KANAL24, Jakarta -. Dalam tiga bulan terakhir sektor manufaktur Indonesia mencatatkan pelemahan. Berdasarkan rilis dari IHS Markit, Purchasing Managers Index (PMI), sejak Agustus masih di bawah 50. Artinya PMI dengan nilai di bawah 50 berarti terjadi kontraksi dengan kondisi operasional yang memburuk lantaran produksi dan permintaan yang melemah.
Meski PMI pada September 2019 menguat dari bulan sebelumnya yaitu 49 menjadi 49,1, tetap saja PMI masih rendah lantaran di bawah 50. Secara rata-rata pada triwulan ketiga nilai PMI hanya 49,2. Angka ini adalah yang terendah sejak akhir tahun 2016.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Achmad Sigit Dwiwahjono, mengatakan bahwa nilai PMI Indonesia yang relatif melemah dalam tiga bulan terakhir karena lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global yang masih tidak menentu.
Terlebih perang dagang hingga saat ini masih terus berlanjut. Akibat dari itu semua, angka produksi dan permintaan atas produk manufaktur nasional melambat.
“Banyak faktor yang mempengaruhi, ada faktor-faktor internasional seperti perang dagang. Ini seluruh demand di internasional turun, dan pertumbuhan ekonomi dunia turun sehingga berimbas juga ke produksi kita,” kata Sigit usai menghadiri workshop pendalaman kebijakan industri kepada awak media di Padang, Sumatra Barat, Selasa (8/10/2019).
Dengan adanya pelemahan PMI Indonesia ini, Kemenperin memperkirakan akan berpengaruh pada target pertumbuhan ekonomi walaupun secara total tidak terlalu signifikan. Hanya saja penurunan kontribusi sektor manufaktur kepada PDB diharapkan akan terkompensasi dari sektor lain sehingga target pertumbuhan ekonomi akan tetap tercapai hingga akhir tahun 2019.
“Kita harap sih tidak (tidak terlalu berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi), mungkin hanya akan berpengaruh pada penurunan 0,1 persen secara full year,” pungkas Sigit. (sdk)