oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Salah satu ciri dari dunia informasi di era industri 4.0 dan masyarakat 5.0 adalah menjadikan media khususnya media sosial sebagai rujukan utama dan memiliki pengaruh sangat signifikan dalam menkonstruksi pola pikir dan tindakan publik. Harapan besarnya adalah masyarakat diharapkan mampu menikmati kehidupan yang berkualitas melalui perkembangan teknologi informasi yang sedemikian cepat ini. Disatu sisi teknologi informasi dirasakan telah mampu menjadikan masyarakat lebih mudah dalam menjalani berbagai aktifitas dan memenuhi berbagai kebutuhan hidup dan menjadikan kehidupan lebih berkualitas. Sementara disisi yang lain teknologi informasi dapat berdampak sebaliknya yaitu menjadi sarana yang akan membuat masalah baru bagi masyarakat dan menjadi pemicu perubahan psikologis masyarakat yang tidak terpuji manakala tidak mampu dikelola dengan baik. Tidak jarang dalam beberapa peristiwa teknologi informasi melalui media sosial telah menjadi alat teror baru yang dapat menakut-nakuti masyarakat.
Media sosial yang sedemikian cepat sebagai bentuk perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih selain sebagai media edukasi bagi masyarakat namun juga telah merubah berbagai pola kehidupan dan bahkan telah menjadi alat teror bagi masyarakat. Hal ini dirasakan pada saat ini disaat terjadi wabah corona atau Covid-19. Menurut beberapa kalangan ahli bahwa Covid-19 ini sebenarnya tidaklah seganas virus sebelumnya yang masih berada dalam satu keluarga virus, yaitu seperti SARS atau MERS. Dibandingkan dengan kedua penyakit ini, Covid-19 cenderung lebih ringan dan tidak mematikan. Angka kematian akibat SARS adalah 13%, sementara MERS angka kematiannya sekitar 30-40%. Sementara angka kematian akibat Covid-19 hanyalah 2-3% artinya sangat rendah dan memiliki dampak yang sangat ringan dibandingkan varian virus corona sebelumnya. Menurut informasi CNN hingga Kamis (12/3/2020) tercatat sudah menginfeksi 126.061 orang di 118 negara di dunia. Berdasarkan perhitungan situs pelaporan daring Worldometers, sekitar 67.064 orang dinyatakan sembuh dan 4.616 meninggal dunia.
Namun memang Covid-19 ini memiliki daya penyebaran yang sangat cepat. Apabila dilihat dari fakta demikian maka harusnya covid-19 tidak perlu terlalu dikhawatirkan namun ternyata covid-19 tampak lebih heboh dan sangat menyita perhatian seluruh penduduk dunia hingga setiap negara melakukan lockdown atas wilayahnya untuk pencegahan penyebaran virus ini sementara keganasan covid-19 tidaklah seganas kedua virus corona sebelumnya.
Mengapa hal demikian dapat terjadi? . Hal ini disebabkan karena pada saat terjadinya wabah SARS (2002) ataupun MERS (2012), dunia jagad medsos tidaklah secanggih hari ini (2020). Hari ini media sosial telah menguasai dunia. Setiap orang dapat dipastikan memiliki smartphone sehingga setiap orang dapat memberitakan sekecil apapun kejadian kapan pun dan dimana pun saat itu juga. Sehingga peristiwa apapun yang terjadi maka pada saat itupulalah dapat diberitakan ke seluruh dunia. Sehingga medsos hari ini telah menteror dunia dengan berita-berita tentang covid-19 ini. Artinya kehebohan wabah covid-19 ini sebenarnya tidaklah seheboh dampak kematian yang diciptakannya melainkan kengerian atas wabah covid-19 ini lebih disebabkan oleh faktor teror media yang terus menerus memberitakan kasus wabah ini ke seluruh penjuru dunia dengan segala perilaku bermedia yang didalamnya seringkali dibangun atas tindakan yang kurang dewasa dan tidak bertanggungjawab.
