KANAL24, Jakarta – Perusahaan manajer investasi, PT Eastspring Investments Indonesia memperkirakan, wabah virus Corona (COVID-19) akan berimplikasi negatif terhadap sektor pariwisata, investasi dan perdagangan Indonesia. Sehingga kondisi ini akan menekan penurunan pertumbuhan ekonomi nasional hingga sebesar 0,2 persen di 2020.
“Ekonomi Indonesia diperkirakan akan terpukul sekitar 0,1-0,2 persen, akibat adanya wabah COVID-19. Berkaca dari kasus SARS 2003, ekonomi Indonesia juga tercatat menurun 0,1 persen pada tahun tersebut,” kata Head of Investment Specialist and Portfolio Analysis Eastspring Investments, Erik Agustinus Susanto di Jakarta, Senin (24/2/2020).
Pada sektor pariwisata, menurut Erik, pemerintah Indonesia telah menghentikan jalur penerbangan ke dan dari China mulai 5 Februari 2020. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, jumlah wisatawan mancanegara dari China merupakan yang terbesar kedua (12,9 persen dari total kunjungan turis asing) atau sebanyak 2,1 juta kunjungan per tahun.
“Dengan asumsi bahwa wabah COVID-19 dapat diselesaikan hingga akhir Kuartal II-2020, maka Indonesia akan kehilangan potensi pendapatan dari bisnis pariwisata sebesar USD1,98 miliar-USD2,08 miliar,” ucapnya.
Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) memperkirakan, potensi kerugian di sektor industri pariwisata mencapai puluhan miliar rupiah per bulan, karena anjloknya jumlah kunjungan turis dari China. Wabah virus ini telah membuat pengusaha jasa pariwisata kehilangan 30 persen keuntungan, akibat pembatalan atau penundaan perjalanan.
“Di saat krisis seperti ini, dibutuhkan program khusus untuk mendorong potensi wisatawan dari dalam negeri, sehingga mampu untuk mengisi kekosongan pada fasilitas pariwisata,” ujar Erik.
Sementara itu pada sektor investasi, lanjut Erik, agar realisasi investasi pada 2020 tidak anjlok, maka Indonesia harus menjaga iklim investasi dan mengimplementasikan reformasi struktural yang kondusif dan seimbang secara cepat.
“Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan memotong suku bunga acuan (BI 7day Reverse Repo Rate) sebanyak dua kali (-50 bps) pada 2020 dalam hal mendukung pertumbuhan ekonomi dan investasi. BI juga mengatakan telah mengambil langkah berani untuk menopang nilai tukar rupiah dan obligasi,” tutur Erik.
Berdasarkan data realisasi investasi atau penanaman modal asing (PMA) di Indonesia, China mencapai urutan kedua (16,8 persen dari total PMA) atau sebesar USD4,74 miliar dengan 2.135 proyek dan Hong Kong di urutan keempat sebesar USD2,89 miliar dengan 1.512 proyek. Singapura ada di urutan pertama sebesar USD6,59 miliar dengan 7.026 proyek dan Jepang di urutan ketiga sebesar USD4,31 miliar dengan 3.840 proyek.
Pada sektor perdagangan, jelas Erik, jika dibandingkan dengan posisi ketergantungan terhadap China, maka Indonesia tergolong sangat minim. “Setiap terjadi penurunan 1 persen pada ekonomi China, hanya akan berdampak 0,1-0,2 persen pada ekonomi Indonesia. Hal ini didukung oleh komposisi ekonomi Indonesia yang sebagian besar ditopang oleh konsumsi domestik (60 persen) dan akan tumbuh stabil 5 persen,” ungkap Erik.
Dia menambahkan, nilai ekspor Indonesia ke China pada 2019 mencapai USD25,8 miliar atau Rp353,5 triliun (16,7 persen dari total ekspor) dan nilai impor dari China sebesar USD44,6 miliar atau Rp611 triliun (30 persen dari total impor). Neraca perdangangan Indonesia-China, menunjukkan bahwa Indonesia mengalami defisit perdagangan sebesar USD15,2 miliar.
“Untuk mencegah penurunan ekspor yang tajam dan menjaga keseimbangan perdagangan di 2020, maka diperlukan program diversifikasi pasar dalam hal mendorong permintaan dari dalam negeri,” imbuh Erik.(sdk)