KANAL24, Jakarta – Perang dagang AS-China memaksa para raksasa fesyen AS untuk keluar dari China. PT Sri Rejeki isman, Tbk (SRIL) pembuat pakaian untuk J.C. Penney Co., Guess? Inc., Walmart Inc. dan merek-merek besar lainnya seperti H&M, menerima panggilan dari beberapa nama besar dalam dunia mode yang ingin mendiversifikasi pemasok mereka jauh dari Cina.
“Salah satu pemain terbesar di AS ingin bergeser secara besar-besaran. (Nilainya) hampir mendekati USD1 miliar, “kata CEO SRIL, Iwan Setiawan Lukminto, seperti dikutip Bloomberg, Rabu (2/10).Banyak perusahaan global terpaksa mengubah rantai pasokannya, dan memindahkan poros produksinya ke luar China, yang selama beberapa dekade lalu telah menjadi bengkel dunia.
“Sekarang semua orang khawatir bagaimana agar bisa bergerak,” kata Lukminto, tentang perusahaan-perusahaan tekstil AS yang memiliki bisnis di China, dan sekarang mencari alternatif. Perusahaan-perusahaan itu berusaha keras untuk mengamankan jalur pasokannya ke lokasi lain seperti Taiwan, Vietnam, dan Bangladesh untuk mengurangi tarif impor barang yang ditujukan ke pasar AS.
Antara Juni dan Agustus tahun ini, 33 perusahaan yang terdaftar di Cina telah mengumumkan rencana untuk mengatur atau memperluas produksi di luar negeri. Menurut Bank Dunia, 23 perusahaan pindah ke Vietnam. Yang lain bergeser ke Kamboja, India, Malaysia, Meksiko, Serbia, dan Thailand, namun tidak ada yang pindah ke Indonesia.
“Indonesia tampaknya tertinggal dalam hal keuntungan dari pengalihan perdagangan dan investasi dalam rantai pasokan baru,” kata ekonom senior Maybank, Chua Hak Bin. Padahal menurutnya, Indonesia memiliki kelebihan berupa tenaga kerja yang besar, tingkat upah yang kompetitif dan tanah yang luas.
“Peraturan, birokrasi, undang-undang perlindungan tenaga kerja dan hambatan perdagangan yang tinggi menjadi penghambat,” Chua menambahkan.
Meningkatnya permintaan ekspor pakaian seharusnya menjadi berita baik bagi Indonesia yang tengah menghadapi tekanan ekspor dan ancaman pelemahan pertumbuhan. Hingga Agustus lalu, Indonesia telah mengalami penurunan ekspor selama 10 bulan berturut-turut, sementara pemerintah telah mengurangi proyeksi pertumbuhan tahun ini menjadi 5,1% dari perkiraan sebelumnya 5,3%.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia dikabarkan telah melobi Presiden Joko Widodo untuk mempercepat reformasi yang memungkinkannya untuk memenuhi target ekspor sebesar USD14,6 miliar tahun depan, dari USD12,5 miliar pada tahun 2017.
Ketika perang dagang berkembang menjadi “seruan kepada para pemain AS,” untuk keluar dari Cina, menurut Lukminto, seharusnya juga menjadi seruan untuk “membangunkan” industri lokal dan pemerintah Indonesia.
“Jika mereka tidak mendengarkan, maka kita akan khawatir. Tapi sekarang mereka mendengarkan,” ujarnya. Kelompok bisnis Indonesia telah meminta pemerintah untuk merombak undang-undang perburuhan, dan relaksasi sejumlah peraturan investasi, serta kepemilikan asing.
Beberapa upaya untuk memikat investasi telah mulai membuahkan hasil, meskipun itu berarti lebih banyak kompetisi untuk perusahaan lokal seperti Sri Rejeki. Pemasok pakaian olahraga Taiwan, Eclat Textile Co. Ltd. dikabarkan berencana untuk berinvestasi USD170 juta dengan mendirikan pabrik tenun dan garmen di Indonesia, dengan tujuan diversifikasi dan mengurangi risiko.
Pasar AS sekarang menyumbang sekitar 13,6% dari ekspor SRIL, naik dari hanya sekitar 3% pada tahun lalu. Lukminto berencana untuk meningkatkan kapasitas produksi perusahaannya hingga seperlima pada tahun depan untuk memenuhi peningkatan permintaan.
Masalahnya adalah kecakapan manufaktur China sulit untuk diganti atau ditiru, yang mencapai 30% dari kapasitas pasar global. Sedangkan kapasitas Indonesia hanya 2%, kata Lukminto.
“Kita tidak bisa menyerap semuanya,” kata Lukminto. “Para pemain besar juga meminta kami untuk berkembang. Mereka sangat membutuhkannya,” imbuhnya.(sdk)