Kanal24, Malang — Bagi Melisa Lolindu, jurnalis Deutsche Welle (DW) Indonesia, tantangan terbesar media masa kini bukan sekadar bagaimana menyajikan berita tercepat, melainkan bagaimana memastikan publik menerima informasi yang benar di tengah derasnya arus disinformasi.
“Kita semua hari ini hidup dalam banjir informasi. Tapi di antara banyaknya data dan kabar yang berseliweran, tidak semua bisa dipercaya. Karena itu, kemampuan fact-checking harus menjadi bagian dari literasi dasar generasi muda,” ujarnya di sela kegiatan Training to Trainers, DW Goes to Campus (DWGC) 2025 yang digelar di Gedung C lantai 7 FISIP Universitas Brawijaya (UB), Selasa (11/11/2025).
DWGC 2025 merupakan program rutin tahunan dari DW Indonesia yang tahun ini memasuki pelaksanaan keempat dan menjadi ajang kolaborasi antara media internasional dengan perguruan tinggi di Indonesia. Melalui program ini, DW berupaya menjembatani ruang diskusi antara praktisi media, dosen, dan mahasiswa untuk menguatkan kesadaran publik terhadap pentingnya verifikasi informasi. Tema besar tahun ini — “Fact Checking: How to Tackle AI Disinformation?” — menjadi refleksi dari kegelisahan bersama terhadap merebaknya fenomena hoaks dan fake news di ruang digital, terutama di kalangan muda.

Membangun Kesadaran Kritis di Tengah Banjir Informasi
Sementara itu, Levie Wardana, jurnalis DW Indonesia sekaligus panitia DWGC 2025, menjelaskan bahwa kegiatan ini tidak hanya berupa seminar atau dialog, tetapi juga pelatihan berbasis praktik. “Kami ingin peserta benar-benar memahami bagaimana memverifikasi informasi di dunia digital. Misalnya, mengecek keaslian foto dan video melalui tools seperti Google Reverse Image atau Google Maps, serta menganalisis narasi yang berpotensi menyesatkan,” jelasnya.
Menurutnya, literasi digital bukan lagi isu pinggiran, melainkan kebutuhan utama di era yang serba cepat dan berbasis algoritma. “Disinformasi tidak hanya mengaburkan fakta, tapi juga membentuk opini publik yang salah. Kalau tidak dilawan dengan kesadaran dan kemampuan analisis, masyarakat bisa kehilangan kemampuan berpikir kritis,” tambahnya.
Levie menegaskan bahwa sinergi antara media dan kampus memiliki potensi besar dalam membangun masyarakat melek informasi. “Kami percaya, mahasiswa adalah agen perubahan. Karena itu, pelatihan ini kami rancang agar mereka tidak hanya menjadi konsumen informasi, tapi juga produsen pengetahuan yang bertanggung jawab,” ungkapnya.
DW Indonesia juga melibatkan dosen-dosen UB untuk menjadi trainer dalam sesi pelatihan. Para dosen akan berperan melatih mahasiswa dalam mempraktikkan metode fact-checking agar pengetahuan ini bisa ditularkan ke masyarakat luas.
“Ini bukan sekadar kolaborasi formal. Kami ingin menciptakan gerakan literasi digital dari kampus, oleh akademisi dan mahasiswa sendiri,” tutur Melisa,

Akademisi Jadi Garda Depan Literasi Digital
Dari sisi akademisi, Genta Mahardhika Rozalinna, S.Sos., M.A., dosen Departemen Sosiologi FISIP UB, menilai kegiatan seperti ini sangat relevan bagi dunia pendidikan. Menurutnya, kampus hari ini tidak hanya menjadi tempat transfer ilmu, tetapi juga benteng terakhir melawan disinformasi. “Kita tidak kekurangan informasi, justru kebanjiran informasi. Karena itu, dosen dan mahasiswa perlu menjadi filter yang mampu memilah mana yang valid dan mana yang menyesatkan,” ujarnya.
Ia menambahkan, pelatihan fact-checking yang melibatkan praktisi media seperti DW sangat membantu dosen memperkuat metode pembelajaran yang kritis dan berbasis data. “Harapannya, setelah kegiatan ini, para dosen dan mahasiswa bisa menularkan budaya verifikasi dan berpikir kritis di ruang-ruang akademik maupun sosial,” tambah Genta.
DWGC 2025 menjadi bukti bahwa kolaborasi antara media global dan perguruan tinggi dapat menjadi strategi efektif untuk menghadapi tantangan era digital. Melalui pelatihan ini, DW Indonesia bersama Universitas Brawijaya berupaya mencetak generasi muda yang bukan hanya aktif di dunia digital, tetapi juga bertanggung jawab dalam menjaga kebenaran informasi.
“Ini bukan sekadar workshop,” tegas Melisa menutup wawancara. “Ini adalah gerakan bersama — agar setiap dari kita bisa menjadi penjaga kebenaran di tengah dunia digital yang penuh manipulasi.”(Din/Tia)










