Islam menginginkan para umatnya di dalam menjalani seluruh aspek kehidupan dengan cara yang yang bersih, suci, penuh kebaikan di bidang pemenuhan kebutuhan kemanusiaan. Islam mendorong umatnya dengan menetapkan konsep thaharah dalam penjagaan aspek fisik, di bidang pemenuhan konsumsi ditetapkanlah konsep halalan toyyibah, di bidang ekonomi ditetapkanlah konsep antaraadin minkum yaitu setiap pihak harus saling rela atau ridho dan saling menguntungkan tidak boleh ada di antara mereka yang dirugikan. Intinya bahwa islam menginginkan bahwa hubungan kemanusiaan berada dalam posisi yang equal, saling bantu, saling menguntungkan, memberikan kemanfaatan dan berada dalam kebaikan.
Hubungan kemanusiaan yang demikian hanya akan terwujud manakala pola interaksi yang dilakukan dalam berbagai aspeknya tersebut dijauhkan dari segala tindakan yang merusak. Dalam hubungan komunikasi sosial ekonomi manusia guna memenuhi kebutuhan dan hajat kehidupannya, manusia diperbolehkan untuk melakukan proses hutang piutang namun diberi batasan selama diantara kedua belah pihak bisa saling membantu dan saling memberikan manfaat dan tidak saling merugikan. Untuk itu dilarang secara tegas melakukan praktek riba. Yaitu mengambil keuntungan dari suatu pinjaman (hutang) yang diberikan pada orang lain berupa penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah. Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.
Praktek ini memberatkan seseorang yang sejak awal berada dalam kesusahan dan kesulitan yang kemudian mendorong dirinya untuk berhutang. Untuk itu riba amatlah dilarang dalam islam. Sebagaimana Firman Allah swt:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS. Ali ‘Imran : 130)
Penetapan persentase pengembalian pinjaman sejatinya adalah dapat melipatgandakan kesusahan seseorang, sementara islam menekankan agar setiap orang dapat saling membantu dan meringankan. Bahkan tindakan saling meringankan beban orang lain sangatlah terkait dengan kehidupan transenden bahkan mendapatkan jaminan kemudahan kelak dari Allah. Hal ini untuk menunjukkan keseriusan akan pentingnya upaya saling meringankan beban orang lain. Sebagaimana dianjurkan dalam bahwa pemberi hutang (seseorang yang telah diberi keluasan harta oleh Allah swt) hendaklah meringankan beban orang yang sedang berada dalam kesulitan dengan memberikan kelonggaran dan tambahan waktu bagi pihak yang berhutang tatkala kesulitan untuk melunasi hutangnya (sebagaimana firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 280).Pola hubungan (muamalah) yang seperti ini akan melahirkan kehidupan yang harmonis, tenang dan mendamaikan atau harmoni komunikasi.
Praktik riba dalam hubungan kemanusiaan akan melahirkan perilaku komunikasi yang penuh kemunafikan, sebab secara nalar rasional bahwa setiap orang yang berhutang sebenarnya mereka tidak rela apabila besaran hutangnya dilipatgandakan dalam pembayaran tanpa ada manfaat bagi dirinya, namun karena suatu keadaan tertentu mereka terpaksa menerima praktek tersebut karena dirinya amat membutuhkan penyelesaian. Lisan mereka ridha namun hatinya menolak.
