Kanal24, Malang – Menjelang berakhirnya masa jabatan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2019-2024, lembaga tertinggi negara tersebut mencabut sejumlah Ketetapan (Tap) MPR yang selama bertahun-tahun menjadi perdebatan dan kontroversi.
Ketetapan-ketetapan ini berkaitan erat dengan tiga mantan Presiden Republik Indonesia, yaitu Soekarno, Soeharto, dan KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur. Langkah pencabutan ini menuai tanggapan dari berbagai pihak, salah satunya dari Prof. Dr. Setyo Widagdo, S.H., M.Hum., Guru Besar Hukum dari Universitas Brawijaya.
Menurut Prof. Setyo, langkah pencabutan Tap MPR ini patut dikaji lebih lanjut terutama dari sisi yuridis. “Kalau saya dimintai pendapat apakah pencabutan ini mungkin dilakukan, itu harus diletakkan pada konteks apakah secara yuridis hal ini tepat atau tidak?” tuturnya (30/9/2024).
Ia menekankan bahwa langkah pencabutan ini tidak semata-mata soal memberikan maaf, melainkan ada aspek hukum yang harus dikaji dengan cermat. Ia menggarisbawahi bahwa proses hukum harus berjalan seiring dengan proses rekonsiliasi, terutama jika dikaitkan dengan usulan untuk mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Baca Juga : Jelang Akhir Jabatan, MPR Cabut Tap Soekarno, Soeharto dan Gus Dur
Salah satu poin kontroversial yang muncul adalah wacana pengangkatan mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional. Menurut Prof. Setyo, langkah tersebut menjadi kontradiktif tanpa adanya pencabutan TAP MPR yang selama ini telah berjalan.
“Kalau Pak Harto diangkat jadi pahlawan, itu nanti agak kontradiktif dengan Tap MPR itu, makanya Tap MPR itu dicabut dulu baru diangkat jadi pahlawan,” paparnya.
Namun, ia juga menegaskan bahwa menjadi pahlawan hanyalah sebuah label atau istilah, dan tidak seharusnya menjadi satu-satunya penentu kemuliaan seseorang. “Sebetulnya, manusia itu untuk menjadi mulia tidak perlu jadi pahlawan,” tambahnya.
Lebih jauh, Prof. Setyo melihat pencabutan Tap MPR ini sebagai bagian dari upaya membangun rekonsiliasi kebangsaan. Menurutnya, setelah puluhan tahun, mungkin MPR menilai perlu menghapus ganjalan-ganjalan semacam ini agar bangsa Indonesia dapat melangkah ke depan tanpa bayang-bayang perpecahan dan konflik lama.
“Sekarang setelah sekian puluh tahun, mungkin MPR dalam rangka membangun rekonsiliasi kebangsaan, mungkin ya harus dihapuskan ganjalan-ganjalan semacam ini,” katanya.
Namun, ia kembali menegaskan bahwa langkah memaafkan dengan mencabut Tap MPR tersebut tetap harus dikaji secara hukum. Hal ini menjadi penting agar keputusan ini tidak hanya memiliki landasan moral, tetapi juga memiliki dasar hukum yang kuat dan jelas, sehingga tidak menimbulkan polemik di kemudian hari.
Langkah MPR dalam mencabut sejumlah ketetapan terkait tiga mantan Presiden ini membawa harapan untuk rekonsiliasi nasional. Namun, upaya ini tetap harus dilihat dalam kerangka hukum yang tepat. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Setyo Widagdo, kebijakan ini harus dikaji secara mendalam dari perspektif yuridis dan ketatanegaraan.
Pada akhirnya, pencabutan Tap MPR ini diharapkan bisa membuka jalan bagi bangsa Indonesia untuk menatap masa depan tanpa bayang-bayang kesalahan masa lalu. (fan)