Kanal24, Malang — Di tengah semakin kompleksnya kebutuhan pasien di layanan kesehatan, komunikasi yang inklusif menjadi kunci agar informasi medis tidak hanya tersampaikan, tetapi juga dipahami dengan benar. Tanpa pendekatan yang inklusif, pasien berisiko kehilangan haknya untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, yang berujung pada rendahnya kualitas layanan kesehatan primer.
Kesadaran inilah yang mendorong Tim Pengabdian Kepada Masyarakat FISIP Universitas Brawijaya bersama Puskesmas Pakisaji menggelar agenda pelatihan penguatan komunikasi inklusif pada Selasa (23/9/2025). Kegiatan yang disampaikan oleh Sinta Swastikawara, S.I.Kom., M.I.Kom., menempatkan kebutuhan pasien yang beragam sebagai pusat interaksi klinis.
“Komunikasi inklusif berarti bukan sekadar menyampaikan informasi medis, tapi bagaimana cara menyampaikannya sesuai kebutuhan individu, memastikan pesan mudah diakses, dan memberi ruang partisipasi aktif pasien dalam keputusan perawatan,” jelas Sinta.
Dalam paparannya, Sinta menekankan bahwa inklusivitas di ruang klinis berdampak langsung pada kepuasan, kepercayaan, hingga keadilan layanan kesehatan. Namun, ia juga mengingatkan adanya sejumlah hambatan yang kerap mengganjal interaksi, seperti stigma dan stereotip terhadap kelompok pasien tertentu, keterbatasan infrastruktur, serta teknologi layanan yang belum sepenuhnya aksesibel.
Melalui pelatihan ini, tim pengabdian merekomendasikan solusi sistemik yang terjangkau namun berdaya guna tinggi, termasuk desain teknologi yang sejak awal melibatkan pasien dengan latar belakang dan kemampuan beragam. Hal ini penting agar sistem benar-benar ramah dan inklusif untuk semua pengguna.
Pada tataran praktik, pelatihan menyoroti pentingnya perpaduan komunikasi verbal dan nonverbal. Dari aspek verbal, tenaga kesehatan diajak menyusun pesan dengan pilihan kata relevan, intonasi jelas, serta jeda yang memberi waktu pasien memahami informasi. Sementara dari aspek nonverbal, materi membahas paralinguistik, gerak tubuh, penggunaan ruang personal, hingga faktor artifaktual seperti pakaian yang sering kali membawa makna signifikan di ruang klinis.
Dengan pijakan tersebut, kegiatan ini mendorong integrasi standar komunikasi inklusif dalam SOP Puskesmas, memperkaya materi edukasi pasien agar mudah diakses, serta menghadirkan pelatihan penyegaran berkala bagi tenaga kesehatan. Harapannya, layanan primer di Puskesmas tidak hanya kuat secara medis, tetapi juga tangguh menjawab kompleksitas kebutuhan pasien di garda terdepan.(Din)