Kanal24, Malang – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2025 tercatat melambat signifikan. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi nasional hanya tumbuh sebesar 4,87%, turun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,11%.
Ini merupakan level pertumbuhan paling rendah sejak kuartal III-2021, ketika Indonesia masih dibayangi dampak pandemi COVID-19 dan hanya mencatatkan pertumbuhan 3,53%. Meski saat ini Indonesia tidak lagi berada dalam kondisi krisis kesehatan, pertumbuhan ekonomi justru menunjukkan gejala stagnasi yang mengkhawatirkan.
Baca juga:
Ekonomi Indonesia Tumbuh 4,87%, Pertanian Melejit
Salah satu penyebab utama perlambatan ini disebut-sebut berasal dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah, yang awalnya bertujuan untuk memperbaiki struktur belanja negara. Namun, kebijakan tersebut kini dinilai mulai berdampak negatif terhadap aktivitas ekonomi.
Menurut Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik di Center of Economic and Law Studies (Celios), efisiensi anggaran justru menimbulkan efek kontraproduktif. “Efisiensi anggaran yang awalnya dimaksudkan untuk merapikan belanja negara, kini menunjukkan efek berantai yang kontraproduktif,” ujar Media, dikutip Selasa (6/5/2025).
Salah satu dampak paling nyata adalah pemangkasan anggaran transfer ke daerah, yang membuat kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai infrastruktur dan program sosial menjadi sangat terbatas. Padahal, belanja daerah seperti dari APBD telah menjadi penopang utama penciptaan lapangan kerja melalui pembangunan desa dan jaring pengaman sosial.
Belanja pemerintah sendiri tercatat mengalami kontraksi -1,38% secara tahunan (YoY). Ini menunjukkan lemahnya peran fiskal dalam mendorong roda ekonomi di tengah tekanan global dan domestik. “Ketika anggaran transfer ditekan, daerah sulit membiayai infrastruktur dan program sosial. Padahal itu krusial untuk membuka lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi lokal,” tambah Media.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa sebagian besar hasil efisiensi anggaran justru dialihkan ke program-program strategis nasional seperti MBG (Makro Big Government), yang hingga kini belum menunjukkan kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi maupun penciptaan lapangan kerja.
“Sayangnya, realokasi efisiensi ini banyak yang justru masuk ke program MBG yang belum punya dampak langsung ke ekonomi riil,” ungkapnya.
Tak hanya itu, sejumlah Balai Latihan Kerja (BLK) dilaporkan berhenti beroperasi karena kekurangan anggaran. Banyak pula pendamping desa yang dirumahkan, meskipun mereka selama ini berperan penting dalam pengembangan ekonomi di tingkat akar rumput.
Lima Sektor Penopang
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2025 hanya mencapai 4,87 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu 5,11 persen. Bahkan, pertumbuhan kali ini menjadi yang paling lemah sejak triwulan III-2021, ketika ekonomi hanya tumbuh 3,53 persen akibat tekanan pandemi.
Padahal, saat ini Indonesia sudah keluar dari krisis kesehatan global. Namun, kondisi ekonomi nasional justru menunjukkan perlambatan signifikan yang mendekati masa-masa pandemi. Hal ini memunculkan kekhawatiran di kalangan pengamat dan masyarakat luas.
Salah satu faktor utama yang diduga menjadi penyebabnya adalah kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat. Menurut Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, kebijakan ini awalnya dimaksudkan untuk merapikan struktur pengeluaran negara. Namun, dalam praktiknya, langkah tersebut justru membawa dampak negatif yang berantai bagi perekonomian nasional.
“Efisiensi anggaran itu tadinya bertujuan untuk merapikan belanja negara, tetapi kini mulai memperlihatkan efek kontraproduktif,” kata Media kepada Liputan6.com, Selasa (6/5/2025).
Ia menjelaskan bahwa pemangkasan anggaran transfer ke daerah menyebabkan pemerintah daerah kehilangan kemampuan untuk menjalankan proyek infrastruktur dan program sosial. Padahal, selama ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sangat berperan dalam penciptaan lapangan kerja, terutama di sektor pembangunan desa dan perlindungan sosial.
Belanja pemerintah yang mengalami kontraksi sebesar -1,38 persen secara tahunan (YoY) turut melemahkan denyut ekonomi secara keseluruhan. Pemotongan anggaran publik terbukti berdampak pada banyak sektor ekonomi, terutama di luar pusat.
“Ketika anggaran ke daerah dipotong, pilihan mereka untuk membiayai pembangunan dan program sosial menjadi sangat terbatas. Padahal, infrastruktur dan bantuan sosial sangat berperan dalam menjaga daya beli dan membuka lapangan kerja,” ujar Media.
Ia juga menyoroti bahwa dana hasil efisiensi justru dialokasikan ke program-program yang belum memberi dampak ekonomi nyata, seperti program MBG (Mandatori Belanja Government). Menurutnya, alokasi ke MBG belum berhasil menciptakan nilai tambah maupun lapangan kerja yang berarti.
Di saat yang sama, banyak Balai Latihan Kerja (BLK) terpaksa tidak beroperasi karena kekurangan anggaran. Para pendamping desa juga banyak yang dirumahkan. Padahal, kedua unsur ini menjadi penggerak ekonomi sektor riil dan sangat dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja produktif.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa lima sektor utama masih menopang perekonomian nasional, yaitu industri pengolahan, perdagangan, pertanian, konstruksi, dan transportasi. Kelima sektor ini menyumbang 63,96 persen terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB).
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa sektor pertanian menjadi kontributor dengan pertumbuhan tertinggi, yakni 10,52 persen. Angka ini didorong oleh panen raya dan peningkatan produksi komoditas utama seperti padi dan jagung di berbagai wilayah.
“Sektor pertanian mengalami pertumbuhan dua digit karena panen raya serta naiknya produksi tanaman pangan,” kata Amalia.
Sektor industri pengolahan, sebagai tulang punggung ekonomi nasional, tumbuh sebesar 4,55 persen dengan kontribusi mencapai 19,25 persen terhadap total PDB. Meski tumbuh moderat, sektor ini menunjukkan stabilitas di tengah tantangan global.
Transportasi dan pergudangan juga menunjukkan kinerja positif dengan pertumbuhan sebesar 9,01 persen. Hal ini terjadi karena peningkatan mobilitas masyarakat serta perbaikan sistem logistik nasional. Sektor ini menyumbang 6,08 persen terhadap PDB.
Baca juga:
Jajanan Pasar Bangkitkan Ekonomi, Lestarikan Warisan Malang
Sementara itu, sektor jasa lainnya, termasuk pariwisata, turut mencatatkan pertumbuhan cukup signifikan. Lonjakan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara selama triwulan pertama 2025 turut mendongkrak sektor perhotelan, restoran, dan hiburan.
“Jasa lainnya juga tumbuh cukup tinggi, karena banyak wisatawan Nusantara dan asing yang berkunjung selama triwulan ini,” tambah Amalia.
Meski ada beberapa sektor yang mencatatkan pertumbuhan kuat, laju ekonomi nasional secara umum tetap tertahan oleh lemahnya belanja pemerintah. Para pengamat menilai, ke depan perlu ada evaluasi terhadap strategi efisiensi anggaran, agar tidak mengorbankan fondasi ekonomi jangka panjang, terutama di daerah. (nid)