Kanal24, Malang – Penyediaan aksesibilitas pada fasilitas bagi penyandang disabilitas merupakan suatu keharusan untuk mewujudkan kesetaraan hak sesuai dengan hukum Islam. Sayangnya, masih belum banyak fasilitas yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan para penyandang disabilitas. Tidak jauh contoh nyatanya bisa kita lihat pada tempat ibadah. Seberapa banyak masjid yang Anda temui memiliki aksesibilitas di dalamnya untuk memudahkan orang disabilitas?
Persoalan ini dibahas dalam kajian sore yang mengangkat tema “Fiqih Minoritas (Fiqih Aqalliyah) : Islam dan Hak-Hak Penyandang Disabilitas” dengan Slamet Thohari dan Ziadatul Hikmiyah sebagai pemateri.
Dalam hukum Islam, ada 5 hak manusia yang harus dipenuhi, yaitu hifdhud din (hak untuk beragama), hifdhul mal (hak untuk memiliki harta dan pekerjaan), hifdhun nafs wal ‘irdh (hak memiliki kehidupan yang layak) hifdhul ‘aql (hak untuk pengembangan kapasitas berfikir atau akal), dan, hifdhun nasl (hak untuk menjalin hubungan sosial). Kelima hak tersebut juga berlaku bagi para penyandang disabilitas.
Seseorang yang mampu, dalam artian disini tidak memiliki keterbatasan secara fisik, intelektual, mental, atau sensorik disebut sebagai mukallaf. Sebagai mukallaf, wajib hukumnya untuk membantu dan memberikan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Dan hal ini berlaku terutama bagi pemimpin atau pemerintah.
“Di zaman kekhalifahan Umar bin Khattab, berkata seandainya satu ekor kambing saja mati sia-sia, dia akan gemetar karena takut diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Itu baru seekor kambing, apalagi jika mengabaikan sesama manusia. Pasti akan diminta pertanggungjawabannya kelak.”
Bahasan berikutnya, terkait dengan agama khususnya bagi penyandang disabilitas dalam peribadatan dan hukumnya. Terdapat keringanan yang ditawarkan dalam Islam yang disebut sebagai rukhsah. Rukhsah adalah keringanan yang disyariatkan Allah bagi yang mempunyai udzur dalam menunaikan ibadah sesuai dengan sakit atau udzur yang dialami.
Meskipun demikian, banyak yang menyampaikan bahwa rukhsah digunakan ketika seseorang mengalami perubahan keadaan, seperti kecelakaan dan sifatnya sementara. Berbeda dengan penyandang disabilitas yang bersifat bawaan dari lahir dan permanen. Ziadatul menyampaikan kepada teman-teman disabilitas tetap boleh mengambil rukhshah tetapi disarankan terlebih dahulu untuk memilih dan berpindah madzhab yang paling memudahkan keadaannya.
“Islam adalah agama yang mudah, tidak memberatkan. Jadi, teman-teman disabilitas dipersilahkan untuk berpindah mazhab. Sekiranya mencari yang paling ringan.”
Hukum bagi penyandang disabilitas yang masuk ke masjid menggunakan kursi roda yang sudah dipakai dari berbagai tempat juga menjadi pertanyaan banyak orang. Menjawab pertanyaan ini, Ziadatul menyebutkan bahwa hukumnya dima’fu atau diperbolehkan bagi pemakai kursi roda untuk masuk ke masjid dan ikut berjamaah di dalam. Termasuk pertanyaan lain perihal seseorang yang tidak memiliki fisik lengkap untuk berwudhu. Menurut kesepakatan ulama, seseorang bisa berwudhu semampunya sesuai dengan keadaannya. Bisa disimpulkan terdapat berbagai cara yang bisa dilakukan untuk bisa tetap menjalankan kebutuhan agama.
“Apabila terdapat kotoran kering atau tanpa disadari dalam kursi rodanya, maka hukumnya mubah atau dimaafkan. Kecuali, kursi rodanya tertetes oleh sesuatu yang secara jelas najis dan terlihat, seperti muntah atau kotoran. Itu perlu dibersihkan terlebih dahulu.”
Untuk memudahkan kebutuhan di atas, pentingnya peran pemimpin dan pemerintah dalam membuat fasilitas yang aksesibel bagi penyandang disabilitas. Pemerintah sebenarnya sudah selaras dengan adanya UU terkait disabilitas, yaitu UU No.8 Tahun 2016, dalam mengatur semua hak-hak yang mencakup lima hukum Islam. Namun, dalam realitasnya masih sedikit masjid yang memiliki aksesibel disabilitas. Oleh sebab itu, perlu untuk menilik kembali fasilitas dalam masjid, mulai dari aspek pintu, aspek tangga yang ditempuh, aspek simbol, aspek tempat wudhu hingga menyediakan juru bahasa isyarat. (rbs)