Oleh : Prof Rachmat Kriyantono*
Presiden dan beberapa menteri sibuk kampanye. Bahkan ada menteri yang bukan dari parpol juga ikut hadir di kampanye, minimal ikut hadir di debat capres. Selain terkait dengan isu netralitas, saya menganggap kondisi ini bisa mengganggu manajemen pemerintahan atau kabinet.
Komunikasi “Ewuh Pakewuh”
Manajemen pemeintahan sangat ditentukan oleh kualitas manajemen komunikasi dalam kabinet. Komunikasi ini sangat penting sebagai perekat interaksi sehingga bisa membangun koordinasi dan kerjasama. Tanpa komunikasi, tidak mungkin muncul koordinasi. Tanpa koordinasi, tak mungkin muncul kerjasama. Tanpa kerjasama, pemerintah tak mungkin bisa bekerja secara baik.
Dari berita pengakuan beberapa menteri yang viral, sudah terjadi proses komunikasi yang “ewuh-pakewuh” yang menciptakan ketidakcairan interaksi. Terdapat gangguan psikologis karena ada menteri pendukung capres no 1, 2, dan 3. Ditambah lagi, Presiden Jokowi sudah menyatakan bahwa dirinya boleh berkampanye. Meski belum menyatakan eksplisit arah dukungan, publik menganggap dia mendukung paslon no 2, yang kebetulan anaknya menjadi cawapres. Hal ini diperkuat dengan komunikasi nonverbal, seperti bagi-bagi bansos yang banyak dilakukan di lumbung suara capres no 3. Dapat dimaknai bahwa presiden berseberangan dengan menteri-menteri yang berbeda dukungan politik..
Bagaimana dengan kinerja pemerintah untuk menjamin kemaslahatan bagi rakyat? Rakyat butuh sejahtera, tapi, rakyat juga punya afiliasi politik yang berbeda-beda, termasuk berbeda dengan afiliasi politik presiden.
Dalam perspektif komunikasi, perlu evaluasi terhadap UU Pemilu no 7/2017 yang mengatur kampanye pejabat publik atau pejabat negara.
UU Pemilu Dievaluasi
Evaluasi juga berdasarkan fakta bahwa kita belum bisa berdemokrasi secara dewasa. Cara berdemokrasi kita belum mengedepankan etika. Penggunaan rasionalitas hukum sering tercerabut dari lem etikanya.
Pasal yang membolehkan pejabat publik tersebut untuk berkampanye perlu mencantumkan secara eksplisit bahwa aturan tersebut khusus hanya Presiden yang ingin running di periode kedua dengan syarat cuti saat berkampanye,, atau bagi menteri yang ingin berkampanye diminta mundur dari jabatan menteri.
Apakah menentang hak demokrasi seseorang? Tidak! Karena, hak demokrasi seseorang otomatis akan berkurang atau terkurangi ketika seseorang menggunakan hak demokrasinya, yakni hak menjabat jabatan publik. Sebagai pejabat publik, seseorang harus melayani dan mengayomi, kepentingan publik. Publik pasti beragam kepentingan dan beragam latar belakang, termasuk beragam dukungan politiknya.
Influence Trading
Dalam perspektif komunikasi, pejabat publik adalah seorang komunikator yang mestinya fokus pada penyampaian pesan-pesan publik, bukan pesan pribadi, kelompok atau golongan tertentu. Jabatan publik (Presiden, menteri atau kepala daerah) itu sendiri juga merupakan simbol yang bisa berfungsi sebagai media penyampai pesan.
Komunikasi bisa dikelompokkan menjadi dua, primer dan sekunder. Komunikasi sekunder adalah penyampaian pesan dengan menggunakan media tertentu (media massa, internet, surat dll). Komunikasi primer adalah penyampaian pesan yang langsung menggunakan simbol, misalnya simbol berupa bahasa saat berbicara face to face langsung. Ketika seorang presiden, menteri, atau kepala daerah berkampanye langsung maka jabatan yang melekat dalam dirinya merupakan simbol nonverbal yang secara langsung dikomunikasikan kepada orang lain. Bahkan, saat cuti pun, jabatan publik sebagai simbol tetap melekat dan berdampak komunikasi.
Dengan demikian, jabatan publik merupakan pesan itu sendiri yang bisa mempengaruhi orang lain. Dalam pembagian bansos, misalnya, kehadiran fisik presiden secara langsung sudah menjadi pesan tersendiri, selain pembagian bansosnya. Aspek komunikasi ini penting diperhatikan karena bisa memunculkan fenomena influence trading (Dagang pengaruh), untuk menciptakan elektabilitas pada capres tertentu. Dagang pengaruh ini bisa ditujukan kepada rakyat dan juga kepada pejabat publik lain dalam struktur lebih rendah. (ProfRK)
Penulis : Prof. Rachmat Kriyantono, Guru Besar Ilmu Hubungan Masyarakat Dept. Komunikasi Fisip UB