Hoaks atau berita palsu/ bohong adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar namun dibuat seolah-olah benar. Hoaks bagaikan senjata pamungkas yang siap mencabik2 mangsanya dalam era ‘cyber war’ ini. Dalam ‘cyber war’ kebenaran berita kadang menjadi tidak penting. Kebenaran berita disini maksudnya berita yang seharusnya didukung oleh data dan fakta yang benar sebagai standar penulisan jurnalistik. Yang terpenting adalah masyarakat percaya akan berita hoaks tersebut untuk menggalang besarnya dukungan simpati atau suara dalam situasi pemilihan pimpinan eksekutif ataupun dalam rangka mempengaruhi pemikiran agar percaya terhadap berita hoaks tersebut. Hoaks menyebabkan ekses-ekses negative yang membuat masyarakat terpecah belah menjadi dua antara yang pro dan kontra. Hal yang paling riskan lagi adalah terbangunnya kepercayaan palsu (‘fake trust’) disalah satu sisi dan hilangnya kepercayaan sebagian masyarakat disisi lainnya terhadap proses-proses demokrasi yang sedang berlangsung. Hilangnya kepercayaan public (‘Public Trust’) sebagian masyarakatnya, apabila dalam proses tersebut terjadi ketidak Netralan penyelenggara demokrasi yang condong berpihak pada salah satu pesertanya yang sedang ikut dalam kompetisi tersebut. Hal tersebut berpotensi menyebabkan krisis demokrasi yang berkepanjangan.
KPU (Komisi Pemilihan Umum) mendapat kritik tajam dari BPN (Badan Pemenangan Nasional) tentang isu dugaan kecurangan Pemilu dan mengancam akan menarik semua saksi perhitungan suara Pemilu 2019 dari KPU Pusat sampai dengan Kabupaten dan Kota. BPN di Hotel Grand Sahid Jaya hotel selasa kemarin mengklaim mereka menang dengan angka 54,24 persen berbanding 44,14 persen. Padahal data di situng KPU dan posisi terakhir perhitungan sampai hari ini menunjukkan hal yang sebaliknya. Apakah informasi di situng KPU dapat dikatagorikan berita hoaks atau tidak benar? Dan apakah KPU juga akan diinvestagasi oleh tim asistensi hukum bentukan Menkolpolkam? Tentu saja terlalu cepat mengambil kesimpulan apabila mengatakan berita KPU adalah hoaks karena hal ini perlu pembuktian dilevel selanjutnya, bisa di Bawaslu atau Mahkamah Konstitusi dan tidak menutup kemungkinan diangkat ke ‘case’ internasional di International Law, Courts and Tribunals karena ada item Elections dibawah tema Governance dibawah lembaga peradilan internasional yang dinaungi oleh PBB tersebut. Terlihat ada upaya untuk menginternasionalisasikan kasus2 dugaan kecurangan pemilu ini kelevel internasional apabila dirasakan organ demokrasi resmi dinegara ini nantinya diduga tidak netral dalam menyelesaikan sengketa pilpres tersebut. Menarik melihat kasus pilpres yang saat ini sedang berlangsung dan tidak menutup kemungkinan adanya campur tangan kepentingan negara2 super power seperti China dan US dibalik itu semua.
Terkait asumsi sebagaimana disebutkan diatas terdukung oleh teori2 dalam referensi buku yang menarik untuk dibaca berjudul ‘Information Manipulation: a challenge for our democracy’ atau Manipulasi Informasi: sebuah tantangan untuk demokrasi kita ditulis oleh Jean-Baptiste Jeangene Vilmer, A. Escorcia, M. Guillaume dan J. Herrera (2018) merupakan sebuah buku yang disusun oleh the Policy Planning Staff (CAPS) dari Kementerian Urusan Luar Negeri dan Eropa dan Institute for Strategic Research (IRSEM) dari Kementerian Pertahanan, Perancis. Investigasi yang dilakukan oleh tim ini dikarenakan kesadaran tentang adanya fenomena baru yaitu manipulasi informasi yang keberadaannya berbahaya karena dapat menghambat proses demokrasi. Manipulasi informasi ini terjadi sejak 2014 dan benar-benar terjadi di Ukraina, Bundestag/ Parlemen Jerman, Dutch Referendum, Brexit, US election yang menghasilkan Trump sebagai pemenangnya dan saat pemilihan Presiden Perancis 2017. Manipulasi informasi itu bisa berasal dari Negara lain atau dari dalam negeri. Pelakunya bisa merupakan aktor2 pemerintah ataupun aktor2 non pemerintah. Manipulasi informasi didukung oleh dua faktor utama yaitu pertama kapasitas internet dan jaringan2 sosial/ medsos yang secara cepat dapat memviralkan/ menyebarkan informasi. Kedua, krisis kepercayaan yang sedang dialami oleh masyarakat demokrasi itu sendiri yang kurang mempercayai ‘public speech’ atau pernyataan resmi ke publik dan lebih jauh lagi menyangsikan kebenaran berita resmi yang ada.
