oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Dalam sejarahnya, alquran hadir ditengah-tengah suasana masyarakat sedang kacau balau karena jauh dari akhlaq dan cahaya keimanan yang lurus. Realitas yang demikian kemudian dikenal dengan istilah jahiliyah, yaitu realitas masyarakar yang penuh dengan kebodohan sebab ketiadaan akhlaq dan petunjuk. Jadi jahiliyah tidaklah dipahami ketidakmampuan baca tulis, sebab masyarakat Arab saat itu sangat menguasai keterampilan bahasa. Bahkan dikatakan bahwa tidak ada suatu bangsa yang memiliki kemampuan bahasa dan kesusasteraan yang melebihi daripada masyarakat Arab.
Kemampuan masyarakat arab pra islam dalam mengekspresikan kemampuan bahasanya diwujudkan dalam bentuk puisi, sajak ataupun prosa dan sejenisnya bahkan setiap tahunnya mereka membuat kompetisi kesusastraan dan yang terbaik akan digantungkan di dinding ka’bah sebagai bentuk apresiasi. Mereka telah memiliki pakem yang jelas dalam menyusun karya sastra mereka, sehingga memudahkan dalam menilai kualitas sebuah karya sastra.
Patut diketahui bahwa alquran adalah mukjizat. Karena sebagai mukjizat maka alquran berfungsi lil ajzi, untuk melemahkan, yaitu melemahkan segala hal atau sesuatu yang dianggap sebagai kemampuan dan keunggulan dari suatu masyarakat disaat alquran diturunkan, yaitu masyarakat arab saat itu. Sebagaimana diketahui bahwa keunggulan masyakarat arab saat itu adalah kemampuannya dalam membuat puisi dan sastra. Alquran hadir di tengah-tengah mereka sebagai mukjizat untuk melemahkan kemampuan yang selama ini mereka agungkan. Teks alquran adalah cara Islam berdialog dengan ummat manusia dan sebagai bentuk dialektika dengan realitas sosiologis untuk melakukan sebuah perubahan menuju peradaban mulia sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah swt dalam alquran.
Disaat Islam hadir, banyak kalangan sastrawan dan cerdik pandai masyarakat Arab yang terperangah dan terkaget-kaget seraya melakukan penolakan atas Firman-Firman Allah terlebih disaat Allah swt memulai kalimat wahyuNya dengan menggunakan kalimat yang keluar dari pakem kesusasteraan bahkan pakem dari pembuka FirmanNya yaitu dengan menggunakan huruf muqaththa’ah yaitu huruf-huruf terputus yang tidak memiliki arti dhahir dan hanya berupa huruf demi huruf yang tidak saling berhubungan membangun suatu makna. Dianggap keluar dari pakem karena pada biasanya Allah dalam memulai firmanNya dengan beberapa cara, antara lain pujian seperti alhamdulillahil ladzy, subhaanallaldzy, sabbaha lillahi dsb. Cara lain dalam bentuk panggilan seperti yaa ayyuhalladziina, yaa ayyuhan nabiy, yaa ayuuhan naas, dsb. Cara lainnya adalah dalam bentuk sumpah, seperti wal ashri, wa syamsyi, wadh dhuhaa dsb. Atau cara lain dalam bentuk syarthiyah (penggunaan kalimat syarat) seperti idzaa waqa’atil waaqi’ah, idzaa syamsu kuwwirat dsb. Adakalanya dibuka dengan kalimat perintah seperti qul huwallaahu ahad, qul yaa ayyuhal kaafiruun dsb.
Sehingga fenomena harful muqaththa’ah dalam membuka firmanNya dianggap keluar dari pakem firmanNya karena kalimat yang dipergunakan oleh Allah swt dalam membuka firmanNya masih menyisakan misteri dan tanda tanya besar yang hingga kini belum bisa terjawab dengan pasti. Seperti kalimat الم، حم، كهيعص dan sebagainya. Ibnu katsir menyimpulkan bahwa huruf muqatha’ah kalau kita hitup seluruhnya ada 14 huruf (tanpa pengulangan). Huruf-huruf tersebut terangkai dalam kalimat berikut:
نَصَّ حَكِيْم قَاطِع لَهُ سِرٌّ
“Nash yang jelas dan pasti, memiliki rahasia.”
