Kanal24, Malang – Perubahan arsitektur ekonomi global tengah berlangsung seiring menguatnya peran negara-negara berkembang. Aliansi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) muncul sebagai kekuatan tandingan terhadap dominasi Barat yang diwakili oleh G7 dan lembaga internasional seperti IMF. Indonesia kini berada di persimpangan penting: tetap mempertahankan kedekatan dengan IMF atau memperkuat orientasi baru ke BRICS.
Dari IMF ke Arah Baru
Adhi Cahya Fahadayna, S.Hub.Int., M.S., pengamat politik luar negeri Universitas Brawijaya, menjelaskan bahwa pengaruh IMF terhadap Indonesia sangat besar di masa lalu, terutama saat krisis 1998. Namun kini, posisi tersebut mulai bergeser. “Kalau dulu, IMF sangat menentukan arah kebijakan ekonomi kita. Sekarang, perannya jauh berkurang. Kita tetap anggota, tapi tidak lagi dikendalikan seperti dulu,” katanya.
Baca juga:
Friction Shifting Theory: Menggeser Algoritma, Menggoyang Opini Publik

Sebaliknya, pilihan untuk bergabung dengan BRICS menunjukkan keberanian Indonesia mencari alternatif kerja sama yang lebih setara. Langkah ini menandai niat untuk membangun aliansi ekonomi dengan kekuatan non-Barat.
BRICS sebagai Pusat Kekuatan Baru
BRICS menawarkan platform kerja sama yang menitikberatkan pada potensi domestik negara anggota. China sebagai kekuatan dominan menjadi motor penggerak, sementara Rusia, India, dan Afrika Selatan menambah diversifikasi geopolitik. Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dianggap akan memberi bobot tambahan signifikan bila resmi bergabung.
Namun, orientasi baru ini tidak bebas risiko. Amerika Serikat sudah menunjukkan sikap keras melalui kebijakan tarif dagang. Bagi Adhi, langkah itu menunjukkan bahwa Indonesia harus siap menghadapi konsekuensi geopolitik. “Bergabung dengan BRICS artinya jelas menantang dominasi Barat. Maka jangan heran jika ada tekanan ekonomi dari luar,” jelasnya.
Dampak Domestik dan Publik
Dari sisi domestik, tantangan utama ada pada konsistensi kebijakan. Kondisi perekonomian yang sedang sulit, ditandai kenaikan pajak dan keterbatasan lapangan kerja, membuat masyarakat lebih sensitif. Demonstrasi publik beberapa waktu lalu mencerminkan ketidakpuasan terhadap arah kebijakan ekonomi, baik di masa lalu maupun awal kepemimpinan baru.
Adhi mengingatkan, “Jika kebijakan fiskal tidak tepat, resikonya bukan hanya pada kepercayaan publik, tapi juga stabilitas politik. Menteri Keuangan baru harus membuktikan hasil dalam tiga bulan ke depan, karena masyarakat sudah lelah dengan janji.”
Posisi Geopolitik Indonesia
Secara geopolitik, Indonesia memiliki modal kuat setelah diakui sebagai anggota G20. Keanggotaan ini menegaskan status Indonesia sebagai kekuatan menengah yang diperhitungkan. Namun, bergabung dengan BRICS bisa memperluas ruang manuver dalam politik internasional.
Bagi Presiden Prabowo, kebijakan ekonomi tidak hanya soal angka, melainkan juga tentang kedaulatan. Visi kemandirian di sektor pangan, energi, dan industri strategis menjadi prioritas. “Kita harus bisa berdikari, tidak terus bergantung pada impor,” tegas Adhi, merujuk pada tantangan lama yang belum terpecahkan.
Baca juga:
Komunikasi Publik Pemerintah Dinilai Gagal Menyentuh Rakyat
Harapan ke Depan
Keputusan strategis bergabung dengan BRICS diharapkan dapat membuka peluang kerja sama baru, termasuk investasi dan teknologi. Namun, syarat utamanya adalah memperbaiki tata kelola domestik agar Indonesia benar-benar siap menjadi bagian dari poros baru ekonomi dunia.
Jika tidak, risiko kehilangan kredibilitas di mata publik dan mitra internasional akan semakin besar. Pergeseran dari IMF ke BRICS bukan sekadar simbol geopolitik, tetapi juga ujian bagi Indonesia: apakah mampu mengelola potensi besar yang dimiliki, atau justru terjebak dalam tekanan global yang semakin kompleks. (nid)