Kanal24, Malang – Dalam beberapa dekade terakhir, dunia cukup mengalami perubahan. Mulai dari revolusi teknologi hingga perubahan sistem sosial, manusia harus bisa beradaptasi dengan cepat untuk menghadapi tantangan yang muncul. Tidak hanya manusia, hukum pun juga memerlukan perubahan untuk mengatasi perkembangan dunia yang selalu berubah. Untuk itulah Kajian Fikih Kontemporer bakda Ashar (KAFKA) menghadirkan tema Fiqih Siasat, lebih spesifiknya lagi membahas mengenai kewarganegaraan dalam kajian seri ke-5 ini (10/4/2023).
Kajian kali ini dipimpin oleh Yusli Effendi sebagai pemberi materi tentang fiqih kewarganegaraan. Menurutnya pembahasan mengenai fikih kewarganegaraan menjadi penting karena terdapat perubahan yang mendasar dari bagaimana kita berperilaku dalam sebuah wilayah. Konsep bernegara Islam mulai berubah setelah kejatuhan dinasti Ustmaniah atau kekaisaran Ottoman. Dimana mulai munculnya negara-negara modern, sehingga muncul bentuk-bentuk baru komunitas poilitik yang bernama negara yang berbeda dengan konsep milik Islam. Dalam Islam konsep bernegara disebut dengan umat yang terikat dengan keagamaan. Berbeda dengan kewarganegaraan tidak diikat oleh ikatan keagamaan, melainkan ikatan kebangsaan, ikatan etnisitas, dan juga keduanya.
Umat manusia hari ini sudah mencapai 7 milliar lebih hampir 8 miliar. Umat Islam sendiri mencapai urutan kedua terbanyak, sebanyak 1,8 miliar dibawah Kristen dengan jumlah 2,3 miliar. Umat Islam tersebar di banyak negara dan tidak semua negara Islam. Dari 200 negara anggota PBB hanya ada 3 negara yang mendeklarasikan bahwa mereka negara Islam, republik Islam Irak, republik Islam Pakistan, dan republik Islam Mauritania. Selebihnya hanya mendeklarasikan negaranya dengan negeri muslim namun bukan negara islam.
Islam dalam fiqih klasik tentang hubungan internasional memilah daerah menjadi dua bagian, darul Islam dan darul khufr. Darul Islam merupakan daerah yang didirikan syariat Islam atau peraturan-peraturan Islam dan dipimpin oleh pemimpin Islam. Namun saat ini sudah tidak ada negara yang murni hanya memiliki penduduk islam. Karena bentuk negara baru mengandaikan jika bangsa itu campuran dari beragam etnis dan beragam agama.
Dalam kajiannya Yusli memberikan pertanyaan kepada jamaah, “Dunia sudah berubah, terdapat negara bangsa, tidak adanya lagi perbudakan. Lalu apakah bisa tetap bertahan menggunakan model pengelompokan darul Islam dan darul khufr?”
Imam Rofi’i merumuskan jalan ketiga, ia merumuskan darul sulh. Darul sulh merupakan wilayah tempat dimana terjadinya perjanjian damai dengan mereka yang non muslim. Kondisi dimana wilayah itu bukan wilayah Islam namun tidak boleh diperangi.
Indonesia memiliki cara pandang konsep kewarganegaraan yang berbeda. Muhammadiyah menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara pancasila sebagai darul ahli wa syahadah. Maka seharusnya setiap warga negara apapun agamanya memiliki hak dan kewajiban yang setara.
Sayangnya di akhir-akhir ini muncul fenomena menarik bahwa angka atheisme tinggi di kampus-kampus Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, bahkan di barat pun makin banyak orang yang meninggalkan agamanya. Karena agama tidak menawarkan solusi bagi permasalahan hari ini. Sementara peradaban sains meninggalkan banyak hal dari soal-soal keagamaan. Itulah mengapa fikih merupakan ratu dari ilmu agama Islam. Karena fikih itu perlu diperbaiki lagi karena kondisi zaman yang berubah. Fikih menggunakan sumber primer agama Islam, Alquran dan Hadist untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut.(fan)