Sejak disepakatinya demokrasi sebagai sistem pemerintahan negara, bagi saya Indonesia masih belum bisa menemukan ritme terbaik dalam menerapkannya. Bangsa ini hampir selalu terlambat dalam merespon perubahan era. Mulai dari era demokrasi masa revolusi kemerdekaan, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, orde baru, sampai dengan reformasi. Bangsa Indonesia selalu dihadapkan pada permasalahan yang fundamental, yaitu tentang bagaimana mewujudkan demokrasi secara tepat dan ideal.
Ke”lemot”-an negara dalam menyesuaikan diri ini agaknya bukan terletak pada konsep, regulasi, atau struktur yang ditetapkan. Tetapi lebih pada kualitas manusia dan implementasi dari substansi yang ada. Dengan kata lain proses berdemokrasi (demokratisasi)-nya lah yang masih belum dijalankan secara baik. Perjalanan sistem demokrasi yang silih berganti belum bisa dipahami dan diterapkan secara kaffah oleh masyarakat. Opini saya dalam konteks ini bisa dibuktikan dari bagaimana tinta sejarah mencatat sistem demokrasi di negara ini berubah dengan hampir selalu diawali oleh konflik antar rakyat dengan penguasanya. Baik itu konflik pemikiran atau bahkan konflik fisik. Tentu saja persoalan ini menjadi penting selama negara masih ingin konsisten menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Karena bagaimanapun juga demokrasi akan selalu menghendaki rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Government of the people, by the people, for the people.
Ditengah kegamangan bangsa ini dalam berdemokratisasi, muncul era baru yang syarat akan kemajuan teknologi. Salah satu implikasinya, kita hampir tak merasakan adanya sekat bagi manusia untuk bisa berelasi dan bertukar informasi. Apapun bisa dilakukan dengan cepat dan efisien. Dengan kata lain, sektor teknologi informasi lah yang kira-kira paling banyak “kecipratan” dampaknya. Yang cukup menarik bagi saya, bahwa fenomena ini kemudian cukup berpengaruh pada berlangsungnya proses kehidupan bangsa. Bahwa era kemajuan teknologi dan informasi ini dimulai dan dikemas dengan proses yang amat smooth. Perlahan karena setiap detiknya cenderung menghendaki perubahan, dan istimewa karena tanpa ada konflik dalam prosesinya. Sangat berbeda dengan era-era yang pernah ada sebelumnya. Oleh karenanya fenomena ini banyak tidak diindahkan oleh kita. Rhenald Kasali dalam bukunya Disruption (2017), sampai dengan “gemas” mengingatkan bangsa ini untuk siap, siaga, dan tanggap dalam menghadapi babak kehidupan multidimensi baru yang kerap disapa sebagai era disrupsi ini. Oleh karena era disrupsi ini mampu merambah kehidupan dasar manusia, bahkan efeknya bisa sampai berpengaruh pada keberlangsungan stabilitas negara.
Dalam hal ini saya melihat bahwa ada kebiasaan yang terulang bagi bangsa ini, yaitu gagal menempatkan diri pada posisi yang ditengah kemajuan zaman dan fenomena yang begitu dinamis adanya. Oleh karenanya demokrasi akhirnya terkesan hanya dimaknai sebagai alat politik (Political tool) saja, tanpa diiringi dengan pemahaman utuh ihwal esensi dan substansi nilainya. Akhirnya saya rasa sah saja jika saya mengatakan bahwa demokrasi yang katanya melaju cepat pada era reformasi ini sejatinya adalah demokrasi semu. Lebih-lebih ia harus melaju bersama dengan “si disrupsi” ini.
Anomi Politik yang Terfasilitasi oleh Disrupsi
Anomi (Anomie) politik menurut sosiolog Prancis, Emile Durkheim, adalah suatu konsep sosiologi dimana masyarakat secara kolektif menyepakati pelanggaran norma sosial yang telah disepakati sejak lama. Pelanggaran ini terjadi dikarenakan adanya penyimpangan sosial yang secara terus menerus terjadi dan akhirnya dianggap lumrah. Artinya, sistem sosial yang sebelumnya dipahami sebagai pedoman berkehidupan (norma) akhirnya hilang (normlessness), sehingga merusak keharmonisan tatanan sosial yang ada.
Disadari atau tidak, saat ini kita sedang mengalami fenomena itu. Bedanya ini berlangsung amat cepat, karena “numpang” di atas jalur rel disrupsi. Kebebasan menjelajah informasi bisa dirasakan oleh siapa saja, tanpa filter dan tanpa peta. Begitupun halnya dalam menyampaikan pendapat. Hal ini tentu menjadi bahaya ketika semua elemen negara tak mampu untuk menghadapinya. Seperti yang kita rasakan sekarang, ambilah contoh kondisi media sosial saat ini yang banyak dianggap sebagai manifestasi pragmatisme politik. Yang lebih memilukan adalah banyak yang menjadikan perilaku ini sebagai dalih atas nama demokrasi.
