Kanal24, Malang – Psikolog UB Cleoputri Al Yusainy, Ph. D., mengungkapkan keprihatinannya mengungkapkan keprihatinannya atas dampak dari kemunculan hacker yang beberapa waktu terakhir mengguncangkan persoalan keamanan data pribadi di era digital saat ini. Ia menuturkan bahwa yang menarik pasca munculnya hacker Bjorka adalah fenomena dimana anak-anak mengidolakan hacker dan bercita-cita menjadi hacker.
Hacker Bjorka diketahui telah melakukan beberapa kali aksi peretasan dan pembobolan data mulai dari data KPU, data registrasi SIM Card, data pelanggan PLN, data BIN untuk Presiden RI Joko Widodo, hingga meretas situs Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bjorka selalu mengumumkan aksinya melalui media sosial, seperti Twitter, Telegram, maupun situs forum diskusi online (Breached Forums) “breached.to”. Selain melakukan peretasan situs, Bjorka acap kali menyinggung politisi dan pemerintah atas kinerjanya di republik ini. Tercatat, tidak kurang dari 11 tokoh yang namanya disinggung.
“Jadi mereka (hacker) dianggap pahlawan begitu. Dulu juga ada cerita Robin Hood. Mereka dianggap Robin hood, data-data pejabat dan sebagainya diambil kemudian disebarluaskan. Ini memang memprihatinkan,” tuturnya kepada Kanal24.
Menurut Cleo, pada era disruptif seperti sekarang, anak-anak tidak lagi memiliki role model atau sosok yang sesuai dengan tatanan sosial dalam masyarakat.
“Apa yang dijadikan role model itu orang yang kuliah, lulus, kerja kantoran di daerah Sudirman (Jakarta), kemudian punya rumah itu sudah tidak berlaku saat ini,” ucapnya.
“Saat ini yang dianggap idola itu justru orang yang kemudian bisa mendobrak aturan yang berlaku, punya akses terhadap hal-hal yang orang lain ngga bisa, kemudian itu viral. Itu yang di dukung banget loh,” imbuhnya.
Cleo mengungkapkan bahwa banyak orang menganggap era disruptif itu baik, namun kurang memikirkan mitigasi resiko di dalamnya. Tatanan mapan yang ada dalam kehidupan masyarakat menurutnya kini sudah tidak berlaku lagi.
“Dulu dalam urutan perkembangan manusia itu kita kenali tahapannya ya, ada tugasnya, krisisnya dan lain sebagainya. Sekarang bisa campur aduk, usia berapapun bisa terjadi krisis apapun. Anak-anak SMP sekarang sudah memikirkan bagaimana mencari uang, memprihatinkannya kan disitu,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa, semakin meningkatnya intensitas komunikasi secara virtual semakin berkurang pula kemampuan dalam menghitung faktor resiko dalam berkomunikasi karena konsekuensi yang dihadapi saat ini atas keputusan yang kita ambil tidak langsung dihadapi secara fisik.
“Kalau sekarang kan kesalahan yang kita lakukan itu kita bisa tutupi pakai akun yang anonym, posting yang udah kita buat bisa kita delete, dan ujungnya kita bisa minta maaf secara publik, polanya kan begitu terus yang kita temukan,” ujarnya.
Kondisi yang demikian menurutnya adalah bagian dari konsekuensi kemajuan teknologi dan digitalisasi. Cleo menjelaskan bahwa saat ini manusia hidup dalam echo chamber dimana ekspresi emosi manusia menjadi tidak terbatas dan muncul kecenderungan untuk hanya me-follow dan me-endorse lingkungan yang ia suka saja.
“Seperti di dalam gua, suara yang terdengar hanya yang viral dan menurutnya benar namun sebenarnya suara itu hanya di dalam gua tersebut saja. Social media kan sifat dasarnya memang seperti itu,” kata dia.
Selain itu, aturan, nilai, dan norma direkonstruksi sedemikian rupa hanya untuk mendapatkan predikat viral yang menurut Cleo dapat menciptakan chaos di masa yang akan datang.
“Dulu kalau tidak senang, jangan langsung mengatakan, apalagi dengan cara kasar, sampai ngajak orang ngeroyok. Sekarang kan ngga berlaku yang seperti itu. Belum lagi opsi love, like, share, yang mengakibatkan orang berlomba untuk menjadi viral tanpa memikirkan konsekuensinya,” jelas dia.
Edukasi, terutama tentang manajemen resiko menurut Cleo adalah filter terbaik di era kemajuan teknologi yang saat ini tidak bisa dibendung lagi.
“Berikan edukasi, ranah untuk berpikir kepada anak, remaja, penggunan social media, bahwa konsekuensi atas apa yang ia lakukan, baik itu perilaku di dunia nyata terlebih lagi di dunia maya itu bisa muncul tidak di hari ini atau saat itu juga, tapi bisa muncul dikemudian hari. Nah, ketika bentuknya digital, itu bisa selamanya menetap di media tersebut,” katanya.
“Kamu merasa postingan kamu itu yang terbaik, keren, tapi kelak dikemudian hari ketika kamu sudah jadi pejabat, organ masyarakat yang mempunyai peran dan omongan kamu didengar, itu masih oke tidak sih kalau postingan itu muncul kembali. Itu kan perlu untuk dipertimbangkan,” imbuhnya.
Cleo juga mengungkapkan bahwa perusahaan di negara-negara maju menggunakan big data untuk mengetahui posting yang individu lakukan di media sosial. Posting itu menjadi rujukan yang lebih akurat untuk proses seleksi pegawai dibandingkan metode kuesioner yang jauh lebih bias karena ia dapat mencari tahu dan belajar untuk mencocokkan jawaban yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan untuk menjadi pegawai pada posisi tertentu di perusahaan tersebut.
“Media sosial itu kan sifatnya spontan tanpa filter apa yang kemudian di posting disana. Dia ngga mikirin kalau sebentar lagi akan kerja, postingannya akan dicek perusahaan. Apa yang dipikirannya kan dia sebagai pengguna yang sedang terbakar emosinya jadi dia posting. Jadi hati-hati kalau mau posting,” ungkapnya.