Kanal24 Malang- Di tengah derasnya arus digital, banyak orang menemukan jalur baru untuk menjadikan hobi sebagai sumber penghasilan. Fenomena ini melahirkan tren yang disebut passion economy, sebuah model ekonomi berbasis renjana yang memberi ruang bagi siapa pun untuk mengubah kesenangan menjadi profesi.
Robin Farades, misalnya, bukan hanya seorang penggemar pesawat. Ia adalah plane spotter yang menghabiskan waktunya di tepi landasan pacu, merekam momen pesawat lepas landas dan mendarat. Awalnya, Robin hanya ingin berbagi kegemarannya lewat siaran langsung di TikTok. Namun, interaksi dengan penonton membawanya pada kejutan: gift virtual yang ia terima bisa berkembang menjadi sumber pendapatan hingga Rp9 juta per bulan.
Kisah serupa datang dari Eka Yulianto, pemilik kanal YouTube @Sepur.khreta. Berangkat dari kecintaan pada kereta api dan alam, Eka berhasil menyulap hobinya menjadi konten yang menarik ribuan pengikut. Identitas unik dan konsistensinya membuatnya berbeda dari kreator lain, sekaligus membuktikan bahwa ketulusan bisa menjadi daya tarik utama di tengah banjir konten digital.
Baca juga:
ICCF Nusantaraya 2025 Usung Semangat Malang Raya
Wajah Baru Ekonomi Digital
Kedua kisah tersebut merepresentasikan wajah baru bisnis di era digital. Generasi muda kini tak lagi sekadar menjadikan hobi sebagai pelarian, melainkan pondasi profesi. Nama-nama besar seperti Windah Basudara hingga Fadil Jaidi semakin menegaskan tren ini. Windah memikat bukan karena keahliannya bermain gim, melainkan lewat interaksi akrab dengan komunitasnya. Sementara Fadil dan sang ayah, Pak Muh, viral karena menghadirkan kehangatan keluarga yang spontan dan menghibur.
Fenomena ini sejatinya bukan hanya terjadi di Indonesia. Marie Kondo di Jepang sukses mengubah kecintaannya terhadap kerapian menjadi bisnis global melalui metode KonMari, buku bestseller, hingga serial Netflix. Begitu pula Huda Kattan, yang berawal dari blog kecantikan sederhana, lalu membangun kerajaan kosmetik berkat ketekunan dan kejujuran dalam membagikan tips. Benang merah yang menyatukan mereka adalah kemampuan menjual sesuatu yang lebih dari sekadar produk. Mereka menjual cerita, identitas, dan nilai, sehingga membangun koneksi emosional dengan audiens.
Generasi Z dan Kurikulum Hobi
Generasi Z, yang lahir di tengah kemajuan teknologi, melihat platform digital sebagai ruang hidup sekaligus ruang kerja. Penelitian Mikhael Hamonangan Sitorus menunjukkan bahwa mereka termotivasi untuk menekuni profesi digital karena fleksibilitas dan potensi penghasilan jangka panjang. Kanal YouTube, akun TikTok, hingga portofolio Instagram kini berfungsi layaknya CV digital yang menunjukkan keterampilan nyata. Kreator konten bukan sekadar membuat video, melainkan melatih banyak keterampilan penting: komunikasi, kreativitas, kepemimpinan, editing, desain, hingga analisis data. Motivasi kuat yang lahir dari renjana membuat mereka mampu bertahan dan konsisten, dua kunci utama dalam industri kreatif.
Tantangan di Balik Layar
Namun, di balik cerita sukses, terdapat tantangan besar yang kerap terabaikan. Pertama, kesenjangan akses internet. Meski Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mencatat penetrasi internet mencapai hampir 80 persen pada 2024, kualitas jaringan masih timpang. Kreator di kota besar dapat siaran langsung dengan lancar, sementara di daerah terpencil sekadar mengunggah video pun sulit.
Kedua, tekanan mental. Algoritma yang menuntut konsistensi membuat kreator terjebak dalam siklus produksi tiada henti. Studi menunjukkan 72,2 persen kreator merasa bertanggung jawab lebih untuk memproduksi konten. Tekanan ini berujung pada creator burnout, ditambah komentar negatif dan kecemasan terhadap performa konten.
Ketiga, risiko hukum. Praktik re-upload dan pencurian karya menjadi masalah serius. Banyak kreator dirugikan secara finansial dan reputasi. Di sinilah pentingnya pemahaman mengenai Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 serta perlindungan karya lewat HAKI.
Menjadi Diri Sendiri, Menjadi Bernilai
Kisah Robin, Eka, Windah, Fadil, hingga Marie Kondo membuktikan satu hal: di era digital, keaslian adalah kekuatan utama. Audiens tidak hanya mencari hiburan, tetapi juga koneksi yang jujur dan inspirasi yang nyata. Hobi kini bukan lagi sekadar aktivitas iseng. Dengan konsistensi, kreativitas, dan keberanian menghadapi tantangan, ia bisa menjelma profesi bernilai ekonomi sekaligus identitas yang menghubungkan seseorang dengan komunitas global.
Pertanyaannya, masihkah kita memandang hobi sebagai sekadar kesenangan sesaat? Atau sudah saatnya melihatnya sebagai benih masa depan yang, bila dirawat dengan cinta dan kerja keras, bisa tumbuh menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dari bayangan kita?(nvl).










