Kanal24, Jakarta – Menjelang berakhirnya masa jabatan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2019-2024, lembaga ini mencabut sejumlah Ketetapan (Tap) penting yang selama bertahun-tahun membayangi perjalanan bangsa, terutama terkait tiga mantan Presiden Republik Indonesia: Soekarno, Soeharto, dan KH Abdurrahman Wahid atau Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Langkah ini menimbulkan perdebatan di tengah publik, terutama karena salah satu keputusan yang mencabut nama Soeharto dari Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Keputusan ini dianggap oleh sebagian kalangan sebagai upaya rekonsiliasi nasional, namun tidak sedikit yang menilai bahwa langkah tersebut berpotensi mengaburkan catatan sejarah penting bangsa.
Pencabutan Tap Soekarno
Langkah pertama yang diambil MPR adalah mencabut TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang sebelumnya mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, proklamator kemerdekaan Indonesia. Tap ini diterbitkan pada masa gejolak politik di penghujung 1960-an, dengan tuduhan bahwa Soekarno terlibat dalam agenda pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Tuduhan ini menghantui sejarah politik Indonesia selama bertahun-tahun, membatasi ruang diskusi terkait peran dan jasa Soekarno dalam kemerdekaan.
Ketua MPR, Bambang Soesatyo, dalam pidatonya menegaskan bahwa pencabutan TAP MPRS ini merupakan bentuk pemulihan nama baik bagi Soekarno. Menurutnya, setelah melalui berbagai kajian hukum dan historis, tuduhan terhadap Presiden pertama RI tersebut dinyatakan tidak terbukti.
“Dengan dicabutnya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 ini, tuduhan yang selama ini dialamatkan kepada Presiden Soekarno dinyatakan tidak terbukti,” ujar Bambang Soesatyo. Ia menambahkan bahwa langkah ini juga dimaksudkan sebagai penghormatan kepada jasa besar Soekarno dalam memimpin Indonesia meraih kemerdekaan dan meletakkan dasar-dasar negara.
Proses pencabutan Tap tersebut dilakukan dengan penuh simbolisme. Bambang Soesatyo secara khusus menyerahkan surat resmi pencabutan Tap kepada perwakilan keluarga Soekarno, termasuk Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri, dan saudara-saudaranya, Guntur Soekarnoputra, Sukmawati Soekarnoputri, serta Guruh Soekarnoputra. “Hari ini, kita semua menjadi saksi sejarah atas pemulihan nama baik Presiden Soekarno,” ucap Bamsoet, sapaan akrab Ketua MPR ini.
Namun, pencabutan Tap ini juga menuai kritik dari beberapa pihak yang berpendapat bahwa proses sejarah tidak dapat dihapus begitu saja. Beberapa pihak menyebut bahwa meski bangsa ini menghargai jasa besar Soekarno sebagai proklamator, sejarah kelam bangsa ini, termasuk keterlibatan PKI dan dinamika politik saat itu, tidak bisa dilupakan begitu saja.
Gus Dur dan Pembatalan Tap MPR 2001
Selain Soekarno, TAP MPR Nomor II/MPR/2001 yang berkaitan dengan pemberhentian Presiden keempat RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, juga dicabut dalam sidang paripurna tersebut. Tap ini sebelumnya menetapkan pemberhentian Gus Dur dari jabatannya sebagai presiden, dengan alasan bahwa ia telah melanggar haluan negara.
Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa pencabutan Tap tersebut merupakan permintaan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang ingin memulihkan nama baik Gus Dur. “Berdasarkan rapat gabungan MPR dan pimpinan fraksi kelompok DPD pada 23 September 2024, pimpinan MPR menegaskan bahwa ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 terkait pertanggungjawaban Presiden KH Abdurrahman Wahid kini kedudukannya tidak berlaku lagi,” tegas Bamsoet.
Ketua Fraksi PKB di MPR, Jazilul Fawaid, menyatakan bahwa pencabutan Tap ini sangat penting untuk menghapus stigmatisasi terhadap Gus Dur. “Gus Dur adalah sosok yang berjasa besar bagi bangsa ini. Tap tersebut sudah tidak relevan, dan pencabutannya akan memulihkan nama baiknya di mata rakyat Indonesia,” ujar Jazilul dalam keterangannya.
