Kanal24, Malang – Di tengah menguatnya praktik represif terhadap kritik dan menurunnya kepercayaan publik pada demokrasi, ruang-ruang akademik semakin dituntut hadir sebagai pengawal suara rakyat. Kampus tidak boleh sekadar menjadi menara gading yang menjulang tinggi, tetapi harus menjadi rumah rakyat yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi dialektika dan aspirasi.
Kesadaran inilah yang melatarbelakangi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya menggelar Kuliah Publik bertajuk “Panggung Demokrasi: Refleksi dan Aspirasi untuk Indonesia”, Kamis (11/9/2025). Acara ini dihadiri sekitar seratus mahasiswa baru semester pertama yang mengikuti mata kuliah Manusia, Kekuasaan, dan Masyarakat.
Sejak pagi, suasana Auditorium FISIP UB dipenuhi antusiasme. Mahasiswa, dengan wajah-wajah segar dan semangat kritis, tampak siap menyuarakan pandangan mereka tentang kondisi bangsa. Bagi mereka, panggung demokrasi bukan hanya simulasi akademik, melainkan ruang nyata untuk menegaskan posisi mahasiswa sebagai agen perubahan.
Dosen pengampu mata kuliah, Dr. Verdy Firmantoro, S.I.Kom., M.I.Kom., menegaskan urgensi kegiatan ini.“Motivasinya agar mahasiswa lebih melek politik dan tidak apatis terhadap kondisi Indonesia. Diskusi ini berbasis data dari kajian-kajian di kelas, kemudian dikemas dalam bentuk aksi damai dan refleksi. Kami ingin suara mahasiswa terdengar oleh pemangku kebijakan,” jelasnya.
Verdy menambahkan, suara mahasiswa tidak boleh berhenti di ruang kelas. “Kampus harus membuka ruang selebar-lebarnya agar menjadi rumah rakyat, bukan sekadar tempat belajar. Kultur seperti ini harus terus diciptakan di kampus-kampus lain,” tegasnya.
Panggung demokrasi ini memberi kesempatan mahasiswa untuk menyampaikan refleksi dan aspirasi secara terbuka.

Jerome Eliah Raphael, mahasiswa Ilmu Komunikasi, menuturkan rasa bangganya. “Tentu saja kami sangat terhormat bisa diberi panggung untuk menyampaikan aspirasi. Suara mahasiswa itu penting. Tetap angkat suaramu, karena suaramu membawa dampak besar bagi negara ini,” katanya.
Sementara itu, Aji Nur Aliya Permatahati mengingatkan pentingnya penegakan janji politik. “Keadilan yang dijanjikan harus benar-benar direalisasikan. Jangan hanya berhenti sebagai janji,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Marcella Alya Rahmadhani. Dengan lantang ia menutup refleksi, “Tetap lawan dan kawal.”
Bagi para mahasiswa baru ini, suara yang mereka lontarkan bukan sekadar idealisme kosong. Sebelum acara, mereka telah melalui serangkaian diskusi panjang di kelas tentang isu-isu kebangsaan terkini. Dari situ lahir tuntutan, kritik, sekaligus harapan agar demokrasi Indonesia tetap terjaga.
Acara ini menunjukkan bahwa mahasiswa generasi baru masih mewarisi semangat kritis para pendahulunya. Mereka memahami, apatis terhadap politik justru berbahaya, karena sama artinya menyerahkan republik kepada tata kelola yang salah.
Dengan tajuk Panggung Demokrasi, kuliah publik ini ingin menegaskan bahwa pendidikan tinggi bukan hanya soal transfer ilmu, tetapi juga pembentukan kesadaran politik dan sosial. Kampus, sebagaimana ditegaskan Dr. Verdy, harus menjadi ruang aman bagi mahasiswa untuk berproses, berdiskusi, dan menyampaikan aspirasi.
Di akhir acara, mahasiswa bersepakat untuk tidak berhenti pada forum ini saja. Aspirasi mereka diharapkan terus menggema ke publik dan pemerintah, menjadi pengingat bahwa generasi muda siap menjaga demokrasi dan keberlangsungan republik.(Din)