Setiap orang berhak untuk memperoleh kekayaan namun jangan dengan cara mendhalimi orang lain. Karena seseorang yang melakukan praktek riba dengan melipatgandakan keuntungan dari hutang yang diberikannya pada orang lain, adalah bentuk melakukan tindakan kedhaliman sebab orang yang melakukan praktik riba sejatinya telah kehilangan empati sosialnya atas kesulitan dan kesusahan yang dialami oleh orang lain. Sementara manusia yang berakal dan memiliki nilai keimanan tentulah bersedia peduli pada orang lain dengan meringankan setiap bebannya dan kelak menjadi jalan bagi dirinya untuk diringankan bebannya oleh Allah swt di kehidupan akhirat. Karena itu Islam benar-benar melarang keras perbuatan kedhaliman dalam memperoleh harta dengan cara dhalim ini. Sebagaimana Firman Allah swt :
وَأَخۡذِهِمُ ٱلرِّبَوٰاْ وَقَدۡ نُهُواْ عَنۡهُ وَأَكۡلِهِمۡ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِۚ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ مِنۡهُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا
dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih. (QS.An-Nisa’ : 161)
Seorang pelaku riba berarti telah merelakan dirinya atas hilangnya keberkahan harta. Islam menekankan bahwa kepemilikan harta bukanlah dilihat dari aspek jumlah kuantitas harta melainkan kualitas dari harta yang dikenal dengan konsep harta yang berkah. Harta yang berkualitas atau berkah adalah harta yang mampu membahagiakan dan menenangkan pemiliknya. Harta yang diperoleh dari cara halal dan baik akan membuat pemiliknya bahagia dan hidupnya tenang. Sehingga interaksi dirinya dalam beragam pola hubungan akan menjadi positif. Seorang pelaku riba akan menjadikan harta dan kehidupannya tidak berkah. Sementara sedekah adalah cara Allah menjadikan harta mampu membawa pada keberkahan. Sebagaimana FirmanNya :
يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِي ٱلصَّدَقَٰتِۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa. (QS. Al baqarah: 276)
Hal demikian ditegaskan oleh Nabi dalam sabdanya :
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: فِي قَوْلِهِ: {يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا} وَهَذَا نَظِيرُ الْخَبَرِ الَّذِي رُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ قَالَ: “الرِّبَا وَإِنْ كَثُرَ فَإِلَى قُلّ”
Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Allah memusnahkan riba. (Al-Baqarah: 276), Makna ayat ini sama dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas’ud. Disebutkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda, “Riba itu sekalipun (hasilnya) banyak, pada akhirnya berakibat menyusut.” (HR. Ahmad, dalam tafsir ibnu katsir).
Dalam menjelaskan Firman Allah tentang riba pada ayat 276 dalam surat al Baqarah tersebut imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menghadirkan sebuah riwayat imam Ahmad tentang sebuah kisah seseorang yang melakukan kedhaliman ekonomi atau harta atas kaum muslimin. Dikisahkan bahwa sahabat Umar r.a. ketika menjabat sebagai Amirul Mukminin keluar menuju masjid, lalu ia melihat makanan yang digelarkan. Maka ia bertanya, “Makanan apakah ini?” Mereka menjawab, “Makanan yang didatangkan buat kami.” Umar berkata, “Semoga Allah memberkati makanan ini, juga orang yang mendatangkannya.” Ketika dikatakan kepadanya bahwa sesungguhnya si pengirim makanan ini telah menimbun makanan kaum muslim, Umar bertanya, “Siapakah pelakunya?” Mereka menjawab bahwa yang melakukannya adalah Farukh maula Usman dan si Fulan maula Umar. Maka Khalifah Umar memanggil keduanya, lalu Umar bertanya kepada keduanya, “Apakah yang mendorong kamu berdua menimbun makanan kaum muslim?” Keduanya menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kami membelinya dengan harta kami dan menjualnya.” Umar berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum muslim, niscaya Allah akan menghukumnya dengan kepailitan atau penyakit kusta. Maka Farukh berkata saat itu juga, “Aku berjanji kepada Allah, juga kepadamu, bahwa aku tidak akan mengulangi lagi menimbun makanan untuk selama-lamanya.” Adapun maula (bekas budak) Umar, ia berkata, “Sesungguhnya kami membeli dan menjual dengan harta kami sendiri.” Abu Yahya mengatakan, “Sesungguhnya aku melihat maula Umar terkena penyakit kusta.” Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah melalui Al-Haisam ibnu Rafi’ yang lafaznya menyebutkan seperti berikut:
“مَنِ احْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ طَعَامَهُمْ ضَرَبَهُ اللَّهُ بِالْجُذَامِ وَالْإِفْلَاسِ”.
Barang siapa yang melakukan penimbunan Terhadap makanan kaum muslim, niscaya Allah akan menghukumnya dengan kepailitan dan penyakit kusta.
Praktik riba adalah bentuk penyimpangan praktik ekonomi yang menghancurkan sendi-sendi dasar komunikasi manusia yaitu empati sosial. Empati sosial adalah salah satu aspek penting dalam mewujudkan harmonisasi komunikasi yaitu mampu melahirkan kebersamaan dan membangun realitas kehidupan yang saling memahami, saling membantu yang menjadi dasar dalam mewujudkan suatu realitas masyarakat yang berperadaban yang memang diharapkan dalam islam. Masyarakat berperadaban inilah yang dikenal dengan masyarakat madani. Yaitu suatu realitas masyarakat yang merujuk pada kehidupan masyarakat jaman Rasulullah di Madinah. Terdapat tiga kaum dan sekaligus tiga agama di Madinah, yaitu: kaum muslimin yakni Anshar, orang-orang musyrik dari bangsa Arab, dan Yahudi. Kaum Yahudi sendiri terdiri atas tiga kabilah yaitu: Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Orang-orang Yahudi ini berasal dari Syam (sekarang Syiria, Yordania, lebanon, dan Palestina).