Gus Dur dikenal sebagai presiden yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme. Namun, masa kepemimpinannya berakhir dengan ketegangan politik yang membuatnya harus mundur. Dengan pencabutan Tap ini, Gus Dur diharapkan dapat dikenang sebagai pemimpin yang berjasa tanpa perlu terikat oleh stigma politik masa lalu.
Kontroversi Pencabutan Nama Soeharto dari Tap MPR 1998
Meski keputusan terkait Soekarno dan Gus Dur banyak diapresiasi, pencabutan nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 menimbulkan kontroversi besar. Pasal tersebut secara spesifik mencantumkan nama Soeharto sebagai sosok yang harus diadili dalam upaya pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), simbol kejatuhan rezim Orde Baru.
Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 dikeluarkan sebagai respons terhadap gelombang reformasi yang menggulingkan Soeharto dari tampuk kekuasaan setelah tiga dekade memimpin. Pasal 4 Tap ini menjadi landasan hukum untuk memastikan bahwa para pejabat negara, termasuk mantan Presiden Soeharto, bertanggung jawab atas praktik KKN yang merajalela selama masa pemerintahannya.
Namun, dalam sidang MPR 2024 ini, nama Soeharto resmi dicabut dari Tap tersebut dengan alasan bahwa mantan presiden itu telah meninggal dunia. “Penyebutan nama Soeharto dalam Tap MPR Nomor 11/1998 dianggap tidak relevan lagi karena beliau telah wafat. Maka, kami memutuskan untuk mencabut namanya dari pasal tersebut,” jelas Bambang Soesatyo.
Keputusan ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Banyak yang mempertanyakan apakah pencabutan nama Soeharto akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tap MPR ini dianggap sebagai simbol komitmen bangsa untuk memberantas KKN, dan pencabutan nama Soeharto dari Tap tersebut justru menimbulkan kekhawatiran bahwa bangsa ini akan melupakan kesalahan masa lalu yang suram.
Namun, pihak MPR berdalih bahwa pencabutan ini bukan berarti melupakan kasus-kasus KKN yang pernah terjadi, melainkan bagian dari proses rekonsiliasi nasional yang lebih besar. “Kita harus memahami bahwa bangsa ini membutuhkan penyatuan. Tidak ada gunanya terus menerus mengungkit masa lalu jika kita ingin maju sebagai negara yang bersatu,” tambah Bamsoet dalam pembelaannya.
Pemberian Gelar Pahlawan Nasional
Dalam rangkaian sidang paripurna, MPR juga menyatakan dukungan untuk pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. “Seluruh keputusan ini diambil sebagai bentuk penghargaan kepada jasa-jasa besar yang telah diberikan oleh para mantan Presiden tersebut,” kata Bambang Soesatyo.
Menurutnya, gelar Pahlawan Nasional pantas diberikan kepada ketiga tokoh besar ini sebagai bentuk pengakuan negara atas dedikasi dan pengorbanan mereka dalam memimpin bangsa di masa-masa sulit. “Mereka semua memiliki kontribusi besar dalam sejarah Indonesia, dan sudah saatnya kita memberikan penghormatan yang layak,” tambahnya.
Namun, usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto juga menjadi perdebatan. Beberapa pihak merasa bahwa Soeharto tidak layak mendapatkan gelar tersebut mengingat sejarah panjang kekuasaan otoriternya dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia selama masa jabatannya.
Keputusan MPR untuk mencabut sejumlah Tap yang berkaitan dengan Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur jelas membawa dampak besar bagi perjalanan sejarah dan politik Indonesia. Di satu sisi, langkah ini diharapkan dapat membuka lembaran baru dalam upaya rekonsiliasi nasional, menghapus stigma politik yang melekat pada para mantan Presiden. Namun, di sisi lain, pencabutan nama Soeharto dari Tap yang terkait KKN menimbulkan kekhawatiran bahwa bangsa ini mungkin melupakan komitmen besar yang pernah diusung era reformasi.(din)