Kanal24, Malang – Di tengah tantangan demokrasi yang semakin kompleks, menjaga keadilan menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Demokrasi bukan hanya soal suara mayoritas, tetapi juga tentang bagaimana hak-hak minoritas dilindungi dan dihargai. Ketika demokrasi gagal memberikan perlindungan yang setara bagi semua warga negara, ia berisiko kehilangan esensi utamanya sebagai sistem yang adil dan inklusif. Keadilan harus menjadi prinsip utama dalam setiap pengambilan keputusan, terutama di tengah masyarakat yang beragam seperti Indonesia.
Menanggapi pentingnya isu ini, UPT PKM Universitas Brawijaya (UB) bersama Oase Institute, Center for Character and Diversity Studies, dan Lakspesdam PCNU Kota Malang mengadakan diskusi bertajuk “Keadilan, Hak-Hak Minoritas, dan Kewarganegaraan Multikultural” pada Kamis (27/08/2024). Acara ini merupakan seri kelima dari rangkaian diskusi Seri Wacana yang diadakan di OASE Café & Literacy, Malang.
Dalam keterangan yang diterima Kanal24 (1/9/2024) dijelaskan bahwa diskusi tersebut menghadirkan narasumber utama Al Khanif, Ph.D., seorang Dosen dari Universitas Jember (UNEJ) sekaligus Direktur Center for Human Rights, Multiculturalism, and Migration (CHRM2). Dalam pemaparannya, Al Khanif membuka dengan membahas kasus penyerangan terhadap umat Muslim di Tolikara, Papua, yang menjadi sorotan nasional.
Menurutnya, kasus Tolikara merupakan bukti nyata bahwa meskipun Muslim adalah mayoritas di Indonesia, mereka menjadi minoritas di Papua. Peristiwa ini mengindikasikan kurangnya pemahaman masyarakat Indonesia, terutama kelompok mayoritas, terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya dalam hal menghormati perbedaan.
“Penyerangan terhadap minoritas tidak hanya terjadi di Tolikara, tetapi juga di berbagai daerah lain dengan alasan bahwa kelompok minoritas dianggap mengganggu norma budaya dan struktur sosial yang sudah mapan,” jelas Al Khanif. Ia menambahkan bahwa kelompok mayoritas sering kali menuduh minoritas sebagai pelanggar norma sosial, bahkan dalam beberapa kasus memaksa mereka untuk mengikuti aturan mayoritas yang dapat melanggar hak-hak mereka.
Lebih lanjut, Al Khanif menjelaskan bahwa dalam banyak kasus, norma mayoritas dianggap sebagai standar harmoni sosial. Ketika kelompok minoritas dianggap tidak bertentangan dengan norma mayoritas, mereka diterima, tetapi jika sebaliknya, mereka dianggap sebagai ancaman terhadap harmoni tersebut. Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan prinsip keadilan dalam hukum, di mana semua individu seharusnya dihargai secara setara.
“Jika ada kelompok minoritas yang diusir dan negara membiarkannya, itu menjadi aturan yang sah. Ini menunjukkan bahwa tidak ada kekosongan hukum, melainkan ada hukum yang dibiarkan berlaku oleh negara,” ungkapnya.
Antusiasme peserta terlihat dalam sesi tanya jawab yang dimoderatori oleh Destriana Saraswati, M.Phil., dosen UPT PKM UB. Berbagai pertanyaan diajukan, mulai dari konsep keadilan yang berlaku, posisi HAM dalam menghadapi kasus-kasus pelanggaran terhadap minoritas, hingga strategi seperti konsep Desa Pancasila untuk mencegah intoleransi.
Selain diskusi, acara ini juga dimeriahkan dengan musikalisasi puisi oleh Ainurrahman dan pembacaan puisi oleh Abdul Muhaimin. Dua peneliti asal Amerika Serikat, Sarah Davisson dan Skaidra, turut berpartisipasi dalam diskusi, memberikan pandangan internasional terhadap isu HAM dan minoritas di Indonesia.
Hasil diskusi ini menyimpulkan bahwa perlu adanya upaya berkelanjutan untuk mengarusutamakan nilai-nilai HAM dalam kehidupan sosial masyarakat, serta mendorong pemahaman yang lebih baik tentang hak-hak minoritas dan kewarganegaraan multikultural.
Diskusi ini tidak hanya memperkaya wawasan para peserta tetapi juga memperkuat komitmen untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil bagi semua kelompok, tanpa memandang perbedaan budaya, agama, atau latar belakang sosial. (nid/iz)