Kanal24, Malang – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Abdul Mu’ti melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menyebutkan bahwa ia tidak terburu-buru dalam mengambil kebijakan.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa fokus pemerintah saat ini tidak hanya mencakup peningkatan kesejahteraan guru, tetapi juga peningkatan kualitas pengajaran melalui penambahan tenaga pendidik di berbagai bidang, termasuk matematika, IPA, dan bimbingan konseling. Selain itu, Kemendikdasmen menargetkan untuk memperluas akses pendidikan melalui program wajib belajar 13 tahun yang memfokuskan pada pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai pondasi bagi jenjang pendidikan selanjutnya.
Menanggapi hal tersebut, Ulifa Rahma, S.Psi., M.Psi., dosen psikologi Universitas Brawijaya, memberikan pandangan terkait program yang telah berjalan sebelumnya. Menurutnya, konsep Merdeka Belajar yang telah berjalan lebih dari dua tahun sangatlah baik karena mempertimbangkan tahap perkembangan setiap anak. Dalam kurikulum ini, peserta didik diberikan pembelajaran sesuai dengan usia dan tingkat perkembangannya. Sebagai contoh, anak-anak usia pra-sekolah atau Taman Kanak-Kanak (TK) akan diberikan pendidikan yang lebih fokus pada pengembangan aspek sensor motorik, sosial, emosional, dan kemandirian. Hal ini bertujuan agar ketika memasuki Sekolah Dasar (SD), anak-anak sudah memiliki kesiapan akademik dan sosial yang memadai, sehingga mereka dapat mengikuti kegiatan belajar dengan lebih baik.
“Ketika anak memasuki usia SD, mereka diharapkan telah siap baik secara akademik, sosial, maupun emosional. Kesiapan ini tentunya akan menunjang keberhasilan anak dalam menjalani pendidikan di jenjang-jenjang selanjutnya,” ujar Ulifa.
Dalam pernyataan Menteri Kemendikdasmen, Mu’ti sempat menyinggung kemungkinan mengenalkan matematika untuk usia dini, hal tersebut dilandasi oleh keinginan Prabowo pada perkembangan di bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM). Wajib belajar selama 13 tahun juga berkaca pada Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025-2045 yang diluncurkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas SDM sejak pendidikan anak usia dini (PAUD)
Namun, Ulifa mencatat bahwa meskipun konsep ini ideal, pelaksanaannya di lapangan masih menghadapi tantangan signifikan. Salah satunya adalah adanya tuntutan yang tinggi di beberapa sekolah, bahkan pada anak-anak usia dini, untuk menguasai kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Padahal, menurut Ulifa, pendekatan ideal seharusnya memberikan ruang bermain yang cukup untuk anak-anak agar mereka bisa belajar secara natural tanpa paksaan. Pemaksaan anak untuk menguasai calistung di usia dini dapat memicu masalah psikologis, seperti kecemasan dan tantrum ketika mereka tidak bisa mengikuti tuntutan akademik yang terlalu tinggi.
“Fenomena di masyarakat menunjukkan banyak orang tua dan sekolah yang mewajibkan anak usia di bawah 6 tahun untuk mengikuti pendidikan formal, padahal banyak di antara mereka belum siap secara emosional maupun kognitif. Hal ini berpotensi menyebabkan kecemasan dan stres ketika anak-anak harus memenuhi tuntutan akademik yang belum sesuai dengan usianya,” kata Ulifa.
Ulifa menegaskan bahwa konsep Merdeka Belajar sebenarnya sudah mengarah pada pembelajaran yang terstruktur berdasarkan tahapan perkembangan siswa. Namun, realitas lapangan menunjukkan bahwa banyak sekolah, terutama di daerah, belum memiliki infrastruktur dan tenaga pengajar yang memadai untuk mendukung program ini. Untuk itu, peningkatan profesionalitas guru dan kesejahteraan mereka juga menjadi faktor krusial dalam meningkatkan kualitas pendidikan dasar.