Meneropong Pilpres Indonesia 2019 dari teori tersebut diatas, maka masih segar dalam ingatan kita isu khilafah dan Komunisme yang dihembuskan oleh pendukung keduabelah pihak. Dalam hal ini kedua kelompok pendukung tersebut seharusnya dikatagorikan aktor2 non-pemerintah karena apabila berbaju pemerintah disyaratkan bersifat netral. Berita hoaks yang digulirkan tidak peduli isu tersebut memang berasal dari tim kampanye masing2 ataupun hanya buatan dari oknum simpatisan dari kedua kontestan, namun efek yang ditimbulkan dari kedua isu tersebut bisa jadi cukup signifikan. Kedua isu tersebut hampir dapat dipastikan masuk katagori berita hoax atau bohong. Namun dalam cyberwar kebenaran berita tidak penting, yang penting adalah masyarakat mempercayainya. Coba kita cek data dan faktanya. Isu akan diterapkannya system khilafah apabila 02 yang menang cukup mempengaruhi pendulangan suara didaerah yang berbasis Kristen seperti Kabupaten Minahasa yang 84 % penduduknya Kristen. Berdasarkan data yang masuk sementara ini sampai dengan 11 mei 2019 pasangan 02 mendapatkan 21.305 suara sedangkan pasangan 01 mendapatkan 192.834 suara. Lebih spesifik lagi didaerah asal mula ibundanya capres Prabowo yaitu di desa Wolaang tercatat suara 02 hanya 110 suara sedangkan suara 01 mencapai 1.239 suara (tirto.id). Hal ini menjadi bukti sementara cukup efektifnya kampanye khilafah. Apalagi didukung oleh kedekatannya capres 02 dengan gerakan 212 dan HRS. Walaupun saat masa kampanye beliau menyebutkan sanggahannya secara terbuka terhadap akan diberlakukannya system khilafah ini dalam debat capres di media TV. Apalagi mempertimbangkan beliau sebagai prajurit TNI tentu saja akan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah ideology NKRI yang tidak bisa ditawar-tawar, sehingga system khilafah tidak akan mendapatkan tempatnya apabila beliau terpilih menjadi RI 1 di 2019 ini.
Menurut pengamatan saya khilafah yang dimaksud diperdebatkan diatas tersebut adalah khilafah ideology yaitu ingin menggantikan idelogi kenegaraannya. Saya sendiri tidak setuju dengan pergantian ideology negara tersebut. Khilafah sendiri sebenarnya merupakan system kepemimpinan. Namun apabila khilafah tersebut kita ambil sisi positifnya yaitu dalam konteks moral dimana system kepemimpinan harus jujur dan adil, maka saya menyetujui aspek ini. Hilangnya kejujuran dan keadilan dalam suatu system kepemimpinan nasional akan menurunkan ‘public trust’ masyarakatnya. Hal ini juga sesuai dengan prinsip-prinsip Governance atau tata kelola pemerintahan sebagai paradigm terkini dalam Ilmu Administrasi public, dimana untuk membangun kepercayaan public maka system pemerintahan harus jujur, adil, transparan dan akuntabel. Saya hanya ingin menggarisbawahi disini bahwa khilafah moral beririsan dengan pesan moral paradigma governance atau tata kelola pemerintahan yang baik. Kembali lagi karena berita hoax belum tentu segaris dengan kebenarannya maka isu khilafah ini cukup efektif menurunkan suara capres 02 yang sebelumnya dipilpres 2014 tidak begitu jauh perbedaan suara ditempat tersebut. Hal ini juga berlaku bagi isu bangkitnya komunisme yang dituduhkan ke pihak petahana yang juga masih perlu dipertanyakan lagi sisi kebenarannya.