Sejak reformasi berhasil ditegakan, negara ini terlihat sangat terbuka kepada rakyat yang ingin mengartikulasikan aspirasinya. Tetapi tanpa disadari lalu lintas aspirasi itu tersalurkan tanpa disiapkan betul jalur dan wadahnya. Masyarakat yang semakin gandrung dan peduli terhadap negara dan politik akhirnya memanfaatkan teknologi informasi sebagai media aspirasi. Tetapi justru keterbukaan itu perlahan malah memerlihatkan boroknya. Terkesan dimanfaatkan, liar, dan berpotensi memiliki tendensi, dalam aspek politik khususnya. Bahkan seperti yang kita rasakan pada Pilpres yang baru dilaksanakan beberapa bulan lalu, saya melihat justru demokrasi dan kebebasan berpendapat banyak digunakan sebagai alat politik dari pemilik status quo, maupun oleh pihak oposisi. Lebih-lebih jika kita lihat banyak media yang saat ini diduga ikut nyemplung ke dalam permainan. Atau oknum lembaga survei yang men-komersialisasi-kan diri dibalik klaimnya sebagai bagian dari institusi akademis.
Akhirnya kebebasan berpendapat bergeser menjadi kebebasan mengumpat. Yang mengumpat bisa siapa saja. Dengan atau tanpa alasan. Oleh masyarakat biasa, aktor politik, atau bahkan aparatur negara. Substansinya pun menjadi nol, tak bermakna. Yang ada hanya subjektifitas dan penghakiman yang datang oleh satu pihak, lalu dibalas oleh pihak lawannya. Dan ini seakan dianggap biasa oleh mereka. Ya, inilah anomi politik. Yang lebih parah menurut saya adalah bahwa ini bukan hanya pelemahan norma, tapi juga pembodohan masyarakat oleh mereka yang berkepentingan. Yang bodoh semakin bodoh karena kepentingan orang-orang “pintar”.
Dalam perspektif bernegara, setidaknya saya yakin jika kita masih mau menggunakan hati nurani, dan semua orang pasti mengamini bahwa bukan seperti ini idealnya berdemokrasi. Terlalu rendah dan tak bermarwah!
Seluruh Elemen Harus Berbenah
Barangkali patut dijadikan sebuah literasi oleh kita, ketika Aristoteles dan Plato menganggap bahwa sistem demokrasi adalah produk yang gagal. Demokrasi cenderung ada bagi mereka yang mayoritas. Cenderung diskriminatif, sehingga bagi mereka yang menghendaki kestabilan, monarki itu sudah paling sempurna. Rakyat ada untuk pemimpinnya, dan pemimpin ada untuk menghidupi rakyatnya. Atau mungkin kita harus lebih banyak belajar ketika kita ingin konsisten mempertahankan sistem ini dan melawan teori seorang Frank Karsten, penulis libertarian Belanda, yang beberapa tahun ini menulis sebuah buku berjudul “Kegagalan Demokrasi”. Didalam bukunya Karsten mengemukakan bahwa praktik demokrasi saat ini justru bertentangan dengan kemerdekaan individu. Sangat berbeda dengan tujuan utamanya. Demokrasi berpihak pada suara kolektif yang merupakan representasi dari keinginan mayoritas. Tetapi itu hanya ada pada mekanisme pemilihan pemimpinnya. Selepas dari itu? Kita hanya sekumpulan orang yang dikebiri haknya oleh regulasi yang dibuat untuk mengenyangkan perut penguasa. Dengan kata lain, bagi Karsten, masyarakat demokrasi selama ini sebenarnya hanya menjadi budak pengakomodir kepentingan elit-elit politik yang berkuasa.
Tentu bukan bermaksud untuk menentang sistem yang ada. Sebagai bagian dari masyarakat, tulisan ini merupakan salah satu bentuk kepedulian. Sekaligus menjadikan diri ini sebagai contoh tentang bagaimana idealnya saya hanya bisa beropini bahwa ini semua ini masih bisa dibenahi dengan peningkatan moral dan penegakan hukum yang menyeluruh. Ini harus dilakukan dengan kesadaran penuh dan dibenahi oleh seluruh elemen bangsa. Hukum itu sangat perlu. Tetapi, eika dan moral harus tetap ada dan jangan sampai terdegradasi. Seperti yng dikatakan oleh Gurunda Mahfud MD, bahwa diatas hukum masih ada moral. Tanpa moral, hukum dan aturan bisa dipermainkan seenaknya.
Jika didalam evaluasi organisasi dikenal mekanisme top to down dan bottom to up, maka itu pula yang seharusnya diterapkan oleh negara. Artinya Pemimpin harus menjemput rakyat, sementara rakyat juga harus terus terus mendukung dan mengawal kebijakan pemimpin.
Budaya literasi harus terus digalakan dihadapan masyarakat. Iqra dan Tabayyun harus dibiasakan. Supaya rakyat lebih cerdas dan mampu mencerdaskan. Tidak mudah dibodohi dan dijadikan alat kepentingan oleh pihak tertentu.
Yang terpenting bagi saya, kritik keras harus terus kita sampaikan kepada pemerintah. Atas ketidakbecusannya dalam menyediakan ruang demokrasi bagi masyarakat, serta ketidakmampuannya dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bagaimana seharusnya demokrasi itu diejawantahkan. Seperti yang pernah disampaikan oleh KH Haedar Nashir, bahwa PR demokratisasi saat ini adalah menyediakan ruang demokrasi yang ideal dan berimbang. Pemerintah juga tentu harus lebih peka untuk bisa memetakan need and interest masyarakat sehingga bisa menemukan formulasi atas bobroknya pola komunikasi antara rakyat dan birokrat, terlebih di era disrupsi seperti yang kita rasakan saat ini.
* Ahmad Abyan Ausaf, Ketua PAO Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Malang, Mantan Presiden BEM FP UB 2017-2018