Kanal24, Malang – Tahun 2023 menjadi tahun yang sulit bagi sebagian besar ekonomi global, dikarenakan mesin utama pertumbuhan global yaitu Amerika Serikat, Eropa dan China saat ini mengalami aktivitas yang melemah. Hal ini disampaikan oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, pada program berita MInggu CBS “Face The Nation”. Menurutnya meningkatnya resiko resesi global ini akibat perlambatan pertumbuhan di negara-negara maju dan depresiasi mata uang di negara berkembang, serta inflasi yang mengkhawatirkan saat ini sedang berlangsung.
Menilik kembali ke tahun 2022 ini yang penuh kejadian dan pergolakan pasca pandemi mulai dari krisis energi, perang antar negara hingga rentetan bencana yang silih berganti datang di berbagai belahan dunia. Situasi negatif itu telah memaksa berbagai perubahan dalam dinamika sosial ekonomi dunia.
Pada kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, Indonesia berhasil selamat dari jurang resesi pada tahun 2022 setelah BPS mengumumkan bahwa sejak akhir kuartal IV 2021 hingga kuartal III 2022 tingkat ekonomi nasional tumbuh rata-rata diatas angka 5%. Kinerja yang baik ini tidak lain disebabkan oleh daya beli konsumsi masyarakat setelah pandemi yang semakin meningkat.
Pakar ekonomi FEB UB, Prof. Candra Fajri Ananda menjelaskan salah satu kunci utama supaya situasi ekonomi nasional tahun 2023 dapat berjalan lebih baik yaitu dengan menjaga tingkat inflasi tetap stabil. Ia melihat tingkat inflasi saat ini yang berada di kisaran 4% masih cenderung stabil jika dibandingkan dengan perkiraan para ahli sebelumnya yaitu sekitar 6%.
Prof. Candra Fajri Ananda (Kanal24/Putri)
“Pada tahun 2022 ini struktur ekonomi Indonesia tidak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu disupport oleh konsumsi rumah tangga, angkanya hampir 58% dari total konsumsi nasional. Selama pemerintah bisa menjaga inflasi di angka yang dapat dikontrol maka daya beli ini akan tetap oke dan dapat mendorong perekonomian pada tahun 2023,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof Candra juga menjelaskan bahwa situasi pandemi Covid-19 yang lalu hampir membuat Indonesia mengalami resesi jika saja tidak ditangani dengan benar. Indikasi resesi seperti misalnya melemahnya daya beli, kesulitan pasokan bahan baku, gejolak pasar yang tidak stabil hingga kekurangan tenaga kerja akibat pembatasan sosial telah sering dilaporkan pada masa itu.
“Itu semua (dampak pandemi) menyebabkan gangguan pada supply dari produsen dan juga demand karna berkurangnya orang yang bekerja. Itu pernah terjadi pada tahun 1930-an yang kita pernah mengenalnya sebagai great depression” lanjut beliau.
Selain inflasi, faktor geopolitik juga menjadi tantangan tersendiri pada tahun 2023. Konflik politik China-Amerika Serikat ataupun Rusia-Ukraina yang hingga saat ini sulit diprediksi dapat memberikan efek serius bagi negara-negara lain yang berkaitan. Sejak memasuki era pasar bebas internasional, perekonomian Indonesia tidak lagi hanya dibatasi oleh batas-batas negara. Namun juga ada semacam koneksi timbal balik yang dapat menguntungkan atau merugikan suatu negara.
“Kita tidak bisa berpikir bahwa apa yang terjadi disana tidak akan terjadi disini. Misalnya saat perang Rusia-Ukraina. Bagi Indonesia ya bisa jadi untung karena menyebabkan harga energi naik. Batu bara naik, gas naik, CPO juga naik. Semua ini adalah kekuatan ekonomi negara,” tandas Prof Candra.
“Sehingga pada saat itu penerimaan pajak kita mencapai target sehingga neraca perdagangan kita surplus terus mulai dari tahun 2021 hingga 2022. Semua kondisi ini mencerminkan bahwa Indonesia tidak bisa lepas dari dinamika kondisi perekonomian dunia,” pungkasnya. (put/elf)