Lalu bagaimana jika manipulasi informasi yang dituduhkan kepada penyelenggara pemilu sebagai salah satu actor Negara sekarang misal KPU? Relawan IT BPN menyebutkan ada sebanyak 73.7135 kesalahan input data situng atau sebesar 15.4 persen dari total 477.021 TPS yang telah diinput (beritasatu.com). Kesalahan situng yang dituduhkan oleh pihak 02 ke KPU sebagai penyelenggara pilpres apakah termasuk katagori manipulasi data? Hal inilah yang di cross check kan dulu lagi dengan form data C1 nya. Apabila memang terjadi ketidaksesuaian data dengan form C1 tuduhan manipulasi informasi bisa dialamatkan ke KPU. Oleh karena itu pihak yang mempermasalahkan entry data ini harus difasilitasi Bawaslu atau nantinya Mahkamah Konstitusi dengan adil, transparan dan akuntabel. Sebagai salah satu jaminan Bawaslu sebagai benteng demokrasi terakhir harus memfasilitasi penyelesaian kasus ini karena memang disitulah memang tugas dari Bawaslu dan MK. Jika tidak harga demokrasi yang harus ditanggung sangatlah besar apabila terjadi krisis demokrasi.
‘Fake news’ atau berita bohong (hoax) juga mewarnai diacara pemilihan presiden US tahun 2016 dan Perancis tahun 2017. Dampak dari manipulasi informasi ini cukup signifikan ke masyarakat dan mereka tidak tahu sedang termanipulasi informasi. Vilmer et. Al. menyebutkan ‘Manipulation is intentional (its purpose is to cause harm) and clandestine (victims do not know they are being manipulated)’. Kurang lebih artinya manipulasi mempunyai tujuan yaitu maksudnya menghasutkan berita kejelekan yang menyebabkan hancurnya kepercayaan (Collateral damage) dan korban tidak tahu mereka sedang dimanipulasi. Manipulasi informasi dalam teori ini meliputi 3 kriteria yaitu kampanye yang terkoordinasi, penyebaran informasi bohong dan tujuan politiknya menghancurkan kepercayaan terhadap kandidat yang diserang. Dampak manipulasi informasi ini ke si pembaca informasi berbentuk kegagalan kognitif maksudnya pemberian informasi yang tidak benar tersebut menyebabkan kemalasan intelektual secara alami. Si pembaca tidak menggunakan akal kritisnya dan langsung saja menyebarkan berita tersebut ke komunitasnya tanpa mengecek kebenaran informasi tersebut. Dampak manipulasi informasi ini ke level kolektif dapat menyebabkan krisis kepercayaan kepada institusi2 pemerintah apabila dituding ada keberpihakannya, penolakan terhadap elit2 yang berkuasa, terjadinya polaritas identitas seperti pengikut petahana versus non petahana, tudingan yang berlebihan terhadap kelompok borjuis yang menguasai harta negeri tersebut dan krisis media (pers) dengan keberpihakannya juga.
Lalu bagaimana sikap pemerintah dalam menghadapi manipulasi informasi ini. Dikatakan dalam referensi buku ini: ‘Governing parties tend to transform the nature of rule of law that they inherit from within (subjugation of the judiciary in Poland, strengthening of police powers through special laws in Turkey, criminalization of the opposition and certain NGOs in Rusia and Israel)’. Maksud dari pernyataan diatas adalah partai-partai yang saat ini berkuasa cenderung merubah bentuk asli dari aturan hukum sesuai dengan keinginan mereka (penguasaan thdp pengadilan di Polandia, menguatkan kekuasaan kepolisian melalui peraturan khusus di Turki, kriminalisasi pihak2 oposisi dan NGOs (non-government organizations) di Rusia dan Israel. Padahal beberapa respon pemerintah diatas bersifat anti demokrasi dan memperkosa kebebasan sipil. Selanjutnya diingatkan ‘Is the emphasis numerous governments place on “fake news” not a suspiciously convenient way to clear themselves of blame or point fingers at the alleged enemies of democracy, including those abroad, in order to consolidate power? Could it even be an insidious pretext by which to challenge civil liberties and, above all, freedom of expression?’. Maksudnya adakah banyak pemerintah menempatkan berita bohong atau ‘hoax’ tidak pada porsi yg tepat yg mencurigakan posisi pemerintah sendiri untuk terbebas dari tuduhan sebagai musuh demokrasi yang sedang mengkonsolidasikan kekuasaan? Bukankah ini sebuah tindakan yang berbahaya yang dapat menghambat kebebasan sipil dan kebebasan berekspresi.
