Ramdhan 1440 hijriyah berakhir. Ini hari terakhir. Dia sudah berpamitan untuk pergi jauh, bahkan mungkin jauh sekali. Baru 11 bulan mendatang dia datang lagi menjadi tamu umat Islam yang beriman di seluruh penjuru dunia. Tamu yang tidak membedakan kedudukan, pangkat, jabatan dan kelas sosial.
Bagaimana umat Islam menyikapi perpisahan dengan tamu ini? Apakah merasa gembira? Ataukah justru bersedih. Salahkah bila bergembira? Kelirukah seandainya bersedih? Dua perasaan yang sesungguhnya bertolak belakang itu, saat ini melanda hati setiap umat Islam di negeri manapun dimuka bumi ini.
Rasa gembira tentu saja muncul, dan terasa wajar. Karena umat Islam yang beriman itu merasa telah melalui bulan ujian yang berat. Bukan berat hanya sebab menahan lapar dan haus serta syahwat di siang hari, tetapi juga karena berusaha menahan hati dari segala perilaku buruk yang tanpa sadar sering dilakukan selama sebulan penuh. Ditambah mengerjakan berbagai ibadah sunnah yang dihari-hari biasa jarang dilakukan seperti i’tikaf atau tidak dilakukan, seperti Dhalat Tarawih dan mengeluarkan zakat fitrah.
Praktik dari kegembiraan itulah yang membuat akhir Ramadhan menjadi lebih marak. Mereka ingin merayakan Idul Fitri sesuai kemampuan masing-masing. Karena itulah pusat perbelanjaan dan mal menjadi penuh. Triyunan, bahkan mungkin ratusan rupiah mengalir ke dunia usaha dan memutar perekonomian nasional.
Tidak berhenti sampai disitu. Masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, memiliki tradisi unik yang mungkin hanya ada di Indonesia. Pulang kampung atau lebih dikenal dengan iatilah mudik. Jutaan orang setiap tahun menjelang Idul Fitri mengalir dari daerah perkotaan ke desa, meskipun tentu ada yang dari kota satu ke kota yang lain. Kemacetan mesti terjadi, meskipun pemerintah telah berusaha menyediakan sarana dan prasarana yang lebih baik. Tetapi justru dikemacetan itu seninya mudik, melatih kesabaran. Semua moda transportasi “panen” tahunan. Kembali triyunan rupiah mengalir dari saku umat Islam untuk perekonomian.
Sesampainya di kampung, tentu yang pertama melepas rindu kepada orang-orang tercinta, terutama orang tua. Semua anak, meskipun sudah dewasa san berkeluarga, akan mohon ampun kepada orang tuanya. Bagi orang tuanya yang sudah tiada, tentu akan ziarah ke makam ayah ibu tercinta. Mendoakan dan memohonkan ampunan Allah untuk beliau. Bersamaan dengan acara mudik, semua oleh-oleh yang dibawa dibagikan. Tidak membagikan rezeki, hadiah lebaran, bagi sanak famili, bahkan dengan uang baru. Hadiah lebaran atau ada yang menyebut “angpao” itu jumlahnya jug trilyunan rupiah dan dibelanjakan di desa. Membantu tumbuhnya perekonomian desa. Masyarakat desa ikut gembira di hari Fitri. Itu bukti kecil bila sesungguhnya Islam itu rahmatan lil alamin.
Ramadhan bagai memiliki dua sisi. Seperti dua sisi mata uang. Pada satu sisi membawa rasa gembira, sedang disisi yang lain meninggalkan rasa sedih. Mengapa harus bersedih? Karena Ramadhan hanya bertamu setahun sekali. Bulan penuh rahmat, ampunan dan keberkahan itu tidak tiap hari muncul. Bagi umat Islam, keutamaan Ramadhan yang penuh berkah itu merupakan anugerah dari Allah dibanding bulan biasa. Selain pahala puasa yang langsung ditentukan Allah. Pahala shalat dilipatgandakan, pahala shalat sunnah dinilai wajib. Pahala zakat fitrah, infaq dan sedekah jadi berlipat-lipat. Awal sepertiga Ramadhan Allah menyebarkan rahmat-Nya, pertengahan Ramadhan Allah menjanjikan ampunan dan diseperti terakhir Ramadhan, Allah akan membebaskan umat Islam yang menjalankan segala perintah dengan baik dari siksa api neraka.
Belum lagi Allah menyediakan malam Lailatulqadar, yang nilai ibadah umat Isl dimalam itu setara dengan ibadah seribu bulan atau lebih dari 83 tahun. Padahal umur umat Muhammad secara umum relatif pendek, tidak sampai 83 tahun. Kalaupun ada yang mencapai usia itu, mungkin sebagian sudah tidak kuat lagi melaksanakan seluruh rangkaian ibadah di bulan Ramadhan. Karena itu kepergian Ramadhan dilepas umat Islam dengan rasa sedih, karena berpisah dengan bulan muliah. Tidak seorang pun yang tahu, apakah tahun mendatang, kita masih bisa berjumpa dengan bulan penuh berkah itu. Dengan tetesan air mata umat Islam berdoa. “Ya Allah dengan ridha Engkau, pertemukanlah hamba dengan Ramadhan di tahun yang akan datang,”……Aamiinn YRA…Aamiinn YMS.
Allahuakbar….Allahuakbar…Allahuakbar. Laila hailallah huwallah huakbar..Allahuakbar….Walillah ilham.
Penulis Mondry Dosen Fisip UB