Kanal24, Malang – Di tengah derasnya arus modernisasi dan perubahan gaya hidup urban, keberadaan dapur tradisional atau pawon perlahan kehilangan makna filosofisnya. Padahal, dalam kehidupan masyarakat Jawa, pawon bukan sekadar tempat memasak, tetapi juga ruang perjumpaan, perenungan, dan pembelajaran nilai-nilai budaya. Dari sinilah gagasan “Nguri-Uri Budaya Pawon” lahir—sebuah upaya untuk mengembalikan fungsi dapur sebagai jantung kehidupan sosial dan kultural masyarakat.
Acara Nguri-Uri Budaya Pawon diselenggarakan pada 5–6 November 2025 di Kampung Budoyo Ketawanggede, Jl. Kerto Pamui, Malang. Kegiatan ini diinisiasi oleh Direktorat Kerja Sama Kebudayaan, Direktorat Jenderal Diplomasi, Promosi, dan Kerja Sama Kebudayaan Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, bekerja sama dengan Kompartemen Kebudayaan IKA Universitas Brawijaya. Dukungan juga datang dari BPOM, Universitas Brawijaya, Festival Kampung Ketawanggede, serta Komunitas Ko Lijo.
Baca juga:
MTN dan Miles Films, Nyalakan Obor Kebangkitan Film Indonesia

Pawon sebagai Ruang Sosial, Edukatif, dan Kultural
Melalui rangkaian kegiatan yang berlangsung dua hari penuh, Nguri-Uri Budaya Pawon berupaya mengembalikan dapur sebagai ruang multifungsi: sosial, edukatif, dan kultural. Dapur dipandang bukan hanya sebagai tempat mengolah bahan makanan, tetapi juga tempat berkumpulnya keluarga, warga, dan lintas generasi untuk berbagi pengalaman serta memperkuat ikatan sosial.
Seperti disampaikan kepada Kanal24 pada Rabu (05/11/2025) Dr. Tri Wahyu Nugroho, S.P., M.Si., Sekretaris PPID Universitas Brawijaya, pawon memiliki peran vital dalam kehidupan masyarakat. “Pawon adalah tempat kita meramu kebutuhan hidup. Namun yang lebih penting, pawon juga tempat berinteraksi, tempat pengetahuan, bahkan tempat membangun budaya yang baik dari hal yang paling privat,” ujarnya.

Makna mendalam ini juga ditegaskan oleh Trie Utami, penyanyi sekaligus budayawan yang menjadi bintang tamu dalam acara tersebut. Ia menyampaikan refleksi tentang dapur sebagai ruang spiritual dan budaya. “Dapur itu ruang doa, ruang perjumpaan, ruang untuk mengingat kembali keberdayaan keluarga. Kita harus memaknai dapur bukan sekadar tempat memasak, tapi juga tempat menjaga filosofi dan kecukupan gizi keluarga,” ucapnya.
Rangkaian Acara yang Merangkul Tradisi dan Kreativitas
Selama dua hari pelaksanaan, Kampung Ketawanggede menjadi panggung budaya yang hidup. Beragam kegiatan dihadirkan, mulai dari pertunjukan seni tradisi seperti Nyeletang Keroncong, Tari Kreasi Sajoo, Tari Bapang SD, hingga Singo Barong Kampung Cempluk, yang merepresentasikan keragaman budaya lokal.
Sisi edukatif diwujudkan melalui Diskusi Publik dan Peluncuran Buku “Lelang Jagoan” dalam program Pawon Cilik. Sementara itu, semangat kebersamaan terlihat dalam Demonstrasi Memasak “Cuthuk Geni”, di mana warga dan peserta belajar mengolah masakan tradisional berbahan lokal.
Selain itu, hadir pula sejumlah narasumber dan akademisi, di antaranya Dr. Ari Ambarwati, M.Pd., Dr. Dwi Cahyono, Dr. Redy Eko Prastyo, S.Psi., M.I.Kom., Prof. Dr. Sucipto, STP., MP., IPU., Titis Sari Kusuma, S.Gz., M.P., dan Sri Widji Wahyuning. Mereka membahas peran budaya kuliner dalam membangun karakter bangsa dan pentingnya pelestarian nilai-nilai tradisional di ruang domestik.
Ketua Kompartemen Kebudayaan IKA UB, Dr. Redy Eko Prastyo, menjelaskan bahwa kegiatan ini menjadi bagian dari inisiatif Kampung Lingkar Kampus UB yang bertujuan mempertemukan mahasiswa dan warga dalam ruang budaya bersama. “Kami ingin menjadikan pawon sebagai dapur ilmu pengetahuan dan dapur peradaban. Kampung ini dihuni banyak mahasiswa, dan kami ingin mereka belajar budaya tidak hanya di ruang kuliah, tapi juga di ruang hidup masyarakat,” ujarnya.
Spirit Pelestarian dan Harapan untuk Masa Depan
Nguri-Uri Budaya Pawon tidak hanya menampilkan sisi estetika dari tradisi, tetapi juga mengandung pesan sosial yang kuat: menjaga kearifan lokal di tengah modernitas. Dengan menjadikan pawon sebagai ruang terbuka untuk dialog lintas generasi, kegiatan ini mendorong pelestarian budaya yang berkelanjutan.

Menurut Ogi Setiawan, Sekretaris Kelurahan Ketawanggede, acara ini memberikan dampak positif bagi warga. “Budaya pawon ini luar biasa. Kita semua punya kenangan tentang dapur. Semoga tradisi ini bisa terus berlanjut dan memberi dampak ekonomi serta sosial yang baik bagi masyarakat,” katanya.
Selain memperkuat nilai-nilai budaya, kegiatan ini juga membuka peluang pengembangan ekonomi lokal dan wisata budaya. Model pelestarian berbasis komunitas seperti ini bisa direplikasi di daerah lain sebagai strategi untuk menjaga keberlanjutan budaya sekaligus memperkuat ketahanan pangan masyarakat.
Menjaga Api Budaya dari Dapur
Melalui Nguri-Uri Budaya Pawon, masyarakat diajak untuk kembali “menyalakan api dapur” bukan hanya secara harfiah, tetapi juga secara simbolik—api semangat, pengetahuan, dan kebersamaan. Dapur menjadi simbol dari keseharian yang sarat makna; tempat di mana budaya lahir, tumbuh, dan diwariskan.Spirit pawon yang diangkat dalam acara ini menjadi pengingat bahwa menjaga budaya tidak selalu harus melalui hal besar. Justru, dari ruang paling sederhana—seperti dapur—identitas bangsa dapat terus menyala, menjadi sumber kekuatan untuk membangun peradaban yang berakar pada nilai-nilai lokal dan kebersamaan. (nid/yor)