Ciri masyarakat Madinah antara lain kehidupan masyarakat yang dibangun atas dasar kepedulian, saling tolong menolong, saling menghormati, saling kerjasama, penuh persaudaraan sehingga lahir realitas penuh kedamaian dan kesejahteraan. Hal ini tampak dari hubungan mesra antara masyarakat tempatan (kalangan anshar) dan masyarakat pendatang (muhajirin) serta hubungan saling menghormati dalam beragam pluralitas dengan masyarakat Yahudi dan musyrik lainnya di madinah. Mereka dibangun dalam realitas penuh kebersamaan di bawah kepemimpinan Rasulullah saw dalam praktek komunikasi kenabian (Prophetical communication ) yang sangat hebat dan luar biasa.
Dalam membangun masyarakat Madinah, Rasulullah menetapkan berbagai batasan dan aturan yang telah diarahkan langsung oleh Allah swt termasuk adalah melarang praktik riba dalam interaksi ekonomi (muamalah) masyarakat madinah karena hal demikian dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat yang harmonis sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu Rasulullah menegaskan larangan riba melalui beberapa sabdanya, antara lain, Nabi bersabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan kedalam syurga dan tidak merasakan nikmatnya, yang menjadi hak priogatif Allah, Pertama, peminum khamar, pemakan riba, pemakan harta anak yaitm dan pendurhaka kepada orang tuanya”. ( HR. Hakim ). Abdullah bin Hanzalah, meriwayatkan bahwa Rasulullah bersada, “Untuk satu dirham riba di sisi Allah lebih besar dati tiga puluh enam kali berzina yang dilakukannya dalam Islam”. ( HR. Darul Quthany ).
Diriwayatkan oleh Anas bahwa Rasulullah SAW telah berkhutbah dan menyebut perkara riba dengan bersabda, “Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seseorang dari riba, lebih besar dosanya disisi Allah dari tiga puluh enam kali berzina. Dan sesungguhnya sebesar – besar riba aialah mengganggu kehormatan seorang muslim”. ( HR. Baihaqi dan Ibnu Abu Duanya ). Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas , bahwa Nabi bersabda.“ Apabila zina dan riba telah merajalela dalam suatu negeri, maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah diturunkan kepadanya”. ( HR. Hakim ).
Amru bin Ash mendengar langsung Nabi mengatakan,“ Bila riba merajalela pada suatu bangsa, maka mereka akan ditimpa tahun peceklik ( krisis ekonomi ). Dan bila suap – menyuap merajalela, maka mereka suatu saat akan ditimpa rasa ketakutan “. ( HR. Ahmad ). Diriwayatkan dari ‘ Auf bin Malik, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, Jauhilah dosa – dosa yang terampunkan, yaitu, pertama, curang ( menipu & korupsi ), siapa yang curang, maka pada hari kiamat nanti,akan didatangan kepadanya siksa. Kedua, pemakan riba, barang siapa memakan riba, maka ia dibangkitkan hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan membabi buta. ( HR. Thabarani )
Abdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa nabi SAW bersabda,“ setiap orang yang banyak makan riba, maka urusannya berakibat pada kekurangan”. ( HR. Ibnu Majah dan Hakim ). Artinya, pemakan harta riba akan selalu berada dalam suasana merasa kurang terhadap harta hingga lahir pada dirinya sikap rakus yang berakibat pada tindakan-tindakan komunikasi manusia lainnya, seperti berlaku dhalim, berbohong, curang, korupsi, hingga hilangnya empati sosial dirinya atas orang lain. Inilah dampak buruk yang ditimbulkan dari praktek riba yaitu realitas kehidupan manusia yang penuh dengan penyimpangan dan berujung pada ketidaktenangan dan ketidakdamaian dalam kehidupan sosial masyarakat, disharmoni sosial.
Disaat realitas ribawi telah merajalela maka hilanglah keberkahan hidup dan kehidupan manusia layaknya kehidupan rimba. Inilah tanda berakhirnya sebuah sejarah kehidupan manusia. The end of history. Semoga kita dijauhkan dari kehidupan penuh ribawi ini dan diselamatkan dari dampak buruknya. Aamiin…