“Guru-guru di lapangan seringkali overload karena tugas mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga harus mengurus berbagai kegiatan administrasi. Di beberapa sekolah, satu guru harus mengajar banyak siswa dalam satu kelas. Dengan kondisi seperti ini, kesejahteraan dan profesionalisme guru harus ditingkatkan agar mereka dapat fokus dalam mendidik peserta didik,” jelas Ulifa.
Menurutnya, kesejahteraan guru sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Guru yang sejahtera tentu akan lebih mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan memberikan dampak positif pada perkembangan siswa.
Ulifa menekankan pentingnya kolaborasi antara guru dan orang tua dalam mendukung perkembangan anak. Di era sekarang, anak-anak sering kali dipaksa untuk mengikuti berbagai les tambahan demi mencapai standar tertentu. Hal ini dapat membuat anak merasa frustasi dan akhirnya mogok sekolah, bahkan mengalami bullying karena tekanan yang dihadapi.
Persoalan Bullying juga menjadi sorotan utama dalam pengembangan gagasan oleh Kemendikdasmen, penambahan guru konseling (BK) menjadi salah satu solusi yang diberikan. Selain itu, untuk menekan angka bullying di sekolah, Kemendikdasmen berupaya untuk menjalankan program pelatihan. Tidak hanya terbatas pada guru BK, melainkan guru pada bidang studi lain agar mereka memiliki kemampuan konseling. Pelatihan ini akan berkaitan dengan value education atau pendidikan nilai.
Lebih jauh, keterbatasan waktu untuk berkomunikasi antara siswa, guru, dan orang tua membuat masalah menjadi semakin kompleks. Ulifa menjelaskan bahwa saat anak menghadapi stres atau kelelahan karena tuntutan akademik yang berlebihan, kesempatan untuk berdiskusi dan mendengar keluhan mereka sering kali sangat minim. Padahal, komunikasi yang baik antara anak, guru, dan orang tua merupakan kunci penting untuk memahami kondisi anak secara menyeluruh.
“Ketika anak hanya fokus pada akademik tanpa mengembangkan kemampuan sosialnya, mereka cenderung memiliki masalah kesehatan mental di kemudian hari. Peran guru dan orang tua sangat penting untuk memberikan ruang dan waktu bagi anak untuk berkembang secara seimbang, baik di aspek akademik maupun sosial-emosional,” pungkas Ulifa.
Oleh karena itu, Ulfa menegaskan bahwa pengenalan calistung bagi anak usia dini perlu dilakukan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan usianya. Anak-anak sebaiknya tidak dipaksa untuk menguasai calistung pada usia dini, tetapi lebih baik diperkenalkan pada angka dan huruf melalui metode yang menyenangkan, seperti ilustrasi, gambar, dan permainan. Dengan cara ini, kemampuan sensor motorik, sosial-emosional, serta kemandirian anak bisa berkembang lebih baik tanpa tekanan.
Selain itu, guru juga berperan penting dalam memahami setiap siswa yang diajarnya. setiap anak memiliki potensi masing-masing, baik di aspek akademik maupun non-akademik. Misalnya, ada anak yang berbakat dalam matematika, sementara yang lainnya unggul dalam olahraga atau seni. “Guru harus memahami tahapan perkembangan kognitif siswa dan memberikan ruang bagi setiap anak untuk mengembangkan potensi uniknya,” tambahnya.
Gagasan Merdeka Belajar memiliki dasar yang kuat, tetapi tantangan implementasi di lapangan menunjukkan perlunya evaluasi mendalam pada sistem pendidikan Indonesia. Melalui peningkatan kesejahteraan guru, kolaborasi yang lebih baik antara guru dan orang tua, serta perhatian serius pada fasilitas pendidikan di daerah, Indonesia dapat berupaya mewujudkan sistem pendidikan yang tidak hanya berfokus pada akademik, tetapi juga pada pengembangan karakter siswa. (fan)