MALAM ini saya harus minta ijin kepada mestro penulis nasional, Seno Gumira Ajidarma. Untuk meminjam pendapatnya soal manfaat sebuah tulisan sebagai alat untuk BERBICARA.
Malam ini pula, saya ingin secara khusus berbicara membicarakan tentang seorang kader HMI melalui sebuah tulisan,untuk memperingati 100 hari wafatnya. Kader itu bernama Yudi angkatan 96, kader komisariat Hukum, Korkom Universitas Brawijaya. Harapanku dengan berbicara melalui tulisan ini, pesan yang ingin kusampaikan mampu sampai di kepalanya seluruh kader dilingkungan HMI korkom UB khusunya dan seluruh kader HMI pada umumnya.
Seperti telah kita ketahui bersama, HMI adalah organisasi kader. Organisasi kader identik dengan sebuah kualitas bukan kuantitas.
Yudi, sejak mengenalnya pertama kali. Kualitas seorang kader HMI telah terlihat nyata mampu ia tunjukkan dengan sempurna di palagan candradimuka pengkaderan di lingkungan korkom UB saat itu.
Nilai-nilai Ke HMI-an yang kental dengan ke-Indonesiaan, ke-Islaman, sedikit banyaknya telah menginternalisasi secara masif dalam pikiran juga sanubarinya. Apalagi sejak ia memegang pucuk pimpinan sebagai ketua Komisariat. Proses pengkaderan menjadi seorang pejuang, seorang LEADER mulai ia rasakan pastinya. Perwujudan menjadi insan pencipta, insan pengabdi, dan insan akademis tampak mengemuka dalam aktivitas organisasinya di HMI.
Kehadirannya sebagai kader dalam hiruk pikuk keorganisasian HMI kala itu tidak pernah ia absen, ia selalu hadir baik pada momen diskusi, demostrasi yang biasa terjadi pada kalangan aktivis periode itu. Yudi selalu berada dibarisan depan untuk mewujudkan misi dan visi organisasi berhasil gemilang. Pantang tolak tugas, pantang ulur waktu, serta pantang kerja tidak selesai, menjadi guidance , menjadi kredonya untuk melakukan fungsi-fungsi manajemen penataan sebuah organisasi. Sehingga kegiatan HMI saat itu di lingkungan komisariat, lingkungan korkom UB begitu hidup, meriah, penuh daya juang, tidak melempem, diam, tanpa aksi. Yudilah salah satu bahan bakar hidupnya, kenapa kehidupan kegiatan organisasi HMI saat itu begitu hidup dengan kegiatan yang produktif baik di intra maupun ekstra kampus. Entah kalau HMI di era jaman now, saya tidak paham.
Sebagai seorang KADER. Yudi memiliki attitude istimewa. Terhadap senior ia begitu memiliki rasa hormat, terhadap yunior demikian juga, ia bisa perankan dengan baik sebagai seorang abang, sebagai seorang pelindung bagi adik-adiknya, ia jadi tempat bertanya bagi adik-adiknya. Yudi mendapatkan sebuah pengakuan yang original dari senior dan yuniornya, tidak hanya di komisariat hukum saja, namun, pengakuan itu juga ia dapatkan dari senior dan yuniornya di lingkungan korkom UB.
Yudi mendapatkan penghargaan yang tinggi, namanya begitu harum di kalangan aktivis HMI 90-an. Banyak kolega dan temannya pada menghargai, segan dengannya. Siapa yang bisa pungkiri, bahwa Yudi adalah seorang kader HMI yang the have saat itu. Di saat mahasiswa lainnya hanya mampu berjalan kaki saja dari komisariat ke kampusnya. Yudi melenggang lebih duluan sampai ke fakultasnya dengan mewah naik motor TIGER warna kuning yang melegenda. Perlu diketahui, motor pada jaman-jaman itu adalah barang super mewah bagi mahasiswa era 90 an. Memiliki motor honda 75 saja sudah bangganya bukan main, tentu saja kualitasnya kayak bumi dan langit dengan tunggangannya Yudi.
Yudi telah merasakan kehidupan mewah, lingkungan aristokrat dalam keluarganya. Namun demikian ia tetap sebagai seorang mahasiswa dan seorang kader HMI yang humble. tidak jaga image dalam kehidupannya sehari-hari. Sebuah sikap yang terpuji telah diteladankan Yudi dalam kehidupannya selama menjadi mahasiswa dan kader HMI. Itulah yang membuatku semakin menaruh perhatian kepadanya.
Tidak cukup di situ saja. Keteladanan sikap yang terpuji tersebut, tetap ia lakukan meski telah lulus kuliah dari UB dan kemudian menjadi KAHMI. Yudi kutahu membangun karir manjadi banker di Bank Muamalat, berdinas di Jakarta. Pekerjaannya tidak menghalangi dirinya melanjutkan kegiatan silturahim dengan senior juga yunior dari organisasi HMI yang telah membesarkannya, justeru makin intensif.
Perjumpaanku terakhir dengan Yudi sebelum ia dikabarkan sakit. Adalah pada acara MUNAS IKA UB. Pada acara musyawarah nasional pemilihan ketua IKA UB tersebut, aku melihat api yang berkobar-kobar dalam jiwanya, seperti yang kulihat puluhan tahun yang lampau saat ia masih menjadi kader HMI. Daya juangnya, daya akselerasinya, serta kedisiplinanya mengelola team dalam rangka mewujudkan kepentingan dan tujuan sebuah cita-cita, begitu sempurna diperankan olehnya.
Tentu kita sepakat semua stake holder UB khususnya HMI juga KAHMI yang terlibat dalam kegiatan munas IKA tahun 2019 yang lalu, mengakui peran besar Yudi, sebagai suksesor, sebagai dirijen, berjalannya acara munas dengan lancar, serta target organisasi berhasil. Tidak ada Yudi, entah apa yang terjadi!
Beberapa minggu setelah acara munas IKA selesai. Kudengar kabar bahwa Yudi sakit, dirawat di rumah sakit. Hingga kemudian Allah swt memanggilnya pulang, meninggal. Inalilahi waina ilaihi rojiun. Kabar pertama kali ku dengar kalau Yudi meninggal, adalah saat diriku di dalam kereta api ketika melakukan perjalan ke Surabaya habis dari Bandung, silturahim dengan seniorku.
Sempurna sekali peran hidup yang diberikan Allah untuk Yudi. Didalam jiwanya selalu berkobar API semangat seorang patriot sejati, generasi rabani, berbakti demi nusa, agama, juga orang-orang tercintanya.
Mati adalah pasti, tapi spirit hidupmu menerangi adik-adikmu yang kini menjadi kader-kader HMI. Selamat jalan Yudi, doa terindah selalu saya persembahkan untukmu, dari kakakmu, seniormu di HMI, Broto.
Alfatihah..
Penulis: Agus Andi Subroto Alumni FP UB dan Kandidat Doktor UB