Kehadiran harful muqaththa’ah melahirkan perdebatan di kalangan masyarakat arab para sastrawan ahli bahasa dan khususnya para mufassir dengan berbagai sudut pandang yang berbeda-beda dalam memaknai dan menyingkap makna huruf muqaththa’ah tersebut.
Terdapat 29 surat dalam alquran yang awal permulaan suratnya dimulai dengan huruf muqatha’ah. Surah-Surah tersebut antara lain : Surah Al-Baqarah (Surah ke-2), yang dimulai dengan, Alif laam miim. Surah Ali ‘Imran (Surah ke-3), yang dimulai dengan, Alif laam miim. Surah Al-A’raaf (Surah ke-7), yang dimulai dengan, Alif laam mim shad. Surah Yunus (Surah ke-10), yang dimulai dengan, Alif laam raa. Surah Huud (Surah ke-11), yang dimulai dengan, Alif laam raa. Surah Yusuf (Surah ke-12), yang dimulai dengan, Alif laam raa. Surah Ar-Ra’d (Surah ke-13), yang dimulai dengan,
Alif laam miim raa. Surah Ibrahim (Surah ke-14), yang dimulai dengan, Alif laam raa. Surah Al-Hijr (Surah ke-15), yang dimulai dengan, Alif laam raa. Surah Maryam (Surah ke-19), yang dimulai dengan, Kaaf Haa Yaa ‘Ain Shaad. Surah Thaahaa (Surah ke-20), yang dimulai dengan, Thaahaa. Surah Asy-Syu’araa’ (Surah ke-26), yang dimulai dengan, Thaa Siim Miim. Surah An-Naml (Surah ke-27), yang dimulai dengan, Thaa Siin. Surah Al-Qashash (Surah ke-28), yang dimulai dengan, Thaa Siin Miim. Surah Al-‘Ankabuut (Surah ke-29), yang dimulai dengan, Alif laam miim. Surah Ar-Ruum (Surah ke-30), yang dimulai dengan, Alif Laam Miim. Surah Luqman (Surah ke-31), yang dimulai dengan, Alif Laam Miim. Surah As-Sajdah (Surah ke-32), yang dimulai dengan, Alif Laam Miim. Surah Yaasiin (Surah ke-36), yang dimulai dengan, Yaa siin. Surah Shaad (Surah ke-38), yang dimulai dengan, Shaad. Surah Al-Mu’min (Surah ke-40), yang dimulai dengan, Haa Miim. Surah Fushshilat (Surah ke-41), yang dimulai dengan, Haa Miim. Surah Asy-Syuura (Surah ke-42), yang dimulai dengan, Haa Miim (ayat pertama) ‘Ain Siin Qaaf (ayat kedua). Surah Az-Zukhruf (Surah ke-43), yang dimulai dengan, Haa Miim. Surah Ad-Dukhaan (Surah ke-44), yang dimulai dengan, Haa miim. Surah Al-Jaatsiyah (Surah ke-45), yang dimulai dengan, Haa Miim. Surah Al-Ahqaaf (Surah ke-46), yang dimulai dengan, Haa Miim. Surah Qaaf (Surah ke-50), yang dimulai dengan, Qaaf. Surah Al-Qalam (Surah ke-68), yang dimulai dengan, Nun
Dari 29 surat yang dimulai dengan huruf muqaththaah ini keseluruhannya termasuk dalam surat makkiyah hanya dua surat saja yang madaniyah (albaqarah dan ali imron). Karakteristik dari surat makkiyah Ungkapannya keras, cenderung puitis, menyentuh hati, banyak menggunakan huruf qasam (sumpah), Banyak kecaman kepada kaum musyrik serta berbicara tentang persoalan keimanan dan penentangan terhadap keimanan kaum musyrik, intinya dari surat makkiyah cenderung revolusioner dan mendorong perubahan radikal. Dengan hadirnya harful muqaththa’ah seakan Allah melalui wahyuNya yang dibawa oleh Nabi Muhammad ingin mencuri perhatian kalangan ummat manusia khususnya kaum musyrikin saat itu untuk memberikan perhatian pada apa yang disampaikan melalui wahyu Allah swt ini, bahwa apa yang disampaikan oleh Nabi itu adalah benar dan adalah wahyu semata yang datangnya dari Allah swt.
Setiap surat yang dimulai dengan harful muqaththaah tersebut selalu setelahnya pasti berbicara tentang Al Quran. Sebagaimana firman Allah berikut:
الٓمٓ. ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ
Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (QS.Al-Baqarah : 1-2)
الٓرۚ تِلۡكَ ءَايَٰتُ ٱلۡكِتَٰبِ وَقُرۡءَانٖ مُّبِينٖ
Alif Lam Ra. (Surah) ini adalah (sebagian dari) ayat-ayat Kitab (yang sempurna) yaitu (ayat-ayat) Al-Qur’an yang memberi penjelasan. (QS. Al-Hijr : 1)
طه. مَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡقُرۡءَانَ لِتَشۡقَىٰٓ
Tha ha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah; (QS. Tha-Ha : 2)
طسٓمٓ. تِلۡكَ ءَايَٰتُ ٱلۡكِتَٰبِ ٱلۡمُبِينِ
Tha Sin Mim. Inilah ayat-ayat Kitab (Al-Qur’an) yang jelas. (QS. Asy-Syu’ara :1- 2)
Hal ini seakan memberikan sebuah kesan bahwa harful muqaththa’ah tersebut digunakan oleh Allah swt untuk mencuri perhatian publik agar mereka memberikan perhatian serius dan sungguh-sungguh atas alquran bahwa alquran itu adalah mukjizat dari Allah dan bukan karangan Muhammad sehingga kaum kafirun dan musyrikun ingin diajak tersadar agar bersedia mendengarkan dan mengikutinya.
Tentu dengan adanya harful muqaththa’ah diharapkan semua mata terbelalak dan tertuju dengan perhatian penuh dan disertai perdebatan serta kekagetan atas fenomena sastra yang aneh, berbeda dan unik ini. Sehingga disaat semua mata tertuju pada pesan teks tersebut kemudian Allah ingin mengajak mereka pada satu pemahaman dan konsensus yang sama yaitu keyakinan dan kesediaan untuk mendengarkan, memperhatikan dan percaya dengan kehebatan alquran kemudian diharapkan bersedia tunduk pada apa yang diserukan dalam alquran.
Fenomena komunikasi melalui harful muqaththa’ah ini seakan memberikan sebuah pesan bahwa jika seseorang ingin menguasai suatu pendapat umum (ra’yul ‘aam) atau dalam istilah komunikasi disebut dengan opini publik maka cara yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah curilah perhatian publik (public attension) dengan cara menghadirkan sesuatu yang unik dan berbeda bahkan mungkin bertentangan dengan realitas atau keluar dari pakem keumuman sehingga publik bersedia memberikan perhatiannya, untuk selanjutnya agar menjadi bahan perbincangan dan perdebatan dikalangan masyarakat sehingga semakin menginternalisasikan pesan yang disampaikan tersebut hingga menjadi “matang” (mature) untuk kemudian dapat diakhiri menjadi sebuah konsensus yang sama. Dalam kasus harful muqaththaah ini konsensus akhir yang ingin dibangun adalah penerimaannya kepada alquran beserta kehebatannya. Artinya konsensus yang ingin dibangun adalah penerimaan atas nilai-nilai kebenaran dan kebaikan sebagaimana yang digariskan oleh Allah swt.
Mencuri dan mengalihkan perhatian publik untuk selanjutnya memberikan perhatian serius dengan terjadinya berbagai perdebatan makna hingga pada tahap akhir membangun konsensus bersama melalui huruf-huruf muqaththaah yang keluar dari pakem kebiasaan masyarakat kesusasteraan arab adalah cara efektif untuk membangun opini publik dan selanjutnya menguasai pendapat umum itu (ra’yul ‘aam) agar dengan mudah dapat diarahkan pada konsensus kebanaran yang telah dirancang. Kiranya fenomena harful muqaththaah ini telah menunjukkan kehebatan alquran sebagai muljizat sepanjang masa dan sekaligus sebagai peletak dasar bagi masyarakat modern untuk membangun konstruksi teoritik dalam menyusun strategi komunikasi dalam kehidupan mereka. Sehingga harful muqaththaah adalah salah satu komunikasi prophetic yang hebat dalam membangun dan merebut opini publik (ra’yul ‘aam) untuk memenangkan nilai kebaikan dan kebenaran ilahi. Wallahu a’lam.
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar