Kanal24, Malang – Perubahan regulasi dalam sistem hukum di Indonesia selalu menjadi isu yang kompleks. Revisi Undang-Undang Kejaksaan (RUU Kejaksaan) dan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) saat ini menjadi perhatian publik karena berpotensi menciptakan ketidakseimbangan kewenangan di antara lembaga penegak hukum. Perubahan ini dikhawatirkan dapat memberikan kewenangan berlebih pada satu institusi dibandingkan lainnya, memicu konflik, serta mengancam independensi lembaga-lembaga tersebut.
Melihat pentingnya harmonisasi regulasi ini, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya (UB) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Menyeimbangkan Kewenangan Penegak Hukum dalam Revisi RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP” pada Selasa (11/2/2025) di UB Guest House. Acara ini melibatkan akademisi, jurnalis, dan para ahli hukum untuk membahas dampak revisi regulasi terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia.
Baca juga : RUU Kejaksaan Disahkan, Prof. Anang Soroti Peran Publik dan Media
“Kami khawatir akan terjadi ‘perang RUU’ jika harmonisasi tidak dilakukan. Fungsi akademisi adalah menjembatani agar rancangan regulasi ini tidak tumpang tindih atau memberikan kewenangan berlebih kepada salah satu lembaga,” ungkap Prof. Drs. Andy Fefta Wijaya, MDA., Ph.D., Dekan FIA UB sekaligus pembicara pada forum ini.
Prof. Andy menekankan bahwa revisi undang-undang perlu memastikan tidak ada lembaga yang menjadi super body. Misalnya, dalam draf revisi RUU Kejaksaan, terdapat usulan pemberian kewenangan besar pada Kejaksaan untuk menangani proses penyelidikan dan penyidikan. Hal ini berpotensi berbenturan dengan fungsi Kepolisian yang secara alami bertanggung jawab dalam tahap tersebut.
“Jika kewenangan lembaga tidak proporsional, hal ini dapat memicu intervensi politik dan melemahkan independensi lembaga penegak hukum,” tambahnya.
Selain masalah kewenangan, Prof. Andy menyoroti pentingnya memasukkan pasal-pasal yang memastikan penegakan hukum berjalan sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia (HAM). Ia juga menekankan perlunya pengaturan merit system di lembaga-lembaga penegak hukum, termasuk Kejaksaan dan Kepolisian.
“Ketika lembaga ini menangani korban atau tersangka, apakah mereka sudah bekerja sesuai standar HAM? Ini harus jelas diatur dalam revisi pasal,” jelasnya.
FGD ini juga menjadi ruang diskusi antara akademisi dan jurnalis untuk memahami poin-poin kritis dalam revisi RUU. Peserta diberikan kesempatan untuk berdialog dengan para pembicara, termasuk Prof. Drs. Andy Fefta Wijaya dan Prof. Dr. Sudarsono, S.H., ahli hukum administrasi negara dari Fakultas Hukum UB.
Kegiatan ini bertujuan mendorong media untuk lebih kritis dalam mengawal proses reformasi hukum agar tetap sejalan dengan prinsip demokrasi dan keadilan. “Kami berharap diskusi ini menghasilkan rekomendasi akademik yang bermanfaat bagi pembentukan kebijakan,” tutup Prof. Andy.(din)