Kanal24, Malang – Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh DPR RI pada 20 Maret 2025 memicu gelombang protes dari berbagai kalangan masyarakat sipil, akademisi, hingga organisasi non-pemerintah. Perubahan signifikan dalam undang-undang tersebut, terutama terkait perluasan kewenangan TNI di luar tugas pokok pertahanan, telah memicu perdebatan di berbagai kalangan. Sejumlah pihak menilai bahwa perubahan ini berpotensi menimbulkan implikasi besar terhadap kehidupan sipil dan prinsip demokrasi di Indonesia.
Isi Revisi UU TNI yang Kontroversial
Revisi UU TNI mengusulkan sejumlah perubahan, termasuk pemberian kewenangan bagi anggota TNI untuk menduduki jabatan di kementerian, lembaga negara, serta badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD). Ketentuan ini dipandang sebagai langkah untuk memperluas peran TNI di luar fungsi tradisionalnya sebagai penjaga kedaulatan negara.
Menurut Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoedin, revisi ini bertujuan untuk meningkatkan sinergi antara TNI dan elemen negara lainnya dalam menghadapi tantangan keamanan multidimensional, termasuk ancaman siber dan terorisme.
“Kita ingin memastikan bahwa TNI dapat berperan lebih aktif dalam mendukung stabilitas nasional,” ujarnya dalam sebuah konferensi pers.
Namun, kritik datang dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil dan akademisi. Mereka mengkhawatirkan adanya risiko militerisasi di ruang-ruang sipil yang selama ini diatur oleh mekanisme demokrasi. Berbagai pengamat hukum berpendapat bahwa kewenangan tambahan ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih antara peran sipil dan militer, yang sebenarnya sudah jelas diatur dalam konstitusi.
Gelombang Protes yang Menguat
Sejak revisi UU TNI diajukan, gelombang protes muncul di berbagai daerah. Demonstrasi yang melibatkan mahasiswa, aktivis, dan masyarakat umum menuntut pemerintah untuk mengkaji ulang beberapa pasal yang dianggap problematik. Salah satu aksi terbesar terjadi di Jakarta, di mana ribuan pengunjuk rasa berkumpul di depan gedung DPR/MPR, menyerukan pentingnya menjaga supremasi sipil dalam pemerintahan.
Salah satu koordinator aksi, Andi Wahyudi dari Koalisi untuk Demokrasi, menyatakan, “Kami mendukung penguatan TNI dalam tugas pertahanan, tetapi kami menolak militerisasi dalam ruang-ruang sipil. Revisi ini harus dibatalkan demi menjaga demokrasi yang sudah susah payah kita bangun.”
Aksi serupa juga terjadi di Yogyakarta, Surabaya, dan Malang, dengan tema utama menolak pasal-pasal yang dianggap dapat mengganggu kehidupan demokrasi. Selain itu, gelombang protes ini turut disuarakan di media sosial melalui tagar seperti #TolakRevisiUUTNI dan #SaveDemokrasi.
Respon Pemerintah dan TNI
Menteri Hukum dan HAM menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk mendengarkan aspirasi publik. “Kita akan pastikan bahwa setiap perubahan tidak akan melanggar prinsip demokrasi dan hak asasi manusia,” ujarnya.
Sementara itu, pihak TNI sendiri berupaya meredakan kekhawatiran publik. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyatakan bahwa peran tambahan yang diusulkan dalam UU TNI tidak akan mengganggu supremasi sipil. “Kami berkomitmen untuk tetap berada dalam koridor demokrasi dan profesionalisme,” tegasnya.
Tantangan ke Depan
UU TNI ini menimbulkan pertanyaan besar tentang arah hubungan sipil-militer di Indonesia. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk memperkuat peran TNI dalam menghadapi tantangan keamanan modern. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa perubahan tersebut dapat membawa Indonesia mundur ke masa di mana militer memiliki dominasi di berbagai aspek kehidupan.
Proses legislasi ini masih akan terus berlangsung, dan berbagai pihak berharap bahwa DPR dan pemerintah akan mempertimbangkan dampak jangka panjang dari revisi ini. Peneliti dari LIPI, Dr. Ratna Kartika, menyatakan bahwa penting bagi semua pihak untuk tetap mengedepankan dialog konstruktif. “Kita harus memastikan bahwa perubahan ini tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga melindungi kepentingan bangsa secara keseluruhan,” ujarnya.
Perdebatan mengenai UU TNI menunjukkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan keamanan nasional dan prinsip demokrasi. Dalam konteks ini, transparansi, partisipasi publik, dan komitmen pada nilai-nilai demokrasi menjadi kunci untuk menemukan solusi yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Gelombang protes yang terus mengemuka menjadi pengingat bahwa aspirasi rakyat harus tetap menjadi prioritas utama dalam setiap keputusan politik.(din)