Dikatakan tidak bertanggungjawab karena dalam berbagai berita tentang Covid-19 ini banyak informasi hoax yang diproduksi seperti sebuah video pendek yang tentang bagaimana proses penyebaran virus ini. Alih-alih memberikan edukasi tentang covid-19 bahkan video tersebut telah menjadi teros baru bagi publik sehingga memunculkan rasa curiga pada siapapun. Demikian pula dengan beberapa video lainnya yang cenderung bermuatan hoax seperti korban covid-19 di wuhan yang ditembaki oleh aparat atau drone yang menembaki kerumunan massa berkumpul. Semua video ini viral dalam jagad medsos tanah air dan telah menciptakan teror baru bagi masyarakat sehingga menjadikan covid-19 menjadi amat sangat mengerikan tanpa dasar argumentasi fakta yang valid dan benar. Tanpa kejujuran dan kebenaran maka informasi yang diproduksi akan menjadi teror kemanusiaan yang jauh lebih mengerikan dari apa yang sesungguhnya terjadi.
Semua itu terjadi sebagai dampak dari defisitnya kecerdasan dan kedewasaan dalam bermedia. Hal ini ditandai dengan sikap masyarakat yang suka sharing tanpa saring. Setiap orang suka menyebarkan informasi tanpa terlebih dahulu menyaringnya, apakah informasi tersebut benar, valid atau hoax. Apakah informasi tersebut berdampak positif bagi publik atau sebaliknya yaitu membuat kekacauan dan kemudharatan. Minusnya kecerdasan bermedia bisa jadi disebabkan karena mayoritas masyarakat kita bukanlah seorang content creator melainkan hanya sebagai follower informasi yang hanya mengkonsumsi informasi atau berita. Sementara para content creator yang ada banyak pula yang tidak bertanggungjawab atas produksi pesan yang dibuatnya atau mungkin pula sebab keisengan yang merupakan bentuk tidak bertanggungjawab.
Sementara mayoritas masyarakat penikmat informasi ini memiliki budaya ingin cepat-cepatan menjadi penyebar informasi, pahlawan berita, wartawan dadakan atau apapun namanya. Intinya mereka ingin dianggap menjadi orang pertama yang menyebarkan informasi “penting”, padahal bisa jadi apa yang disebarkannya tersebut sebenarnya telah disebar / sharing oleh orang lain terlebih dahulu. Jadilah ia pahlawan kecelek, pahlawan kesiangan. Mereka para “pahlawan berita” ini cenderung tidak berpikir terlebih dahulu dampak yang akan terjadi di masyarakat manakala berita tersebut tersebar. Sementara budaya informasi yang berkembang di masyarakat adalah mudah menelan mentah-mentah informasi tanpa “mengunyahnya” (berpikir analitis) sampai halus terlebih dahulu.
Dalam suasana keprihatinan sebab wabah covid-19 ini dibutuhkan rasa empati dalam bermedia dengan turut ikut membuat suasana tenang dan damai sehingga mampu membuat suasana bahagia bagi masyarakat yang dapat meningkatkan imun tubuh sebagai pencegahan dari wabah penyakit ini. Untuk itu perlu kecerdasan dalam bermedia agar media sosial yang ada di masing-masing tangan kita mampu menjadi jalan kemanfaatan dan turut berperan dalam mencegah penyebaran virus corona ini. Intinya adalah bersikaplah cerdas dewasa dalam bermedia yang bisa dicirikan dengan antara lain:
pertama, saring sebelum sharing. Alat untuk menyaring informasi akal dan hati kita. Yaitu manakala berita itu diluar nalar akal sehat maka jangan disebar. Manakala perasaan kita mengatakan bahwa rasanya berita tersebut akan berdampak negatif bagi masyarakat maka tahanlah jari kita untuk men-klik-nya dan menyebarkannya. Artinya lakukan analisis terlebih dahulu sebelum di share ke orang lain.
Bersikap kritislah atas setiap informasi atau berita yang diperoleh dengan cara melakukan cross check berita (tabayyun) sebelum disebar. Untuk itu jangan mudah percaya atas setiap berita informasi yang ada kecuali setelah dilakukan tabayyun kepada ahlinya serta sumber resmi yang dapat dipertanggungjawabkan. Artinya setiap memperoleh berita jangan langsung ditelan mentah-mentah, namun kunyahlah terlebih dahulu. Yaitu Jika berita itu negatif serta irrasional maka berota atau informasi itu cukup disimpan sendiri lalu buanglah jauh-jauh ke sampah dan jangan jadikan medsos kita sebagai tempat pembuangan sampah. Mari cerdaslah bermedia dan lawanlah Covid-19 secara bersama-sama dengan menebarkan berita baik dan positif untuk membangkitkan semangat sehat dan bahagia bagi seluruh masyarakat karena hanya dengan perasaan bahagia kita akan keluar sebagai pemenang atas bencana wabah ini. In syaa Allah…!!
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB