Kanal24, Malang – Di tengah derasnya arus informasi dan aktivitas media sosial yang kian masif, suara perempuan menemukan ruang baru untuk berjuang. Tak lagi hanya di jalanan atau forum diskusi tertutup, kini perlawanan terhadap ketimpangan gender juga bergema di dunia maya. Melalui ruang digital, perempuan, laki-laki, dan komunitas inklusif bersama-sama membangun kesadaran baru tentang kesetaraan dan solidaritas. Semangat inilah yang menjadi napas utama dalam gelaran Titik Temu Vol. 2 bertajuk “Digital Space, Equality Place”, yang diinisiasi oleh Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya (EM UB) – Kabinet Simpul Memori pada Jumat (10/10/2025) di Gedung Widyaloka UB.
Isu kesetaraan gender di era digital kembali menjadi sorotan dalam forum Titik Temu Vol. 2, yang menghadirkan Muallifah, S.Pd., M.Sc., Koordinator Puan Menulis sekaligus Project Manager ThinkThank.id, sebagai pembicara utama. Dalam sesi tersebut, ia memaparkan bagaimana cyberfeminisme membuka ruang perjuangan baru bagi perempuan di dunia maya.
Baca juga:
Belajar Media, SMK Pembangunan Surabaya Kunjungi UB Medcom
Media Sosial sebagai Ruang Baru Perjuangan Perempuan
Dalam pemaparannya, Muallifah menjelaskan bahwa cyberfeminisme merupakan bentuk gerakan feminisme yang memanfaatkan media sosial sebagai sarana perjuangan yang lebih cair dan inklusif. “Cyberfeminisme adalah feminisme yang disarankan oleh media sosial. Ia lebih cair dan terbuka, memungkinkan siapa pun untuk menjadi tokoh dan memiliki otoritas dalam menyuarakan perjuangan perempuan,” ungkapnya di hadapan peserta.
Muallifah menilai bahwa kehadiran media sosial telah mengubah cara perempuan berjuang dan menyampaikan keresahan mereka. Ia mencontohkan munculnya gerakan daring seperti tagar #NamaBaikKampus atau desakan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang berawal dari suara-suara netizen. “Satgas PPKS yang sekarang ada di banyak kampus, termasuk di UB, tidak lepas dari desakan publik di media sosial. Itu bukti bahwa suara digital bisa bertransformasi menjadi kebijakan nyata,” tegasnya.
Tantangan Kekerasan Berbasis Gender di Dunia Maya
Namun, di balik kekuatan media sosial sebagai alat perjuangan, Muallifah juga menyoroti tantangan besar berupa kekerasan berbasis gender online (KBGO). Ia menjelaskan bahwa semakin aktif seseorang bersuara tentang isu gender, semakin besar pula risiko menjadi sasaran diskriminasi, pelecehan, atau bahkan doxing. “Semakin kita lantang berbicara, semakin besar potensi serangan baliknya. Itu bentuk lain dari perjuangan di dunia maya,” katanya.
Lebih lanjut, Muallifah mengingatkan pentingnya etika bermedia sosial agar ruang digital tidak berubah menjadi arena kekerasan baru. Ia menekankan bahwa setiap individu memiliki otoritas di dunia maya, namun juga tanggung jawab untuk menjaga keamanan data dan menghormati keberagaman gender. “Kalau kita tidak punya pemahaman, kita bisa tanpa sadar jadi pelaku kekerasan digital. Tapi kalau kita memahami etika dasar dan keberagaman, kita justru bisa menciptakan ruang aman bagi semua,” jelasnya.
Etika Digital dan Perlawanan terhadap Algoritma Bias
Muallifah juga menyoroti bagaimana algoritma media sosial dapat memperkuat bias gender. Ia mencontohkan bahwa ketika seseorang mencari kata kunci “pemimpin” di internet, hasil yang muncul mayoritas adalah figur laki-laki. Sementara konten edukasi seksualitas atau kesetaraan gender sering kali dibatasi algoritma. “Ini menunjukkan bahwa perjuangan kita juga melawan sistem digital yang bias. Karena itu, solidaritas menjadi bentuk perlawanan yang paling nyata,” tuturnya.
Menurutnya, solidaritas digital dapat diwujudkan melalui komunitas online dan ruang edukasi maya. Ia mencontohkan akun-akun seperti milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang kini tidak hanya menjadi sarana informasi, tetapi juga ruang edukasi tentang kesetaraan. “Media sosial bukan hanya milik perempuan, tapi juga laki-laki. Karena budaya patriarki merugikan keduanya. Laki-laki juga berhak menangis, berhak tidak harus selalu kuat. Itu bagian dari kesetaraan yang perlu disuarakan bersama,” tambahnya.

Kesetaraan Gender sebagai Agenda Bersama
Dalam konteks mahasiswa, Muallifah menegaskan bahwa keberanian untuk bersuara adalah bentuk solidaritas paling penting. Ia menyoroti banyaknya kasus kekerasan berbasis gender yang masih terjadi di kampus, baik dari dosen maupun sesama mahasiswa. “Jangan takut bersuara. Justru dengan bersuara, kita saling menguatkan dan membangun kesadaran kolektif. Banyak kebijakan lahir dari suara-suara mahasiswa yang berani bicara,” pesannya.
Sebagai penutup, Muallifah menegaskan bahwa perjuangan kesetaraan gender bukan hanya milik perempuan, tetapi perjuangan seluruh elemen masyarakat. “Kalau kita bicara demokrasi, maka perempuan harus menjadi bagian dari prosesnya. Tanpa pelibatan perempuan, demokrasi itu pincang,” pungkasnya.
Melalui gagasan-gagasan yang ia sampaikan, Muallifah menegaskan bahwa dunia digital bukan sekadar ruang interaksi, tetapi juga ruang perlawanan dan kesadaran. Cyberfeminisme bukan hanya tentang perempuan yang bersuara, melainkan tentang bagaimana seluruh masyarakat memanfaatkan teknologi untuk menciptakan ruang digital yang adil, setara, dan manusiawi. (nid/tia)