Kanal24, Malang – Di tengah polemik pencabutan izin tambang, mencuatnya aktivitas tambang nikel milik PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining di kawasan Raja Ampat telah menimbulkan kegaduhan publik. Keempat izin tersebut dicabut, sementara izin milik PT Gag Nikel—anak perusahaan PT Aneka Tambang—tetap berlaku karena berada di luar kawasan Geopark UNESCO. Ketidakkonsistenan ini menimbulkan kecemasan terkait kepastian hukum dan komitmen pemerintah terhadap perlindungan lingkungan di kawasan ekowisata internasional.
Izin tambang di pulau-pulau kecil dinilai melanggar Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang secara eksplisit melarang eksploitasi sumber daya alam di wilayah tersebut. Selain itu, kawasan Raja Ampat merupakan bagian dari Coral Triangle yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati laut dunia, menjadikannya wilayah yang dilindungi baik secara nasional maupun internasional.
Baca juga : Gag Nikel: Tambang Emas Antam di Raja Ampat
Menanggapi polemik ini, pakar hukum FH UB, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum., menjelaskan bahwa ada dua mekanisme yang memungkinkan pencabutan izin tambang: pertama melalui mekanisme litigasi pengadilan, dan kedua melalui mekanisme administrasi pemerintahan, yaitu melalui asas actu serius. Ia menegaskan:
“Jika mengacu pada mekanisme administrasi pemerintahan, pejabat yang mengeluarkan izin memiliki kewenangan untuk mencabut izin tersebut, atau atasan pejabat itu dapat memerintahkannya. Misalnya, jika Presiden sudah memerintahkan pencabutan, maka izin tambang seharusnya bisa dicabut,” ujar Dr. Aan.

Namun, ia menegaskan bahwa dalam konteks ini, landasan hukum telah sangat jelas. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara tegas melarang aktivitas tambang di pulau-pulau kecil. Dengan demikian, izin tambang di pulau-pulau kecil sudah melanggar hukum dasar, tanpa perlu lagi mempertimbangkan AMDAL atau dokumen perizinan lain.
“Pulau kecil tidak boleh ditambang. Ini sudah jelas diatur dalam hukum dasar. Tidak peduli apakah AMDAL-nya ada atau tidak, izin tambang ini tetap melanggar konstitusi. Karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mencabut semua izin tambang di pulau-pulau kecil,” tegasnya.
Dr. Aan juga mengkritik inkonsistensi pemerintah dalam pencabutan izin tambang. “Ada beberapa izin tambang yang dicabut, sementara ada yang dibiarkan. Ini menunjukkan ada kepentingan tertentu yang bermain,” ujarnya.
Sebagai solusi, Dr. Aan mengusulkan dua pendekatan utama. Pertama, pemerintah, melalui pejabat administrasi yang berwenang, dapat mencabut izin tambang sesuai dengan asas hukum administrasi yang berlaku. Kedua, masyarakat atau pihak terkait dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk membatalkan izin tambang yang melanggar undang-undang.
“Jika pemerintah enggan mencabut izin, maka masyarakat bisa membawa kasus ini ke pengadilan. Pengadilan memiliki kewenangan untuk membatalkan izin tambang yang terbukti melanggar undang-undang,” jelasnya.
Kasus tambang di Raja Ampat menjadi cerminan kompleksitas pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Di satu sisi, terdapat kebutuhan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mematuhi aturan hukum. Di sisi lain, ada tantangan dalam menghadapi kepentingan ekonomi yang sering kali berbenturan dengan aspek konservasi.
Dengan landasan hukum yang jelas, seperti putusan MK dan Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Dr. Aan menekankan pentingnya komitmen pemerintah untuk menjaga konsistensi dalam menegakkan aturan dan melindungi pulau-pulau kecil sebagai warisan nasional. Polemik ini menjadi pengingat bahwa keberlanjutan lingkungan harus menjadi prioritas utama dalam pengambilan keputusan, terutama di kawasan strategis seperti Raja Ampat.(Din)