Kanal24, Malang – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya menghadirkan narasumber nasional dalam acara Guest Lecture bertajuk “The Trajectory of Indonesian Presidential Communication” pada Kamis, (2/5/2025). Bertempat di Nuswantara Auditorium, Gedung B Lantai 7, kegiatan ini membahas dinamika komunikasi presiden Indonesia dari masa Soekarno hingga era Prabowo Subianto.
Mengangkat tema besar “From Soekarno to Prabowo”, kuliah tamu ini menghadirkan Daniel Sparringa, Ph.D., Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik periode 2009–2014, yang juga dikenal sebagai akademisi sekaligus pengamat politik nasional.
Dalam paparannya, Daniel memberikan refleksi kritis sekaligus pemetaan atas perubahan besar dalam praktik komunikasi politik presiden Indonesia, khususnya setelah Indonesia memasuki era demokrasi.
Perbedaan Era Sebelum dan Sesudah Demokrasi
Daniel membuka paparannya dengan menegaskan pentingnya membedakan antara periode sebelum demokrasi dan setelah Indonesia mengadopsi sistem politik demokrasi.
“Yang paling mudah dibedakan adalah dengan membandingkan komunikasi politik sebelum demokrasi dan setelah kita masuk ke dalam sistem demokrasi. Dalam demokrasi, tidak hanya kepemimpinan, tapi komunikasi publik menjadi jauh lebih menantang dan kompleks,” ujar Daniel.
Ia menjelaskan bahwa ruang publik kini semakin terfragmentasi dengan berbagai aspirasi dan opini. Hal tersebut menuntut adanya pendekatan komunikasi yang tidak hanya teknis, tetapi juga melibatkan seni dan intuisi.
“Komunikasi politik dalam era demokrasi tidak cukup hanya disampaikan dengan data dan teks. Kita butuh pendekatan lintas disiplin seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik, bahkan psikologi. Karena pada akhirnya, kita berhadapan dengan manusia yang punya pengalaman individual dan karakter unik,” imbuhnya.

Tantangan Komunikasi Publik dan Peran Pemimpin
Menurut Daniel, tantangan terbesar saat ini dalam komunikasi kepemimpinan terletak pada kemampuan untuk menghormati publik.
“Inti dari menjadi pemimpin dan politisi adalah menghormati publik. Bahkan ketika pertanyaan dari audiens tampak ‘bodoh’, tetap harus dilihat sebagai bagian dari relevansi pemikiran masyarakat. Meremehkan atau membalas dengan merendahkan justru menunjukkan kegagalan dalam membangun komunikasi publik yang bermartabat,” jelasnya.
Daniel menekankan bahwa komunikasi yang baik tidak selalu bertujuan untuk menyenangkan atau memenangkan debat. Yang terpenting adalah menyampaikan pandangan presiden secara jujur dan terbuka kepada masyarakat, tanpa intensi manipulatif atau sekadar mencari penerimaan.
Di hadapan mahasiswa FISIP UB, Daniel berbagi pengalaman dan pelajaran penting dari masa jabatannya sebagai juru bicara presiden.
“Menjadi juru bicara bukan soal menang atau kalah dalam debat opini. Tugas utamanya adalah menyampaikan kebijakan dan sikap presiden secara terang, tanpa pretensi untuk memaksakan penerimaan. Kita harus sadar bahwa di luar sana ada banyak pandangan dan kita bukan satu-satunya pemilik kebenaran,” tuturnya.
Pesan untuk Generasi Muda
Ia juga memberi pesan tegas kepada para mahasiswa Ilmu Komunikasi untuk tidak terjebak pada euforia gelar akademik semata.
“Belajar Ilmu Komunikasi tidak otomatis menjadikan seseorang ahli komunikasi. Kita perlu menjadi agen perubahan, memiliki komitmen untuk menjawab panggilan sejarah bangsa ini. Membuat keadilan sosial lebih merata dan membangun rasa bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia,” pungkasnya.(Zid/Hil/Din)