Belajar dari buku ini dan meneropong kasus di Indonesia saat ini. Sudah tepatkah respon pemerintah saat ini terhadap maraknya manipulasi informasi yang ada saat ini. Pembentukan tim asistensi hukum nasional oleh Menko Polhukam untuk mengkaji atau memantau tindakan, ucapan, maupun pemikiran tokoh yang mengarah ke perbuatan melawan hukum sedang mendapatkan kritik saat ini. Apakah tindakan, ucapan dan pemikiran tokoh tersebut yang akan diperiksa adalah yang dimasukkan dalam katagori hoaks ini tadi. Selanjutnya apakah yang dimaksud disini termasuk berita hoax atau yang dianggap tidak benar yang sedang menyudutkan posisi pemerintah berkuasa? Bagaimana kalau ada ucapan dan pemikiran yang belum tentu benar dan mendiskriditkan masyarakat non pemerintah yang berasal dari lembaga demokrasi resmi dan tokoh-tokoh yang saat ini berada ditampuk kekuasaan. Apakah termasuk yang akan dievaluasi juga? Akankah tuduhan juga dialamatkan ke organ resmi demokrasi atau pejabat negara rezim saat ini. Ketidak cocokan beberapa actor masyarakat terhadap terbentuknya tim asistensi hukum ini dapat mempertebal dugaan tuduhan bahwa pemerintah saat ini sedang bergerak kearah anti demokrasi, walaupun hal tersebut belum tentu benar karena mungkin adanya maksud baik dari pembentukannya yang belum terkomunikasikan. Karena suatu kebijakan dibuat itu dalam paradigma tatakelola pemerintahan yang terpenting adalah untuk melayani kepentingan masyarakat sebagai ‘citizen’ bukan semata2 melayani penguasa. Lain halnya dengan paradigma lama disebut Old Public Administration (OPA) memang dipengaruhi oleh filsafat ilmu politik sehingga doktrin paradigma ini adalah bagaimana memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu kecenderungan paradigma ini adalah birokrasi untuk melayani kekuasaan. Saya agak sangsi apabila pemerintah kita juga akan dimasukkan dalam katagori OPA tersebut, semoga saja tidak.
Disamping itu sudah sesuaikah tupoksi Menkopolkam sehingga harus turun ke implementasi kebijakan yang cenderung teknis seperti ini. Bukankah tupoksinya adalah menyinkronkan dan mengkoordinasikan perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan kebijakan dibidang politik, hukum dan keamanan. Menko bermainnya dilevel atas atau dilevel makro kebijakan, agak terlalu riskan apabila bermain dilevel operasional kebijakan. Riskan dalam hal ini maksudnya dari adanya reaksi tudingan telah mengebiri kebebasan sipil dan berekspresi. Apalagi hal ini dicetuskan dalam timing yang kurang pas saat ini atau suasana yang lagi panas saat ini. Kuatirnya opsi ini malah akan menyiram bensin di api yang sedang membara sehingga akan memicu krisis demokrasi berkelanjutan. Suasana yang dibutuhkan oleh masyarakat sekarang adalah suasana yang saling menentramkan dan menyejukkan untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat yang sudah tercabik2 oleh manipulasi informasi yang terjadi pada pendukung kedua belah pihak. Kita menginginkan Indonesia yang damai, aman dan tentram. Hal ini bisa diwujudkan apabila demokrasi ditegakkan secara jujur, adil, transparan dan akuntabel sehingga mendamaikan dan menentramkan semua pihak.
Oleh Andy Fefta Wijaya, Ph.D (Ketua Jurusan Administrasi Publik, FIA UB dan ahli kebijakan publik )