KANAL24, Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka kemiskinan pada periode September 2019 turun 0,36 juta orang dari 25,14 juta orang pada periode Maret 2019 menjadi 24,79 juta orang. Jumlah ini juga turun 0,88 juta jika dibandingkan periode September 2018 lalu sebesar 25,67 juta orang.
Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan dari sisi persentase, penduduk miskin nasional mengalami penurunan 0,19 poin dari 9,41 persen pada periode Maret 2019 menjadi 9,22 persen pada September 2019. Meskipun jumlah dan persentase turun, namun diakui masih ada persoalan serius yang harus dihadapi pemerintah terkait angka kemiskinan. Permasalahan tersebut adalah masih tingginya disparitas kemiskinan antara di kota dan di desa.
Disebutkan bahwa persentase penduduk miskin di desa pada September 2019 mencapai 12,60 persen. Sementara persentase penduduk miskin di kota pada periode tersebut adalah 6,56 persen. Lebar gap kemiskinan antara di kota dan di desa ini selalu terjadi setiap BPS melakukan survey setahun sebanyak dua kali.
“Persoalan yang kita hadapi disparitas kemiskinan masih tinggi antara kota dan desa. Jadi kita perlu upaya lebih keras lagi untuk menurunkan kemiskinan di desa yang secara umum mata pencaharianNYA di sektor pertanian,” ujar Suhariyanto dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Menurutnya, angka kemiskinan di desa maupun di kota yang masih tinggi tersebut berkaitan dengan perubahan rata-rata upah buruh harian. Selain itu juga berkaitan dengan nilai tukar petani yang juga berubah dan tingkat inflasi di kota maupun di desa. Oleh sebab itu pemerintah perlu menggalakkan program bantuan pangan non tunai ( BPNT ) untuk terus menekan angka kemiskinan.
Suhariyanto berharap pemerintah konsisten menjaga volatilitas harga komoditas yang paling banyak dikonsumsi penduduk miskin seperti beras, telur ayam ras, mie instan, gula pasir dan lainnya. Komoditas-komoditas tersebut dinilai sangat sensitif bagi masyarakat penduduk miskin ketika terjadi gejolak harga. Tercatat pada September 2019 komoditas pangan menyumbang 73,75 persen terhadap garis kemiskinan.
“Kita harus hati – hati untuk memastikan barang yang paling banyak di konsumsi penduduk miskin itu agar selalu stabil, tidak boleh bergejolak. Beras, gula dan bahan pangan lainnya harus dijaga agar tidak berfluktuasi,” ulas Suhariyanto.
Persoalan kemiskinan lainnya yang dicatat oleh BPS adalah disparitas yang sangat tinggi antar propinsi. Tercatat bahwa persentase penduduk miskin tertinggi menurut propinsi pada September 2019 terjadi di Papua sebesar 26,55 persen, Papua Barat 21,51 persen, Nusa Tenggara Timur 20,62 persen. Sementara itu persentase penduduk miskin terendah terjadi di DKI Jakarta 3,42 persen, Bali 3,61 persen dan Kalimantan Selatan 4,47 persen.
“Persoalan lain adalah tingginya disparitas kemiskinan antar propinsi yang begitu tinggi. Setidaknya ada 6 propinsi yang penurunan persentasenya cukup signifikan selama bulan Maret – September 2019,” ucap Suhariyanto. (sdk)