Setyo Widagdo
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UB- [email protected]
Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengakui kemerdekaan Palestina melalui Deklarasi New York 12 September 2025 yang lalu, setelah 142 negara mendukung, 10 menolak dan 12 abstain. Deklarasi New York ini mendahului KTT PBB tanggal 22 September mendatang.
Dalam konteks konflik yang panjang antara Palestina dan Israel, tanggal 12 September 2025 menjadi satu momen penting yang layak direnungkan dan disambut dengan harapan.
Deklarasi New York menetapkan satu peta jalan tunggal untuk mewujudkan solusi dua negara (two state solution). Solusi dua negara antara lain berisi genjatan senjata segera di Gaza, pembebasan semua sandera yang ditahan disana dan pembentukan negara Palestina yang layak dan berdaulat.
Peta jalan deklarasi New York juga menyerukan perlucutan senjata Hamas dan pengucilannya dari pemerintahan di Gaza, serta normalisasi Israel dengan negara-negara Arab dan jaminan keamanan secara kolektif.
Nampaknya Deklarasi New York ini tdk mudah dilaksanakan, mengingat situasi terkini di Timur Tengah semakin tidak menentu. Munculnya aliansi antara Iran, Mesir, Qatar dan Turki, pasca serangan Israel ke Qatar, jalan perdamaian semakin menjauh, apalagi jika negara-negara besar melibatkan diri dalam konflik di Timur Tengah.
Kengototan Israel untuk melenyapkan Hamas dan menguasai Gaza adalah salah satu faktor kesulitan dalam mewujudkan perdamaian, sementara itu Hamas juga tidak mudah disingkirkan.
Oleh karena itu, Deklarasi New York yang hendak mengucilkan Hamas dari pemerintahan Palestina, memunculkan pertanyaan: apa mungkin ? Pertanyaan yang sama juga terhadap masalah usulan dalam Deklarasi New York mengenai normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab, jika faktanya kini negara-negara Arab membentuk aliansi menghadapi Israel.
Dengan demikian, judul tulisan ini tentang efektivitas Deklarasi New York mungkin cukup relevan, mengingat tingkat kesulitan dan kerumitan konflik Israel-Palestina.
Tulisan ini hendak menelusuri apa sebenarnya isi Deklarasi New York secara keseluruhan, agar kita dapat memahami kemana arah penyelesaian konflik Israel- Palestina. Berikut ini adalah hasil penelusuran saya yang saya uraikan dengan sedikit analisis
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan Deklarasi New York tentang Penyelesaian Damai atas Persoalan Palestina dan Penerapan Solusi Dua Negara. Deklarasi ini diharapkan membuka jalan bagi pengakuan kemerdekaan Palestina, perlucutan pendudukan, dan terciptanya perdamaian yang adil dan berkelanjutan.
Apa Itu Deklarasi New York?
Deklarasi New York adalah hasil keputusan PBB yang disahkan melalui pemungutan suara di Majelis Umum. Sebanyak 142 negara menyatakan dukungannya, sementara 10 negara menolak dan 12 negara abstain. Voting semacam ini sebenarnya bukan yg pertama kali, kita sering mendengar voting yg sama di Majelis Umum di tahun-tahun yang lalu, namun seperti yang kita lihat, implikasi dari voting tersebut nihil. Israel terus menerus menggempur Gaza, sementara negara-negara yang mendukung Palestina tetap bergeming.
Lantas apa arti dukukungan dari lebih dari 140 negara bagi Palestina. ? hal ini mungkin menunjukkan kelemahan resolusi Majelis Umum PBB yang bersifat tidak mengikat secara hukum (non legal binding), sehingga hasil voting seperti tak punya makna apa-apa.
Isi Pokok Deklarasi New York
Pertama, Penegasan bahwa rakyat Palestina punya hak menentukan nasib sendiri dan membentuk negara merdeka (berdasarkan perbatasan tahun 1967, termasuk Yerusalem Timur) sebagai bagian inti solusi dua negara yang terdapat dalam Deklarasi New York.
Kedua, Seruan untuk segera mengakhiri perang di Gaza, termasuk gencatan senjata permanen, pembebasan sandera, pertukaran tahanan, dan penarikan pasukan Israel dari Gaza.
Ketiga, Dukungan terhadap akses kemanusiaan penuh, pemulihan layanan dasar (air, listrik, kesehatan, pendidikan), dan rekonstruksi Gaza melalui kerja sama internasional.
Keempat, Penolakan terhadap tindakan sepihak seperti pembangunan pemukiman ilegal, perubahan status wilayah pendudukan, serta pengusiran paksa warga Palestina.
Kelima, Dorongan agar Otoritas Palestina memperkuat reformasi internal, demokrasi, keamanan, dan pemilihan umum.
Melihat isi Deklarasi New York tersebut, sepatutnya kita harus menyambutnya dengan penuh harapan, walaupun dengan sedikit skeptis, sebab apabila Deklarasi tersebut dapat di implementasikan, maka akan menjadi momen sejarah dan membuka kehidupan baru bagi negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, khususnya bagi rakyat Gaza yang selama ini sangat menderita.
Menyambut kemerdekaan Palestina melalui Deklarasi New York bukan berarti semua masalah selesai, melainkan bahwa kita memasuki babak baru, babak di mana harapan menjadi lebih konkret, di mana suara rakyat Palestina didengar di panggung dunia, dan di mana kerangka hukum serta diplomasi memungkinkan jalan ke depan yang lebih adil.
Masyarakat sipil, negara-negara sahabat, organisasi keagamaan dan kemanusiaan harus mengambil momentum ini untuk menggalang dukungan lebih lanjut, mendesak agar langkah-langkah keputusan dilaksanakan, serta memastikan bahwa kemerdekaan yang dijanjikan bukan hanya dalam deklarasi, melainkan dalam kenyataan di tanah Palestina.(*)