Kanal24 – Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah rampung menggelar Debat Ketiga Capres Pemilu 2024 di Istora Senayan, Jakarta, Minggu malam (7/1/2024). Pertarungan adu gagasan antar capres atas tema pertahanan, keamanan, hubungan internasional, globalisasi, geopolitik, dan politik luar negeri itu tak ayal mengundang berbagai respon.
Pakar Geopolitik, Dosen HI UB, Adhi Cahya Fahadayna, S.Hub.Int., M.S. menilai bahwa calon Presiden (capres) nomor urut 3 Ganjar Pranowo lebih menguasai substansi yang terkandung pada tema Debat Ketiga Capres Pemilu 2024 dibandingkan dengan capres lainnya.
“Pasangan 03 ini nampak menguasai substansi secara keseluruhan dan tidak terjebak dengan dinamika-dinamika yang terjadi antara pasangan 01 dan pasangan 02. Ini cukup mengejutkan, mengingat ya karena pasangan 03 tidak memiliki background dan juga pengalaman yang cukup signifikan di dalam bidang yang terdapat pada tema debat.” ujarnya.
Sedangkan ia menilai bahwa capres nomor urut 1, Anies Baswedan dan 2, Prabowo Subianto tampak lebih banyak memperdebatkan tentang relasi-relasi personal yang sifatnya sangat emosional.
“Padahal publik itu berekspektasi penuh terhadap performa dari capres 01 dan capres 02, capres 01 dipandang sebagai akademisi yang seharusnya lebih banyak bicara tentang substansi, sedangkan capres 02 adalah petahana dari Kementerian Pertahanan, di mana kemudian Kementerian Pertahanan adalah ujung tombak dari tema debat yang ketiga ini.” ujarnya.
Menurutnya, penampilan Ganjar Pranowo pada debat ketiga tersebut dapat meningkatkan sentimen publik terhadapnya, terutama sentimen di media sosial yang cukup tinggi.
Namun ia menggarisbawahi bahwa pembahasan yang muncul pada debat ketiga seperti pembelian alutsista bekas merupakan isu-isu yang cukup normatif.
“Pembelian alutsista bekas merupakan hal umum karena Indonesia belum terhubung dengan baik antara perencanaan pertahanan, industri strategis, dan potensi industri yang dimiliki, serta keterbatasan anggaran. Hal ini menyebabkan pemerintah terbatas dalam membeli alutsista modern dan baru, yang merupakan situasi yang wajar.” terangnya.
Ia menyayangkan bahwa capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, tidak secara mendalam membahas isu tersebut. Menurutnya, Kementerian Pertahanan telah mengambil kebijakan yang cukup baik mengingat keterbatasan anggaran namun dengan mekanisme yang dibuat mampu memenuhi minimum essential force.
Selain isu alutsista, gagasan multi-kultural seperti ASEAN juga kurang dibahas lebih dalam meskipun sempat disinggung oleh capres nomor urut 1, Anis Baswedan.
“Kita tahu bahwa ASEAN ini tidak cukup bisa merepresentasikan konteks geopolitik hari ini karena ASEAN memang sangat tidak solutif, sangat tidak memiliki perspektif atau bahkan memiliki kontribusi yang cukup reliable dan juga cukup kontributif terhadap penyelesaian masalah-masalah di Asia Tenggara karena ASEAN sendiri banyak terjebak dengan masalah internal.” ungkapnya.
Terkait dengan pertarungan geopolitik antar negara-negara besar seperti China, ia menilai bahwa ketiga capres belum mampu memberikan terobosan gagasan yang nyata. Menurutnya, pertarungan geopolitik yang terjadi di wilayah Laut China Selatan tersebut memerlukan gagasan-gagasan yang cukup progresif bukan hanya sekedar gagasan yang normatif seperti pengadaan alutsista.
Menurutnya, problematika sebenarnya dari isu hubungan internasional yang ada di Indonesia adalah masalah tafsiran dari politik bebas aktif yang sudah tidak relevan lagi dengan konteks kekinian dan membatasi Indonesia untuk bergabung dalam aliansi pertahanan di sekitarnya.
“Kebijakan politik bebas aktif memunculkan pandangan bahwa Indonesia kurang tegas dalam politik internasional dan kurang memiliki legitimasi militer dibandingkan dengan tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan Australia yang aktif membentuk aliansi untuk mengimbangi kekuatan China.” terangnya.
Tren meningkatnya konflik di negara-negara seperti Ukrainan dan Palestina menuntut respon yang lebih rinci dari setiap capres. Menurutnya, masing-masing capres perlu menguraikan peran dan kontribusi yang bisa diberikan oleh Indonesia sebagai negara besar dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut.
Belum adanya gagasan elaboratif dari masing-masing capres terkait isu tersebut menurutnya berasal dari doktrin politik luar negeri Indonesia sendiri yang cukup bermasalah sejak awal.
“Doktrin bebas aktif Indonesia perlu diperjelas, karena konteks non-blok saat Perang Dingin tidak lagi ada. Ketidakadaan blok dominan saat ini membuat pandangan netral Indonesia perlu diperbarui agar lebih sesuai dengan kondisi geopolitik terkini.” jelasnya. (din/sat)