Kanal24, Malang – Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) menggelar ujian terbuka disertasi pada Kamis (03/07/2025), dengan menghadirkan topik penting dalam hukum keluarga di Indonesia. Promovendus Dr. Rifqi Kurnia Wazzan, S.H.I., M.H., menyampaikan disertasinya yang berjudul “Hakikat Isbat Nikah yang Berkepastian Hukum dalam Hukum Perkawinan di Indonesia” sebagai bentuk kontribusi akademik terhadap urgensi reformasi hukum dalam praktik isbat nikah.
Dalam pemaparannya, Rifqi mengungkapkan bahwa saat ini terdapat konflik hukum yang serius dalam pelaksanaan isbat nikah di Indonesia. Konflik tersebut terjadi antara Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mewajibkan pencatatan perkawinan, dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang membuka ruang bagi isbat nikah untuk pernikahan yang tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
Baca juga:
Disertasi FH UB: Paradigma Baru Hakim dalam Harta Bersama

“Sebagian masyarakat kini memilih melakukan isbat nikah bukan sebagai jalan terakhir atas pernikahan tak tercatat, melainkan sebagai alternatif untuk menghindari kewajiban pencatatan di KUA. Hal ini menciptakan pergeseran makna dan fungsi isbat nikah, yang seharusnya menjadi solusi hukum, bukan pilihan awal,” jelas Rifqi.
Lebih jauh, Rifqi menekankan bahwa sejak diberlakukannya UU Perkawinan pada 1974, praktik perkawinan di bawah tangan masih terus berlangsung tanpa kontrol yang memadai. Fakta empiris menunjukkan bahwa setiap tahun terdapat lebih dari 50.000 permohonan isbat nikah yang masuk ke pengadilan agama, dan angka tersebut diyakini hanya mewakili sebagian kecil dari keseluruhan praktik nikah siri di masyarakat.
“Artinya ada jutaan warga negara yang hidup dalam ikatan perkawinan yang tidak tercatat secara hukum, dan mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum yang seharusnya. Anak-anak, perempuan, dan pasangan dalam posisi yang rentan,” tambahnya.
Dalam disertasinya, Rifqi mendorong agar dilakukan reformasi hukum yang komprehensif, baik dari sisi legislasi maupun interpretasi yuridis. Ia menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, DPR, Mahkamah Agung, dan Kementerian Agama untuk menyatukan norma hukum yang kini terpecah antara UU Perkawinan dan KHI. Perubahan tersebut diharapkan dapat menghapus dualisme penafsiran, serta menciptakan sistem hukum perkawinan yang satu dan pasti.
“Langkah konkret harus dimulai dari perubahan Kompilasi Hukum Islam oleh Mahkamah Agung, dan revisi undang-undang oleh pemerintah dan DPR. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa seluruh praktik perkawinan yang terjadi di masyarakat memiliki kekuatan hukum yang jelas dan perlindungan negara yang nyata,” ujarnya menutup pemaparan.

Baca juga:
FH UB Angkat Isu Penculikan Anak dalam Perkawinan Campuran
Ujian terbuka ini turut menghadirkan para akademisi dan pakar hukum dari berbagai institusi, dengan promotor utama Prof. Dr. Thohir Luth, MA. Forum ilmiah ini menjadi momentum penting untuk mengangkat kembali urgensi reformasi hukum perkawinan, khususnya dalam konteks isbat nikah, sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional yang adil, inklusif, dan berpihak pada kelompok rentan.
Dengan disertasi ini, Rifqi berharap bahwa pemikiran dan gagasannya dapat menjadi dasar ilmiah yang kuat bagi pembaruan hukum di Indonesia, demi mengakhiri praktik perkawinan tanpa pencatatan yang merugikan jutaan rakyat. (nid/dht)