Kanal24, Malang – Suasana di tempat pembuangan akhir (TPA) Winong, Boyolali, berubah heboh ketika puluhan mobil pikap berisi drum-drum susu segar datang untuk membuang hasil peternakan mereka. Aksi demonstrasi ini dilakukan oleh peternak sapi perah, peloper, dan pengepul susu di Boyolali, yang mengklaim bahwa susu mereka tidak terserap oleh industri pengolah susu (IPS). Tak kurang dari 50 ribu liter susu dibuang ke lokasi tersebut sebagai bentuk protes atas situasi yang dianggap tidak adil bagi peternak lokal.
Mobil-mobil yang membawa susu tersebut dilengkapi dengan spanduk yang berisi kritik dan tuntutan terhadap industri pengolah susu. Para peternak berharap aksi ini dapat membuka mata banyak pihak tentang masalah mendasar yang sedang mereka hadapi, termasuk soal penolakan susu karena dianggap tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan industri.
Prof. Hendrawan, Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (UB), menyebut bahwa isu penolakan susu oleh IPS sebenarnya bukan hal baru. Sejak era 1980-an, kasus serupa sudah pernah terjadi. Menurutnya, susu segar yang dihasilkan peternak memang harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), yang diatur dalam nomor 8784 tahun 2021. Standar ini mencakup berbagai kriteria, termasuk kemurnian susu, tingkat kebersihan, dan jumlah bakteri yang terkandung.
“Untuk susu segar, kebersihan menjadi indikator utama, termasuk jumlah bakteri yang harus di bawah 500 ribu per milliliter. Namun, kenyataannya di lapangan sering kali ditemukan angka yang jauh lebih tinggi,” jelas Prof. Hendrawan. Ia juga menggarisbawahi bahwa banyak peternak rakyat kesulitan menjaga sanitasi karena keterbatasan fasilitas, seperti air bersih.
Sebagai contoh, peternakan sapi di Boyolali yang terletak di kawasan pegunungan sering kali harus membeli air dalam bentuk tangki untuk membersihkan kandang. Kondisi ini menambah beban biaya produksi peternak, yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas susu yang dihasilkan.
Selain jumlah bakteri, berat jenis dan kandungan padatan total (total solids) juga menjadi parameter yang diperhatikan industri. Susu dengan berat jenis di bawah 1,027 dianggap mengalami pencampuran dengan air, sementara kandungan padatan yang ideal adalah sekitar 12%. Jika standar ini tidak terpenuhi, IPS berhak menolak susu yang disuplai.
“Kualitas pakan sapi turut mempengaruhi kandungan nutrisi dalam susu. Selain itu, jika sapi yang sakit disuntik antibiotik, susu yang dihasilkan juga harus dikarantina hingga residu antibiotiknya hilang. Namun, peternak kecil sering kali tidak punya pilihan karena mereka sangat bergantung pada pendapatan harian dari susu,” tambah Prof. Hendrawan.
Prof. Hendrawan juga menyoroti masalah struktural yang menjadi akar persoalan. Sejak awal pengembangan peternakan sapi perah di Indonesia pada tahun 1970-an, perhatian pemerintah lebih terfokus pada aspek hulu, seperti peningkatan produksi, tanpa memikirkan pembangunan infrastruktur hilir yang memadai. Hal ini berbeda dengan negara-negara seperti Thailand, yang sejak awal telah bekerja sama dengan Denmark untuk membangun pabrik pengolahan susu modern.
“Thailand sudah menyiapkan koperasi peternak yang memiliki pabrik pengolahan susu sendiri. Keuntungan di hilir bisa kembali ke peternak. Sementara di Indonesia, peternak kecil sering kali tidak memiliki akses langsung ke pasar hilir,” jelasnya.
Para peternak Boyolali berharap aksi ini menjadi momentum bagi pemerintah dan industri untuk lebih memperhatikan nasib mereka. Prof. Hendrawan mengusulkan agar IPS lebih proaktif memberikan edukasi kepada peternak, terutama dalam menjaga kebersihan kandang dan alat penampung susu. Selain itu, dukungan berupa subsidi untuk fasilitas sanitasi dan akses air bersih sangat diperlukan.
“Solusi jangka panjangnya adalah membangun model koperasi peternak yang terintegrasi dengan industri pengolahan. Dengan begitu, peternak tidak hanya menjadi produsen, tetapi juga mendapat keuntungan dari hilirisasi produk susu,” pungkas Prof. Hendrawan.
Aksi buang susu ini menjadi pengingat bahwa perbaikan sistemik di sektor peternakan sapi perah sangat mendesak. Tanpa langkah konkret, peternak lokal akan terus menghadapi tekanan ekonomi yang berat, sementara potensi susu segar Indonesia masih jauh dari optimal. (din/nid)