Kanal24, Malang – Harga minyak mentah global kembali tertekan pada awal pekan ini, dipicu oleh kekhawatiran pasar terhadap penurunan permintaan akibat ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Analis menilai bahwa sentimen negatif tersebut saat ini menjadi faktor dominan dalam pergerakan harga minyak, menggantikan isu-isu geopolitik lain seperti pembicaraan nuklir AS-Iran dan ketegangan dalam koalisi OPEC+.
Mengutip laporan CNBC pada Selasa (29/4/2025), harga minyak mentah Brent turun sebesar USD 1,01 atau 1,51% dan ditutup di angka USD 65,86 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dari AS mengalami penurunan 97 sen atau 1,54%, berakhir di level USD 62,05 per barel.
Baca juga:
Jajanan Pasar Bangkitkan Ekonomi, Lestarikan Warisan Malang
Sebelumnya, harga Brent sempat mencatatkan kenaikan tipis dalam dua sesi perdagangan terakhir. Namun, secara mingguan, Brent tetap mencatatkan pelemahan lebih dari 1% hingga Jumat lalu. Penurunan ini terjadi karena kekhawatiran terhadap dampak tarif perdagangan yang dinilai berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi global, sekaligus menurunkan permintaan terhadap energi.
Analis PVM, John Evans, menjelaskan bahwa perang dagang AS-China kini sepenuhnya mendominasi perhatian investor. Hal ini membuat isu-isu lain seperti negosiasi nuklir antara AS dan Iran serta dinamika internal OPEC+ untuk sementara tersingkir dari fokus utama pasar.
“Pasar benar-benar bergerak mengikuti perkembangan perang dagang ini. Investor saat ini cenderung mengabaikan faktor geopolitik lainnya,” kata Evans.
Kekhawatiran pasar semakin meningkat setelah muncul sinyal yang bertentangan dari Presiden AS Donald Trump dan pihak China mengenai negosiasi tarif. Dalam komentar terbaru, Menteri Keuangan AS Scott Bessent bahkan tidak mendukung klaim Presiden Trump yang menyatakan bahwa perundingan dengan China masih berlangsung. Pihak Beijing juga membantah adanya pembicaraan aktif dengan Washington, mempertegas ketidakpastian yang menyelimuti hubungan dua ekonomi terbesar dunia tersebut.
“Semua orang saat ini mencari arah. Apa yang akan terjadi dalam 24 hingga 48 jam ke depan menjadi kunci. Apakah akan ada eskalasi di Iran? Apakah China akan kembali membeli minyak AS?” ujar Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group.
Ketidakpastian dari OPEC+
Di tengah gejolak pasar, perhatian juga tertuju pada sikap OPEC dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+. Beberapa anggota OPEC+ diperkirakan akan mengusulkan percepatan kenaikan produksi untuk bulan kedua berturut-turut dalam pertemuan yang dijadwalkan berlangsung pada 5 Mei mendatang.
Menurut Aldo Spanjer, analis BNP Paribas, sentimen pasar terhadap OPEC+ telah memburuk sejak bulan lalu. “Pelonggaran kebijakan OPEC+ yang lebih agresif dan keraguan akan persatuan internal kartel ini menjadi kekhawatiran tambahan bagi pasar,” ungkap Spanjer dalam catatannya. BNP Paribas memproyeksikan harga Brent akan bertahan di kisaran USD 60-an per barel pada kuartal kedua tahun ini.
Negosiasi Nuklir Iran dan Insiden di Bandar Abbas
Di sisi lain, ketidakpastian dari Timur Tengah terus menambah tekanan bagi pasar. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, menyatakan bahwa dirinya tetap “sangat berhati-hati” terkait prospek keberhasilan pembicaraan nuklir antara Iran dan AS yang berlangsung di Oman. Ia menekankan bahwa jalannya negosiasi masih penuh tantangan.
Baca juga:
Kenali Resesi Ekonomi, Selamatkan Masa Depanmu
Menambah suasana tegang, ledakan besar melanda pelabuhan terbesar Iran di Bandar Abbas pada Minggu, menewaskan setidaknya 40 orang dan melukai lebih dari 1.200 lainnya. Insiden ini memicu kekhawatiran baru terkait stabilitas keamanan di kawasan yang menjadi salah satu jalur utama distribusi minyak dunia.
Secara keseluruhan, kombinasi faktor-faktor geopolitik, ketegangan perdagangan, dan ketidakpastian dari kebijakan produksi minyak membuat pasar energi global saat ini berada dalam tekanan berat, dengan prospek pemulihan yang masih sangat bergantung pada perkembangan diplomatik dan ekonomi di minggu-minggu mendatang. (nid)