yang beragama Islam dan kemudian menyebarkan Islam di sana dan selanjutnya menjadi salah satu faktor yang mempercepat keruntuhan kerajaan Majapahit serta menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa yakni Demak.
Peristiwa di tahun kembar keempat yaitu pada tahun 1515 adalah awal sebuah peristiwa besar yang menjadi sejarah kelam Nusantara, yang dimulai dengan kedatangan bangsa Portugis yang berhasil berkuasa di Malaka, dan kemudian mulai bersiap menyerang ke pulau Jawa. Dan selanjutnya menjadi pintu masuk penjajahan di bumi nusantara ini.
Peristiwa besar pada seratus tahun berikutnya, pada tahun kembar kelima 1616 adalah peristiwa penyerangan Sultan Agung Hanyokusumo, Raja kerajaan Mataram untuk mengusir Belanda dari wilayah Batavia (1613-1645). Yang awalnya dipicu dengan kehadiran kastil atau benteng VOC (1619). Dan menjadi awal perlawanan dalam mengusir penjajahan di bumi nusantara.
Peristiwa besar keenam, terjadi pada seratus tahun kemudian yaitu tahun 1717, terjadi peristiwa Untung Suropati yang terus berjuang melakukan perlawanan atas penjajahan. Untung suropati terus bertahan terhadap serangan Belanda hingga akhirnya beliau tewas di benteng pertahanannya di daerah Bangil. Jiwa heroik perlawanan atas penjajahan ini terus menggelora dari para pejuang di Nusantara yang kelak menjadi spirit perlawanan menegakkan kebenaran dan belanegara.
Tahun kembar ketujuh adalah tahun 1818, yaitu terjadinya peristiwa besar berupa meletusnya perang Jawa yang dipimpin oleh pangeran Diponegoro sehingga dikenal juga dengan perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro dikenal bergelar Sultan Abdulhamid Cokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Kalifatullah Tanah Jowo. Beliau memimpin perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa
Peristiwa di tahun kembar kedelapan dalam jangka Jayabaya ini adalah tahun 1919, yaitu terjadinya revolusi Oktober di Rusia dan untuk pertama kalinya berdiri sebuah negeri sosialis yang berideologi marxist-leninis/ komunis. Di Hindia Belanda Baars, Snevliet adalah yang pertama memperkenalkan ajaran sosialisme atau marxisme dan mendirikan ISDV pada sekitar tahun kembar tersebut. Muara daripada ISDV adalah Partai Kamunis Indonesia yang hanya dalam dua tahun sejak berdiri mampu mengorganisir pemberontakan di Sumatera Timur yang banyak terdapat perkebunan luas milik swasta dan pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya PKI ini menjadi momok bahaya laten di masa berikutnya hingga hari ini dengan banyak pemberontakan berdarahnya, serta sebagai kelompok dengan ideologi yang bertentangan dengan semangat jiwa perjuangan dan landasan negara Pancasila serta jiwa ketuhanan yang mendarah daging pada sebagian besar rakyat Indonesia.
Tahun kembar selanjutnya adalah tahun 2020 yang merupakan tahun kembar kesembilan dari jangka Jayabaya dengan peristiwa besarnya adalah adanya wabah corona atau Covid-19 yang kemudian merubah pola tatanan baru dalam kehidupan manusia modern dengan istilah New Normal. Dampak dari wabah pandemi ini menjadikan wolak walik (perubahan) perilaku manusia di masa pandemi ini yang semakin membingungkan. Wolak walik perilaku ini antara lain : jika dahulu kalau seseorang rajin ke masjid disebut dengan orang saleh, namun sekarang orang yang datang ke asjid dianggap salah. Jika dahulu iman yang harus dikuatkan, sekarang imun-lah yang lebih dijadikan fokus. Jika dahulu kalau orang bersin dianjurkan berucap “Alhamdulillah, umur panjang”, namun sekarang orang bersin, dianggap sedang sakit dan membawa malapetaka. Jika dahulu kita punya semboyan “bersatu kita teguh”, namun sekarang bersatu kita runtuh. Karena protokol kesehatan mengajurkan untuk social and physical distancing. Jika dahulu apabila ada tamu seseorang akan merasa senang karena dianggap membawa berkah, namun sekarang ada tamu dianggap bawa penyakit. Jika dahulu kalau seseorang bertemu selalu berjabat tangan, namjn sekarang ketemu akan segera angkat kaki dan cepat pergi. Jika dahulu parfum-lah yang kita bawa di dalam tas, namun sekarang hand sanitizer spray yang dibawa kemana-mana. Jika dahulu dianjurkan untuk membagikan dan memberikan senyuman kepada siapa saja, namun sekarang yang dibagikan adalah masker yang menutupi senyuman mulut kita. Jika dahulu kata “negatif” itu dianggap tidak bagus, maka sekarang kata “positif” dianggap tidak bagus bahkan ditakuti. Jika dahulu pulang membesuk orang tua dianggap membawa kebahagiaan, namun sekarang membesuk orang tua disangka membawa penderitaan. Dan jika dahulu cuci tangan untuk makan, namun sekarang di mana-mana di suruh cuci tangan tetapi tidak dikasih makan. Memang tahun kembar kesembilan ini semakin aneh, sudah semakin terbalik dan membingungkan. Inilah jaman edan itu.
Akhirnya menarik untuk merenungkan wasiat dari Jayabaya ini dalam menghadapi zaman yang sepertu sekarang ini yaitu “……. _jamane jaman edan, sing ora edan ora bakal keduman. Nanging sak bejo-bejone wong edan, isih luwih bejo wong kang eling lan waspodo_ …… Semoga Allah menyelamatkan kita agar tidak ikut-ikutan edan. Aamiin…
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar, Dosen FISIP UB dan sekretaris KDK MUI provinsi Jawa Timur