Kanal 24, Malang – Penyandang disabilitas di Indonesia masih harus menanggung biaya hidup tambahan yang tinggi atau dikenal sebagai extra cost of disability. Biaya ini timbul dari kebutuhan esensial seperti alat bantu, transportasi aksesibel, perawatan medis rutin, hingga kebutuhan dasar sehari-hari yang tidak dialami oleh kelompok non disabilitas.
Sayangnya, hingga hari ini, belum ada skema tunjangan nasional yang sistematis untuk meringankan beban ini. Diskusi dalam forum Gerakan Literasi Inklusi (GELITIK), Rabu (2/7/2025), kembali mengangkat fakta bahwa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait konsesi masih belum disahkan meski Undang-Undang Disabilitas telah berlaku sejak sembilan tahun lalu.
Baca juga:
Disertasi FT UB Temukan Benang Kedelai Antibakteri
Ayu Puspita Ningrum, mahasiswa Master of Public Policy dari Australian National University, menegaskan bahwa lambatnya pengesahan RPP konsesi menjadi hambatan awal untuk memastikan tunjangan atau keringanan biaya dasar bisa diakses komunitas disabilitas.
Sementara itu, Hendry Hernowo, Ketua Forum Inklusi Disabilitas Kabupaten Magelang, membagikan pengalaman hidup sebagai difabel netra parsial di daerah pedesaan. Ia harus mengeluarkan biaya besar untuk transportasi dan alat bantu pembaca layar hanya agar bisa bekerja dan hidup mandiri.
Masalah lainnya datang dari sistem pendataan sosial ekonomi baru, DTSEN, yang kerap menyimpulkan difabel sebagai orang yang “mampu” hanya karena pengeluarannya tinggi. Padahal, pengeluaran itu muncul dari kebutuhan aksesibilitas. Akibatnya, banyak penyandang disabilitas yang justru terhapus dari daftar penerima bantuan sosial seperti PBI BPJS Kesehatan.
Perbedaan Perlakuan dan Beban Ganda
Negara memiliki skema tunjangan bagi ASN yang bertugas di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) untuk menanggung biaya tambahan. Namun kelompok disabilitas yang setiap hari menanggung beban hidup ekstra justru belum memperoleh perlakuan yang sama.
Alat bantu disabilitas juga masih dikenai bea impor dan pajak tinggi, meskipun keberadaannya sangat penting bagi produktivitas dan keberlangsungan hidup. Hal ini menjadi beban ganda yang tidak seharusnya ditanggung sendiri oleh komunitas disabilitas.
SCI dan Super Cost Injury
Herman Wahidin, kandidat doktor dari University of Melbourne dan pendiri SCI United Indonesia, menjelaskan tentang biaya besar yang ditanggung orang dengan Spinal Cord Injury (SCI) setiap harinya. Mulai dari kebutuhan seperti kateter, popok dewasa, obat pencahar, hingga penanganan luka tekan dan infeksi saluran kemih.
Kondisi ini membuat istilah SCI bahkan sering disebut sebagai Super Cost Injury karena biayanya yang besar dan terus-menerus. Bila tidak ditangani, risiko kematian pun bisa meningkat, terutama di wilayah terpencil yang minim fasilitas dan layanan medis.
Baca juga:
BSS Dorong Guru Bangun Pembelajaran Holistik Dengan Metode “Deep Learning”
Rekomendasi GELITIK untuk Negara
Forum GELITIK merumuskan tujuh rekomendasi kebijakan sebagai bentuk dorongan kepada pemerintah. Beberapa di antaranya adalah penetapan indeks biaya tambahan disabilitas, percepatan pengesahan RPP konsesi, keringanan bea alat bantu, hingga keterlibatan aktif komunitas disabilitas dalam merumuskan kebijakan.
Tunjangan bagi difabel bukanlah bentuk belas kasihan, melainkan hak asasi yang dijamin dalam konstitusi dan undang-undang. Bila negara serius ingin menciptakan masyarakat inklusif, maka ekstra biaya akibat disabilitas harus diakui dan ditanggung bersama. (han)