Koperasi merupakan persekutuan cita-cita yang ditopang oleh 2 pilar utama, yaitu solidaritas dan individualitas. Dua hal ini bisa dibedakan namun tak bisa dipisahkan. Solidaritas dapat dimaknakan sebagai simpul dari rasa kebersamaan, simpati dan empati serta kesatuan ide, gagasan dan kepentingan antar manusia. Sedangkan individualitas, merupakan kesadaran kritis yang dimiliki oleh seorang manusia yang membentuk kapasitas pribadi yang luhur. Solidaritas mustahil terwujud tanpa individualitas, demikian pula sebaliknya. Untuk meraih cita-cita koperasi, maka anggota yang bersekutu mesti memiliki keluhuran individualitas serta kesadaran sekaligus komitmen solidaritas.
Meminjam katagori Martin Buber, filsuf eksistensialisme Jerman mengenai relasi antar manusia, Buber mengkatagorikan bahwa relasi antar manusia dapat dipilah menjadi 2, yaitu I – Thou (Aku-Engkau) dan I – It (Aku – Itu). Aku – Engkau adalah hubungan antar-manusia yang bersifat terbuka, saling memberi, dan ada hubungan perasaan yang dalam. Aku – Itu ditandai dengan kecenderungan memperlakukan orang lain sebagai benda dan diukur berdasarkan manfaat yang dapat diperoleh “aku” dari orang itu (Seran, 2011). Memakai katagori Buber tersebut, hubungan antar-manusia dalam koperasi merupakan hubungan I – Thou, bukan (dan jangan sekali-kali) berbentuk hubungan I – It.
Relasi dalam bentuk I – Thou bukanlah relasi yang terberi, namun merupakan bentuk relasi ideal yang mesti diikhtiarkan. Membangun individualitas yang luhur merupakan ikhtiar awal yang mesti dilakukan oleh koperasi. Pembentukan kesadaran kritis melalui pendidikan dan pembudayaan prinsip, nilai dan jatidiri koperasi kepada seluruh anggota dan calon anggota koperasi merupakan pangkal untuk membangun jiwa dengan komitmen solidaritas. Karena posisi penting inilah, tidaklah mengherankan jika Bung Hatta mengatakan bahwa koperasi merupakan persekutuan rohani dan pendidikan rasa. Bangun manusia koperasi lebih dulu sebelum disibukkan dengan rencana dan kalkulasi ekonomis.
Kooperator mesti tanggap bahwa struktur kita saat ini, begitu pengap dengan bentuk relasi I – It. Relasi I – It dibangun atas prinsip individualisme kapitalistik yang kebablasan. Bahkan salah satu penulis mengatakan bahwa hegemoni individualisme melahirkan relasi I – It dan meminggirkan hubungan I – Thou, dan turunannya berwujud supercapitalism. Relasi I – It inilah yang selalu mengancam lahirnya krisis dan instabilitas. Kooperator mesti kukuh berikhtiar membangun individualitas dan solidaritas sebagai landasan membangun relasi I – Thou. Mengembangkan Ideologi Praktis tanpa meninggalkan Ideologi Isi (seperti bahasan artikel yang lalu).
Akhirnya, berkoperasi tanpa literasi dan kesadaran kritis yang cukup akan mengelincirkan penggunakan label koperasi tanpa pelaksanaan prinsip, nilai dan jiwa koperasi. Kondisi ini akan membuat sama antara koperasi dengan bangun usaha lainnya. Padahal koperasi adalah “business is unusual”. Memang koperasi mesti dinamis dan memiliki fleksibilitas dalam Ideologi Praktis, namun bukan lantas menanggalkan Ideologi Isi yang sesuai cita-cita pendiri bangsa, Pancasila dan Konstitusi Negara. “Puritanisasi” koperasi yang sesuai dengan cita-cita, Pancasila dan Konstitusi Negara perlu disegarakan, termasuk dalam RUU Koperasi yang saat ini lagi dirumus dan bicakan. Mari !
SUBAGYO
Dosen FE Universitas Negeri Malang