Kanal24, Malang – Tahun Baru Imlek 2023 resmi ditetapkan sebagai hari libur nasional, sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh 3 Kementerian, meliputi Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia. Lebih lanjut dalam SKB disebutkan tanggal 23 Januari merupakan cuti bersama Tahun Baru Imlek.
Mendekati perayaan Imlek, kerap dijumpai hiasan bernuansa Tionghoa di ruang publik. Dekorasi seperti lampion, pohon angpau, hingga figur barongsai dipasang guna memeriahkan tahun baru Imlek. Padahal bila berkaca pada sejarah, Imlek sempat dibatasi perayaannya sesuai Instruksi Presiden Soeharto Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Selama instruksi tersebut berlaku, segala bentuk aktivitas keagamaan masyarakat Tionghoa, termasuk perayaan hari-hari besar hanya boleh dilaksanakan secara internal. Masyarakat Tionghoa tidak boleh menunjukkan eksistensinya di muka umum. Namun ketika era Orde Baru runtuh, perlahan batasan untuk etnis Cina pun mulai hilang. Puncaknya ketika Presiden Gus Dur mencabut Instruksi Presiden Soeharto Nomor 14 Tahun 1967, melalui Inpres Nomor 6 tahun 2000.
Sejak saat itu kegiatan keagamaan orang Tiongkok bebas dilakukan di publik. Respon masyarakat pun baik, sehingga sampai sekarang kemeriahan seperti pada perayaan hari raya Imlek dapat dirasakan seluruh warga. Masyarakat terbuka dengan budaya-budaya Tiongkok, dibuktikan dengan banyaknya akulturasi antara budaya Cina dengan Indonesia.
“Imlek sudah diterima sebagai salah satu bagian dari budaya Indonesia,” kata Diah Ayu Wulan, Dosen Program Studi Sastra Cina Universitas Brawijaya.
Selain itu, menurut Diah, nilai-nilai yang terkandung pada perayaan Imlek sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Imlek merupakan momen orang Tionghoa untuk pulang kampung dan berkumpul bersama keluarga. Salah satu tradisi yang dilakukan yakni memberi angpau kepada anggota keluarga yang lebih muda. Melalui momen tersebut, terjalin kebersamaan dan ikatan kekeluargaan yang kuat, sebagaimana menjadi salah satu ciri khas orang Indonesia.
Diah mengungkap, di Sastra Cina Brawijaya sendiri memiliki mata kuliah yang berkaitan dengan budaya Tiongkok, yakni budaya asli Cina dan budaya Cina yang berkembang di Indonesia. Lebih lanjut Diah menjelaskan bahwa mahasiswa Sastra Cina dikenalkan dan diharapkan mampu mempelajari budaya-budaya tersebut.
“Prodi kami sering mengambil budaya Cina untuk pagelaran. Misal pada Festival Budaya Cina, kami panggil Barongsai,” kata Diah. (ain)